KONSEP KHILAFAH DAN KHALIFAH


Oleh: La Samsu
Penulis Lepas

Khilafah dalam terminologi politik Islam ialah sistem pemerintahan Islam yang meneruskan sistem pemerintahan Rasulullah ﷺ dengan segala aspeknya yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah ﷺ.

Sedangkan Khalifah ialah pemimpin tertinggi umat Islam sedunia, atau disebut juga dengan Imam a’zham yang sekaligus menjadi pemimpin Negara Islam sedunia atau lazim juga disebut dengan Khalifat al-Muslimīn. Khalifah dan khilafah itu hanya terwujud bila:
  • Adanya seorang Khalifah saja dalam satu masa yang diangkat oleh umat Islam sedunia. Khalifah tersebut harus diangkat dengan sistem Syura bukan dengan jalan kudeta, sistem demokrasi atau kerajaan (warisan). [1]
  • Adanya wilayah yang menjadi tanah air (waṭan) yang dikuasai penuh oleh umat Islam.
  • Diterapkannya sistem Islam secara menyeluruh. Atau dengan kata lain, semua undang-undang dan sistem nilai hanya bersumber dari Syariat Islam yang bersumberkan dan berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Rasul ﷺ seperti undang-undang pidana, perdata, ekonomi, keuangan, hubungan internasional dan seterusnya.
  • Adanya masyarakat Muslim yang mayoritasnya mendukung, berbai’ah dan tunduk pada Khalifah (pemimpin tertinggi) dan Khilafah (sistem pemerintahan Islam). [2]
  • Khilafah yang dibangun bukan berdasarkan kepentingan sekeping bumi atau tanah air tertentu, sekelompok kecil umat Islam tertentu dan tidak pula berdasarkan kepentingan pribadi Khalifah atau kelompoknya, melainkan untuk kepentingan Islam dan umat Islam secara keseluruhan serta tegaknya kalimat Allah ﷻ (Islam) di atas bumi. Sebab itu Imam Al-Mawardi dalam bukunya Al-Ahkām Al-Sulṭaniyyah mengemukakan, bahwa objek imāmah (kepemimpinan umat Islam) itu ialah untuk meneruskan khilafah nubuwwah (kepemimpinan Nabi ﷺ) dalam menjaga agama Islam dan mengatur semua urusan duniawi umat Islam.


A. Syarat-syarat sebagai Khalîfah

Karena Khalîfah itu adalah pemimpin tertinggi umat Islam, bukan hanya pemimpin kelompok atau jamaah umat Islam tertentu, dan bertanggung jawab atas tegaknya ajaran Islam dan urusan duniawi umat Islam, maka para ulama, baik salaf (generasi awal Islam) maupun khalaf (generasi setelahnya), telah menyepakati bahwa seorang Khalîfah itu harus memiliki syarat atau kriteria yang sangat ketat. Syarat atau kriteria yang mereka jelaskan itu berdasarkan petunjuk al-Qur’an, Sunnah Rasul ﷺ dan juga praktek sebagian Sahabat, khususnya Khulafaur al-rasyidīn setelah Rasul , yakni Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, raḍiyallahu ‘anhum ajma’in.

