PROGRAM DESA WISATA BUKAN SOLUSI UNTUK KESEJAHTERAAN UMAT


Oleh: Titin Surtini
Muslimah Peduli Umat

Tren wisata baru semakin ramai dibicarakan dengan mengusung desa wisata yang di gadang-gadang sebagai salah satu sumber pendapatan negara, disini para wisatawan akan memiliki destinasi yang lebih bersahabat dengan alam dan masyarakat, atau yang dikenal dengan “ekowisata”. Desa wisata ditetapkan sebagai salah satu program unggulan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Saat ini, desa diharapkan bisa berkontribusi besar dalam pembangunan nasional. Selain menyuplai kebutuhan pangan dan kebutuhan tenaga kerja, desa juga berkontribusi terhadap perkembangan pariwisata nasional. Tren desa wisata makin populer pascapandemi Covid-19.

Saat ini, sudah terdapat 3.613 desa wisata yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.

Desa wisata merupakan sebuah konsep pengembangan daerah yang menjadikan desa sebagai destinasi wisata, dengan prinsip utamanya, yaitu desa membangun. Yang berfokus terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan usaha produktif sesuai potensi dan sumber daya lokal.

Adapun terkait pendanaan wisata desa ini tak lepas dari kasus dugaan korupsi, diantaranya:

Pertama,
Di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sleman dan pegiat pariwisata. Awal 2023, Kejaksaan Negeri (Kejari) Sleman mengusut kasus dana hibah pariwisata di Bumi Sembada. Besaran dana dinilai mencapai Rp10 miliar.

Kedua,
Kejaksaan Negeri (Kejari) Sabang, Aceh, menetapkan dua tersangka dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan Taman Wisata dan Edukasi Gampong Aneuk Laot dengan total anggaran Rp385,8 juta bersumber dari dana desa.

Ketiga,
Tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan pasar desa wisata di Sumbersono, Kecamatan Dlanggu, Kabupaten Mojokerto yang akan terus bertambah.

Keempat,
Kejari Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah menetapkan empat tersangka tindak pidana korupsi dana bantuan keuangan APBD 2019 dan 2021 Temanggung untuk pengembangan wisata Papringan di Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kedu.

Demikianlah korupsi dilakukan oleh beberapa pejabat daerah, mulai dari kepala desa, bupati, wali kota, pejabat provinsi, hingga para wakil rakyat di ibu kota. Padahal, mereka sudah sangat menikmati enaknya jabatan, mulai dari uang jabatan, honor perjalanan, hingga keberhasilannya memberikan sejumlah proyek kepada segelintir pengusaha.

Ini adalah kenyataan sistem kapitalisme yang menjadikan segala unsur sebagai penggerak ekonomi. Adanya upaya kapitalisasi terhadap potensi unsur-unsur selain negara, yakni akademisi, badan atau pelaku usaha, masyarakat atau komunitas, dan media. Negara sendiri tidak mengoptimalkan peran, perangkat, dan potensi kekayaan negeri, seperti SDA, untuk menjadi sumber pemasukan utama, melainkan menjadikan pajak maupun pariwisata sebagai penggerak ekonomi negara.

Adapun tujuan desa wisata menurut pemerintah adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di desa agar angka kemiskinan dan pengangguran berkurang. Tetapi tujuan tersebut tidak sepenuhnya terwujud. Hal ini terjadi karena rencana yang tidak jelas, eksekusi proyek yang dijalankan kurang profesional, minimnya pengetahuan dan skill dalam pengembangan kepariwisataan, ditambah juga faktor penyalahgunaan dana desa yang menjadikan program desa wisata ini terkesan tidak tepat sasaran dan membuka peluang terjadinya praktik korupsi yang lebih marak lagi.

Jatuhnya sektor pariwisata pada masa pandemi menambah dampak buruk dari proyek desa wisata. Banyak desa wisata yang berguguran dan berdampak pada pemborosan dana APBN yang tidak tepat sasaran. Padahal, sebelumnya pemerintah dengan konsep kapitalisasinya menjadikan sektor pariwisata sebagai andalan pendapatan nonmigas yang diharapkan mampu menutupi defisit APBN.

Adanya proyek desa wisata sebelumnya yang diharapkan bisa memperbaiki kondisi ekonomi riil di pedesaan. Faktanya, malah menimbulkan banyak kebocoran dan pemborosan. Inilah dampak dari kegagalan kapitalisme dengan program-programnya yang tidak dapat menjamin kesejahterakan masyarakat.


Pertumbuhan Ekonomi dalam Islam

Islam memandang pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan hanya bisa dilakukan oleh penguasa dengan memperbaiki kondisi ekonomi secara makro dan mikro. Pemerintah harus memastikan kebutuhan hidup individu per individu terpenuhi optimal dan ada peluang untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya.

Hal ini terwujud melalui kebijakan politik ekonomi Islam dengan menjalankan syariat dalam ekonomi Islam di kehidupan bernegara. Islam memiliki konsep pengaturan kepemilikan yang sempurna, yakni kepemilikan umum, individu, dan negara, yang terbukti dapat menyejahterakan dan memajukan negara dalam sejarah peradaban Islam, yakni saat tegaknya Khilafah Islamiah.

Bidang rekreasi atau sektor pariwisata dalam sistem Islam pada masa Khilafah meski bisa menjadi salah satu sumber devisa, tetapi tidak akan dikapitalisasi. Ini karena Khilafah memiliki sumber perekonomian yang bersifat tetap tadi.

Di atas fondasi sistem ekonomi Islam dengan prinsip kepemilikannya, Islam menetapkan bahwa sejumlah SDA tidak bisa dimiliki secara privat, baik individu maupun asing. Kepemilikannya adalah milik seluruh rakyat dan negara sebagai pengelolanya untuk menjadikan SDA ini bermanfaat penuh bagi rakyat.

Dari Ibnu Abbas ra. berkata bahwa sesungguhnya Nabi ï·º bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, rumput (pohon), api (bahan bakar), dan harganya haram.” Abu Said berkata, “Maksudnya air yang mengalir.” (HR Ibnu Majah).

Di sisi lain, tujuan utama pariwisata adalah sebagai sarana dakwah. Objek wisata dalam Khilafah akan didesain untuk membuat manusia (muslim maupun nonmuslim) untuk tunduk dan takjub ketika menyaksikan keindahan alam. Juga menumbuhkan keimanan seseorang yang belum beriman pada Zat yang menciptakan alam semesta dan seisinya, serta makin mengukuhkan keimanan bagi mukmin.

Tempat rekreasi bukan semata-mata untuk meraup keuntungan, tetapi sebagai sarana dakwah Islam Kaffah. Khilafah tidak akan mengapitalisasinya cara untuk kepentingan ekonomi dan bisnis. Khilafah juga akan menutup peluang terjadinya korupsi di bidang pariwisata ini dengan mengintegrasikan penegakan hukum yang tuntas memberantas korupsi, termasuk korupsi dana desa wisata.

Sejatinya aturan Islam menjadi solusi seluruh permasalahan umat sekaligus sebagai penebus dosa bagi para pelanggar syariat yang di hukum, sehingga keberkahan dunia dan akhirat dapat tercapai.

Wallahualam bissowab.

Posting Komentar

0 Komentar