Oleh: Nasrudin Joha
Sastrawan Politik
Teman Luhut Binsar Panjaitan dan seluruh masyarakat Indonesia yang saya 'cintai' saya bahagia sekaligus bangga kepada Teman Luhut yang berkenan menegaskan beberapa hal terkait hiruk-pikuk bisnis PCR yang makin moncer. Sebagian penegasan, cukup menjawab apa dan bagaimana latarbelakang bisnis yang menggiurkan ini. Dan bahkan tidak penting, tidak esensial, tidak layak diperhatikan dan cukuplah untuk dikesampingkan.
Misalnya, pertama soal tidak ada seperak pun keuntungan bisnis dari PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI). Karena, baik seperak, seratus, sejuta, semiliar, puluhan hingga triliunan, saya memang tidak tahu. Sehingga, soal "dapat atau tidaknya" keduanya sulit dipercaya, karena saya sedikitpun tidak mendapatkan "bagian" dari saham perseroan itu.
Yang jelas, saya bukan pemegang saham, tidak pula punya kendali atas urusan pandemi. Jadi, kalau saya katakan saya tidak dapat apa-apa dari PT GSI, tentu lebih dapat dipercaya dan meyakinkan publik ketimbang pernyataan Teman Luhut.
Nyatanya, saya dapat memahaminya meski saya adalah orang awam. Rezeki setiap orang itu sudah diatur oleh Allah ï·», apa hak saya? Kenapa harus iri, dengki, atau bahkan sedih dengan rezeki orang lain?
Saya akan memberi tahu mewakili nama GSI, bahwa saham ini adalah sedekah. Semua juga paham bahwa Indonesia sedang dilanda badai wabah.
Satu-satunya masalah adalah bahwa masyarakat tidak percaya metode pemerintah menangani pandemi tidak seperti yang mereka yakini bahwa virus itu ada. Siapa yang tidak percaya bahwa virus itu ada? Karena telah nyata, ada 4 juta lebih infeksi dan 140.000 lebih kematian akibat Covid-19. Jokowi masih bangga dengan statistik menyedihkan ini di forum internasional.
Penanganan pandemi, termasuk urusan wajib PCR patut dipertanyakan. Apakah kebijakan penanganan Covid itu berdasarkan pandemi ataukah bisnis patut dipertanyakan, seperti halnya Sahabat Luhut yang menjadi menteri investasi dan bukan menteri kesehatan yang memimpin penanganan pandemi.
Jadi, jika ingin menceritakan kisah pandemi dalam bentuk cerpen, hingga novel romantis, tidak perlu didramatisir. Kami percaya mengapa pandemi itu ada dan nyata, dibuktikan dengan alokasi anggaran negara yang triliunan, yang tidak bisa disebut sebagai kerugian negara hingga putusan MK keluar.
TOBA terlibat? Siap kami ucapkan terima kasih. Apa jadinya Indonesia tanpa kampanye amal yang diluncurkan Sahabat Luhut? Kalau bukan karena Luhut sob, mungkin sampai ujung dunia wabah ini tidak akan benar-benar keluar negeri.
Tentang saham PT? Jelas, ini adalah kemitraan modal yang didirikan untuk mendapatkan keuntungan. Tidak ada PT yang didirikan untuk beramal pada masyarakat.
Jika Sobat Luhut dari awal membuat yayasan, mungkin kontradiksi dan kudeta internal tentang PT GSI tidak akan merasuk ke dalam hati Sobat Luhut. Hal ini karena yayasan memiliki tujuan sosial. Meski ada adatnya, bisa juga digunakan untuk mengumpulkan keuntungan.
Membangun Yayasan juga mudah. Sim salabim, jadi.
Sulit, bahkan sangat sulit bagi saya untuk memahami alasan yang disampaikan oleh teman-teman Luhut. Tapi yah, apapun pendapat sahabat Luhut, tetap harus kita hormati.
Teman Luhut juga mengaku sebagai teman Grup Indika, Adaro, Nortstar, sehingga sangat cocok dengan detail yang ditulis oleh teman Agustinus Edi Kristianto itu. Tidak disangkal, semua dikonfirmasi.
Kedua, masalah tidak dibagikan atau bahkan tidak kebagian dividen sangat umum terjadi di perusahaan. Ada yang ditumpuk menjadi gunung-gunung lalu dibagi-bagi, agar lebih mencolok, ada juga yang digunakan sebagai modal komersial untuk membuat keuntungan komersial lebih menguntungkan.
Oleh karena itu, apakah perbendaharaan dibagi atau dikembangkan adalah hal yang biasa. Kami juga merasa tidak mendapatkan bagian kami, karena kami tidak pernah terlibat dan tidak memiliki saham.
Berbeda dengan Sahabat Luhut dan teman-teman Grup Indika, Adaro, Northstar, mereka berhak dan harus mengadukan hasil pembagian dividen atau apapun namanya. Jadi, pertanyaan utamanya sudah terjawab: Teman-teman LUHUT terlibat dalam bisnis PCR.
Sejujurnya, saya tidak pernah mau mendengar kesombongan yang dibungkus dengan prasangka sederhana, apalagi keserakahan yang digambarkan sebagai tindakan amal. Ada atau tidaknya hubungan kekerabatan sejatinya sebagai satu suku kita semua termasuk teman-teman Luhut, adalah pemilik sah bumi pertiwi Indonesia.
Sangat disayangkan bahwa sebagian besar keuntungan dari bumi Indonesia dinikmati oleh Sahabat Luhut dan kawan-kawannya. Mereka bisa mendapatkan keuntungan dari tambang, berbagai bisnis yang menguntungkan, dan banyak lagi.
Sementara sebagian besar dari kita di negeri ini hanya bisa meratap dan mengamuk:
"Kulihat Ibu Pertiwi, sedang bersusah hati......."
0 Komentar