Menurut Syekh Muhammad Al-Hasan Addud al-Syanqiti, paling tidak ada sepuluh syarat atau kriteria yang harus terpenuhi oleh seorang Khalîfah:
  • Muslim. Tidak sah jika ia kafir, munafik atau diragukan kebersihan akidahnya.
  • Laki-Laki. Tidak sah jika ia perempuan karena Rasul ﷺ bersabda: “Lan yufliha qawmun wallaw amrahum imra-atun (Tidak akan sukses suatu kaum jika mereka menjadikan wanita sebagai pemimpin).
  • Merdeka. Tidak sah jika ia budak, karena ia harus memimpin dirinya dan orang lain. Sedangkan budak tidak bebas memimpin dirinya, apalagi memimpin orang lain.
  • Dewasa. Tidak sah jika anak-anak, karena anak-anak itu belum mampu memahami dan memenej permasalahan.[3]
  • Sampai ke derajat Mujtahid. Karena orang yang bodoh atau berilmu karena ikut-ikutan (taklid), tidak sah kepemimpinannya seperti yang dijelaskan Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Abdul Bar bahwa telah ada ijmak (konsensus) ulama bahwa tidak sah kepemimpinan tertinggi umat Islam jika tidak sampai ke derajat Mujtahid tentang Islam.
  • Adil. Tidak sah jika ia zalim dan fasik, karena Allah ﷻ menjelaskan kepada Nabi Ibrahim bahwa janji kepemimpinan umat itu tidak (sah) bagi orang-orang yang zalim.
  • Profesional (amanah dan kuat). Khilafah itu bukan tujuan, akan tetapi sarana untuk mencapai tujuan-tujuan yang disyari’atkan seperti menegakkan Agama Allah di atas muka bumi, menegakkan keadilan, menolong orang-orang yang dizalimi, memakmurkan bumi, memerangi kaum kafir, khususnya yang memerangi umat Islam dan berbagai tugas besar lainnya. Orang yang tidak mampu dan tidak kuat mengemban amanah tersebut tidak boleh diangkat menjadi Khalifah. Sebab itu, Imam Ibnu Badran ra., mengatakan bahwa pemimpin-pemimpin Muslim di negeri-negeri Islam yang menerapkan sistem kafir atau musyrik, tidaklah dianggap sebagai pemimpin umat Islam karena mereka tidak mampu memerangi musuh dan tidak pula mampu menegakkan syar’ait Islam dan bahkan tidak mampu melindungi orang-orang yang dizalimi dan seterusnya, kendatipun mereka secara formal memegang kendali kekuasaan seperti raja atau presiden. Lalu Ibnu Badran menjelaskan, bahwa mana mungkin orang-orang seperti itu menjadi Khalifah, sedangkan mereka dalam tekanan Taghut (Sistem Jahiliyah) dalam semua aspek kehidupan. Sedangkan para pemimpin gerakan dakwah yang ada sekarang hanya sebatas pemimpin kelompok-kelompok atau jamaah-jamaah umat Islam, tidak sebagai pemimpin tertinggi umat Islam yang mengharuskan taat fi al-mansyat wa al-makrah (dalam situasi mudah dan situasi sulit), kendati digelari dengan Khalîfah.
  • Sehat penglihatan, pendengaran, lidahnya dan tidak lemah fisiknya. Orang yang cacat fisik atau lemah fisik tidak sah kepemimpinannya, karena bagaimana mungkin orang seperti itu mampu menjalankan tugas besar untuk kemaslahatan agama dan umatnya? Untuk dirinya saja memerlukan bantuan orang lain.
  • Pemberani. Orang-orang pengecut tidak sah jadi Khalîfah. Bagaimana mungkin orang pengecut itu memiliki rasa tanggung jawab terhadap agama Allah dan urusan Islam dan umat Islam. Ini yang dijelaskan Umar Ibnul Khattab saat beliau berhaji: “Dulu aku adalah pengembala onta bagi Khattab (ayahnya) di Dhajnan. Jika aku lambat, aku dipukuli, ia berkata: Anda telah menelantarkan (onta-onta) itu. Jika aku tergesa-gesa, ia pukul aku dan berkata: Anda tidak menjaganya dengan baik. Sekarang aku telah bebas merdeka di pagi dan di sore hari. Tidak ada lagi seorangpun yang aku takuti selain Allah.
  • Dari suku Quraisy, yakni dari puak Fihir Bin Malik, Bin Nadhir, Bin Kinanah, Bin Khuzai’ah. Para ulama sepakat, syarat ini hanya berlaku jika memenuhi syarat-sayarat sebelumnya. Jika tidak terpenuhi, maka siapapun di antara umat ini yang memenuhi persayaratan, maka ia adalah yang paling berhak menjadi Khalîfah.[4]


B. Sistem Pemilihan Khalîfah

Dalam sejarah umat Islam, khususnya sejak masa Khulafāu al-rāsyidīn sepeninggalan sistem Nubuwah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad ﷺ sampai jatuhnya Khilafah Utsmaniyah di bawah kepemimpinan Khalîfah Abdul Hamid II yang berpusat di Istambul, Turki tahun 1924, maka terdapat tiga sistem pemilihan Khalîfah. [5]

Pertama, dengan sistem Wilayat al-‘Ahd (penunjukan Khalîfah sebelumnya), seperti yang terjadi pada Umar Ibnul Khattab yang ditunjuk oleh Abu Bakar.

Kedua, dengan sistem syura, sebagaimana yang terjadi pada Khalîfah Utsman dan Ali. Mereka dipilih dan diangkat oleh Majlis Syura. Sedangkan anggota Majlis Syura itu haruslah orang-orang yang shaleh, faqih, wara’ (menjaga diri dari syubhat) dan berbagai sifat mulia lainnya. Oleh sebab itu, pemilihan Khalifah itu tidak dibenarkan dengan cara demokrasi yang memberikan hak suara yang sama antara seorang ulama dan orang jahil, yang saleh dengan penjahat dan seterusnya. [6]

Baik sistem pertama maupun sistem kedua, persyaratan seorang Khalîfah haruslah terpenuhi seperti yang dijelaskan sebelumnya. Kemudian, setelah sang Khalîfah terpilih, umat wajib berbai’ah kepadanya.

