
Oleh: Titin Surtini
Muslimah Peduli Umat
Di saat rasa senang masyarakat menerima tunjangan hari raya (THR), ada kabar yang tidak menyenangkan. THR yang diterima pekerja swasta akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) sesuai Pasal 21 ayat (1) UU Pajak Penghasilan (UU PPh). THR pekerja akan langsung dipotong PPh oleh perusahaan untuk kemudian disetorkan ke kas negara. Hal ini karena pajak THR bagi pekerja swasta ditanggung oleh masing-masing pekerja, tidak seperti ASN yang pajaknya ditanggung oleh pemerintah.
Pemotongan PPh terhadap THR tersebut membuat masyarakat kaget ,sebab ini menggunakan mekanisme baru. Sejak 1 Januari 2024, pemerintah menerapkan skema penghitungan baru untuk potongan PPh Pasal 21. Skema baru ini menggunakan tarif efektif rata-rata (TER).
Berdasarkan skema lama, wajib pajak mesti menghitung jumlah penghasilan kena pajak (PKP) selama setahun. Tarif pajak lantas dikenakan ke PKP itu untuk mengetahui jumlah pajak yang harus dibayar dalam setahun. Angka setahun itu lalu dibagi 12 untuk mendapat angka potongan PPh bulanan.
Sedangkan berdasarkan mekanisme baru, potongan PPh dihitung tiap bulannya. Oleh karenanya, potongan PPh pada bulan Maret atas pemasukan yang mencakup THR jadi lebih besar dibandingkan Februari yang tanpa THR.
Bagi pekerja, besarnya pajak pada Bulan Maret saat menerima THR itu sangat terasa karena jumlahnya melonjak dibandingkan bulan sebelumnya.
Negara Kapitalis Mengandalkan Pajak
Penerapan pajak atas THR merupakan praktik perekonomian khas kapitalisme. Sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai pemasukan utama negara. Hal ini tampak pada besarnya porsi penerimaan pajak dibandingkan dengan penerimaan dari sumber lainnya.
Di dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) terdapat Pos Pendapatan Sumber Daya Alam yang jumlahnya tentu lebih kecil lagi. Ini mengingat kekayaan alam Indonesia yang luar biasa besarnya, tetapi penerimaan dari SDA minim, sedangkan mayoritas penerimaan justru dari pajak.
Ironisnya lagi, hasil uang pajak berupa pembangunan dan layanan publik juga ternyata tidak leluasa dinikmati rakyat. Kondisi yang berbeda justru terwujud dalam Khilafah. Sistem pemerintahan Islam ini tidak menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara yang utama. Sebaliknya, Khilafah memiliki banyak pemasukan.
Pos pendapatan Khilafah meliputi bagian fai dan kharaj. Mencakup seksi ganimah (ganimah, fai, dan khumus). Seksi kharaj, seksi status tanah, seksi jizyah, seksi fai, dan seksi dha. Khilafah akan mengoptimalkan pendapatan dari pengelolaan sumber daya alam milik umum dan pungutan yang tidak memberatkan seperti zakat mal, jizyah, kharaj, dan lainnya. Dari semua pos pemasukan itu, Khilafah akan mendapatkan pemasukan yang besar sehingga tidak perlu utang dan menarik pajak.
Dharibah (pajak) hanyalah pemasukan yang bersifat insidental. Pajak hanya ditarik dari orang-orang kaya ketika kas negara sedang kosong ataupun jika ada kebutuhan yang mendesak yang harus dipenuhi. Oleh karenanya, pajak bukanlah sumber pendapatan negara yang utama.
Khilafah tidak akan memungut pajak dari seluruh rakyatnya (kaya maupun miskin) secara terus-menerus, sebagaimana negara kapitalis saat ini. Pajak hanya ditarik dari orang-orang kaya.
Dengan pengaturan APBN yang bagus dalam Khilafah, akan terwujud kemandirian ekonomi sehingga tidak butuh penarikan pajak.
Khilafah akan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Khilafah akan menggratiskan layanan pendidikan, kesehatan dan yang lainnya.
Khilafah juga akan menerapkan sistem pengupahan yang adil, yaitu pekerja mendapatkan upah yang makruf (layak) sesuai hasil kerjanya.
Berbagai fasilitas publik, seperti transportasi dan sebagainya; serta hasil pengelolaan SDA, seperti BBM dan gas, bisa rakyat akses dengan harga murah. Serangkaian kebijakan ekonomi inilah yang akan mewujudkan kesejahteraan hakiki bagi rakyat. Kesejahteraan yang terus-menerus, bukan hanya THR setahun sekali.
Semoga negara Khilafah yang kita cita-citakan akan segera tegak. Aamiin!
Wallahu 'alam bissowab.
0 Komentar