KEMISKINAN EKSTREM MENGANCAM MASA DEPAN GENERASI


Oleh: Rayna nursafitri, SPd
Muslimah Peduli Umat

Jumlah anak di seluruh dunia yang tak memiliki akses perlindungan sosial (perlinsos) apa pun mencapai setidaknya 1,4 miliar. Ini merupakan anak di bawah usia 16 tahun berdasarkan data dari lembaga PBB dan badan amal Inggris Save the Children. Tak adanya akses perlinsos ini membuat anak-anak lebih rentan penyakit, gizi buruk dan terpapar kemiskinan.

Data tersebut dikumpulkan oleh International Labour Organization (ILO), United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) dan Save the Children.

Di negara-negara berpendapatan rendah, hanya satu dari 10 anak, bahkan kurang, yang mempunyai akses terhadap tunjangan anak. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan cakupan yang dinikmati oleh anak-anak di negara-negara berpendapatan tinggi.

Direktur Global Kebijakan Sosial dan Perlindungan Sosial UNICEF Natalia Winder Rossi, sebagaimana dikutip Antara, Kamis (15-2-2024), mengatakan bahwa secara global, terdapat 333 juta anak yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, berjuang untuk bertahan hidup dengan pendapatan kurang dari USD2,15 (Rp33.565) per hari, dan hampir satu miliar anak hidup dalam kemiskinan multidimensi. Fakta bukti bahwa dunia, terutama anak-anak, sedang tidak baik-baik saja dalam dekapan kapitalisme.

Sebenarnya, jika kita cermati, ancaman kemiskinan ekstrem, gizi buruk, hingga kelaparan yang dihadapi anak-anak, bukan karena rendah atau tingginya cakupan tunjangan anak, melainkan lebih kepada penerapan sistem kapitalisme secara global. Sebagai contoh, di negara-negara berpendapatan rendah, tingkat cakupan tunjangan masih sangat rendah, yaitu sekitar 9%. Sementara itu, di negara-negara berpendapatan tinggi, 84,6% anak-anak telah tercakup dalam program tunjangan tersebut. Tunjangan rendah kerap dihadapi negara dengan pendapatan rendah.

Mengapa ada negara berpendapatan rendah dan berpendapatan tinggi yang memengaruhi tingkat kemiskinan di negara tersebut? Pada dasarnya, sistem kapitalisme meniscayakan hal itu terjadi. Sistem ini sifatnya eksplosif dan destruktif. Eksplosif karena eksistensi ideologi ini tidak bisa dilepaskan dari cara penyebarannya, yakni penjajahan atau imperialisme. Ditambah, nilai kebebasan yang diagungkan menjadi dalih pembenar atas eksploitasi yang mereka (negara adidaya) lakukan pada negeri-negeri yang memiliki kekayaan SDA yang melimpah ruah.

Destruktif artinya sistem ini memiliki daya rusak yang dahsyat. Atas nama kebebasan kepemilikan dan liberalisasi pasar, satu atau dua individu bisa menguasai satu negara. Inilah yang disebut oligarki kapitalis. Tidak jarang pula liberalisasi dan eksploitasi mengakibatkan rusaknya keseimbangan ekosistem alam yang berpengaruh pada perubahan iklim secara ekstrem.

Di Indonesia, 6,7 juta warga diperkirakan akan mengalami kemiskinan ekstrem pada 2024 jika merujuk pada standar garis kemiskinan global, yakni USD2,15 PPP (purchasing power parity) (setara Rp10.229 per orang per hari atau Rp306.870 per bulan). Sementara itu, batas garis kemiskinan di Indonesia pada Maret 2023 ditetapkan sebesar Rp550.458 per kapita per bulan.

Inilah salah satu kecacatan kapitalisme, yakni mengukur kemiskinan dengan utak-atik angka. Sedangkan angka tersebut belum menjelaskan dengan benar kondisi rakyat yang sesungguhnya.

Jika persoalannya adalah sistem kapitalisme, Islam sebagai sistem kehidupan telah memiliki solusi sistemis dalam mengatasi kemiskinan ekstrem sekaligus menjaga generasi dari dampak kemiskinan ini.

Melalui penerapan sistem Islam secara kaffah, kemiskinan dapat dicegah dan diatasi. Kalaulah dalam pemerintahan Islam ada penduduk miskin, jumlahnya sangat minim. Hal ini pun juga akan teratasi dengan baik sebab dalam sistem Islam terdapat perintah dan anjuran agar harta kekayaan tidak beredar di kalangan orang-orang kaya saja. Anjuran untuk bersedekah dan kewajiban zakat bagi orang kaya akan memberikan keharmonisan dalam mencapai kesejahteraan.

Posting Komentar

0 Komentar