Ketiga, dengan sistem kudeta (kekuatan) atau warisan, seperti yang terjadi pada sebagian Khalîfah di zaman Umawiyah dan Abbasiyah. Sistem ini jelas tidak sah karena bertentangan dengan banyak dalil Syar’i dan praktek Khulafāu al-rasyidīn.


C. Tugas dan Kewajiban Khalîfah

Pada dasarnya tugas dan kewajiban Khalîfah itu sangat berat. Wilayah kepemimpinannya bukan untuk sekelompok umat Islam tertentu, akan tetapi mecakup seluruh umat Islam sedunia. Cakupan kepemimpinannya bukan hanya pada urusan tertentu, seperti ibadah atau mu’amalah saja, akan tetapi mencakup penegakan semua sistem Agama atau syari’ah dan manajemen urusan duniawi umat. Tanggung jawabnya bukan hanya terhadap urusan dunia, akan tetpi mencakup urusan akhirat.

Tugasnya bukan sebatas menjaga keamanan dalam negeri, akan tetapi juga mencakup hubungan luar negeri yang dapat melindungi umat Islam minoritas yang tinggal di negeri-negeri kafir. Kewajibannya bukan hanya sebatas memakmurkan dan membangun bumi negeri-negeri Islam, akan tetapi juga harus mampu memberikan rahmat bagi negeri-negeri non Muslim (rahmatan li al-‘alamin).

Secara umum, tugas Khalîfah itu ialah:
  • Tamkin Dinillāh (menegakkan Agama Allah) yang telah diridhai-Nya dengan menjadikannya sistem hidup dan perundangan-undangan dalam semua aspek kehidupan.
  • Menciptakan keamanan bagi umat Islam dalam menjalankan Agama Islam dari ancaman orang-orang kafir, baik yang berada dalam negeri Islam maupun yang di luar negeri Islam.
  • Menegakkan sistem ibadah dan menjauhi sistem dan perbuatan syirik (QS. AnNur: 55).
  • Menerapkan undang-undang yang ada dalam al-Qur’an, termasuk Sunnah Rasul ﷺ, dengan Hak dan adil, kendati terhadap diri, keluarga dan orang-orang terdekat sekalipun (QS. An-Nisa: 135, Al-Maidah: 8 & 48, Shad: 22 & 26).
  • Berjihad di jalan Allah.

Wallahualam Bishawab.


Catatan Kaki:
[1] Rancangan Undang-undang Dasar dalam Bab Khalifah, pasal 33 yakni tata cara pengangkatan khalifah adalah:
a). Anggota majelis ummah dari kalangan kaum muslimin mengajukan beberapa calon. Nama-nama itu diumumkan dan kaum muslimin diminta untuk memilih sala satunya.
b). Hasil pemilihan diumumkan sehinga sihingga kaum muslimin mengetahui siapa calon yang memperoleh suara terbanyak.
c). Anggota majelis ummat segera membai’at calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai khalifah, untuk menjalankan pemerintahan berdasarkan al-Qur’an dan Hadis.
d). Setelah pelaksanaan bai’at sempurna, maka diumumkan siapa kepada umat siapa yang menjadi khalifah kaum muslimin, sehingga berita pengangkatannya sampai keseluruh ummat, dengan mengumumkan namanya dan sifatnya yang menjadikannya pantas untuk diangkat sebagai kepala Negara. Lihat Syekh Taqiyuddin Al-Nabhani, Al-Nizam al-Islam, terj. Abu Amin, Peraturan Hidup Dalam Islam (Cet. 1; Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2001), h. 138.

[2] Rancangan Undang-undang Dasar dalam Bab Khalifah, pasal 26 yakni setiap muslim yang balig, berakal, baik laki-laki maupun perempuan berhak memilih khalifah dan membai’atnya. Orang-orang non muslim tidak memiliki hak pilih. Lihat ibid., h. 137.

[3] Rancangan Undang-undang Dasar dalam Bab Khalifah, pasal 31 Pengangkatan Khalifah sebagai kepala Negara dianggap sah jika memiliki enam syarat, yakni: Laki-laki, muslim, merdeka, balig, berakal, adil, memiliki kemampuan. Lihat ibid., h. 138.

[4] Muhammad Abid al-Jabiri, Agama Negara dan Penerapan Syariah (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), h. 64.

[5] Abdul Syukur Al-azizi, op.cit., h. 347.

[6] Ibid., h. 63.

Posting Komentar

0 Komentar