MENYOROT POLEMIK RUU PENYIARAN


Oleh: Muhar
Pengamat Politik dan Perubahan


Pendahuluan

Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran) menuai polemik. Puluhan jurnalis di Semarang ramai-ramai menggembok kantor DPRD Jawa Tengah pada Kamis 30 Mei 2024 pukul 16.00 WIB. Aksi simbolis itu sebagai bentuk protes penolakan keras terhadap sejumlah pasal.

Sebelumnya, pada Selasa (14/5/2024) Dewan Pers dan berbagai organisasi pers nasional juga dengan tegas menolak draf revisi undang-undang penyiaran tersebut.

Tak hanya dari kalangan pers, penolakan juga datang dari kalangan kampus. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) misalnya, mengeluarkan pernyataan resmi berisi desakan agar DPR RI menghentikan proses pembahasannya.

Selain itu, aksi penolakan dalam bentuk unjuk rasa dan kritik dari berbagai kalangan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia juga marak terjadi. Alasannya senada, selain karena banyak pasal-pasal janggal yang berpotensi mengekang kebebasan pers, penyusunan RUU Penyiaran itu juga tidak melibatkan berbagai pihak terkait, seperti Dewan Pers, komunitas pers, akademisi, periset, dll.

Dari gelombang penolakan dan kritik yang ada, Badan Legislasi (Baleg) DPR kemudian menunda pembahasannya sebagaimana yang dinyatakan Ketua Baleg DPR RI, Supratman Andi Agtas, di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (28/5/2024).

Sementara itu, Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam penyusunan (perumusan) telah menepis tudingan bahwa RUU Penyiaran tersebut dirancang untuk mengecilkan peran atau mengekang kebebasan pers.

Tidak ada dan tidak pernah ada semangat ataupun niatan dari Komisi I DPR untuk mengecilkan peran pers,” kata Meutya dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (16/5/2024).

Dia menegaskan pula, Komisi I DPR menyadari bahwa keberlangsungan media yang sehat adalah penting.


Poin-Poin Kontroversial

Berikut ini adalah rangkuman sejumlah poin-poin kontroversial draf pasal (versi terakhir 27 Maret 2024 ) yang banyak menuai kritik dan memicu gelombang penolakan:


1. KPI berwenang tangani sengketa jurnalistik
Dalam Pasal 8A ayat (1) RUU Penyiaran menyebutkan, KPI dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (1) huruf (q) berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran.

Klausul ini dinilai bertentangan dengan Pasal 15 Ayat (2) Huruf D UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang menyatakan kewenangan menyelesaikan sengketa pers berada di Dewan Pers. Salah satu tugas Dewan Pers yaitu memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.


2. Larangan penayangan jurnalisme investigasi
Pasal 50B Ayat (2) huruf (c) pada pokoknya menyatakan Standar Isi Siaran (SIS) melarang penayangan eksklusif hasil produk jurnalistik investigasi. Pada Ayat (2) disebutkan, selain memuat panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), SIS memuat larangan mengenai... (c) penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

Poin ini dinilai tumpang tindih dengan Pasal 4 huruf q UU Pers yang menegaskan bahwa tidak ada lagi ruang penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan karya jurnalistik, termasuk liputan jurnalisme investigasi. Dan pasal ini yang paling disorot lantaran memuat aturan larangan adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi.


3. Larangan penayangan konten LGBT
Pada Pasal 50B Ayat (2) huruf (g) menyatakan, penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender. Poin ini dinilai mencederai hak dasar kelompok minoritas.

4. Larangan penayangan soal pencemaran nama baik
Di kala banyak pihak meminta agar 'Pasal Karet' dalam UU ITE diubah karena banyak digunakan untuk menjebloskan seseorang ke dalam penjara dengan dalih pencemaran nama baik, draf revisi UU Penyiaran justru memuat aturan serupa. Sebagaimana dimuat dalam Pasal 50B ayat 2 huruf (k), dilarang membuat konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik.

Penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme,” bunyi beleid tersebut.


5. Sengketa pers bisa diselesaikan lewat pengadilan
Selain Pasal 8A huruf (q) dan pasal 42 ayat 2, Pasal 51 huruf E juga tumpang tindih dengan UU Pers. Pasal ini mengatur bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di pengadilan.


Apa Sikap dan Tindakan Kita?

Dari pemaparan fakta diatas, sebagai bagian dari masyarakat di negeri ini, apalagi sebagai bagian dari kaum Muslimin yang memiliki tanggung jawab dakwah dan melakukan 'amar ma'ruf nahi munkar' (mengajak dalam hal kebaikan dan mencegah kemungkaran/kejahatan), lantas pertanyaannya kemudian apa sikap dan tindakan yang semestinya kita ambil setelah menyoroti realitas polemik RUU Penyiaran yang ada di 'hadapan' kita bersama ini?

Menurut sorotan penulis, selain RUU ini patut ditolak, setidaknya ada 2 hal yang semestinya dilakukan:

Pertama, dalam rangka dakwah menyeru kepada Islam dan mengajak pada kebajikan, agar masyarakat/umat paham dan semakin paham, kita harus menjelaskan kepada mereka seluas-luasnya bahwa polemik RUU ini sebagamana polemik- polemik RUU lain yang telah ditetapkan sebagai UU (Undang-Undang) seperti UU Cipta Kerja, UU KPK, UU Minerba, UU MK, dan lain sebagainya adalah muncul akibat dari penerapan hukum buatan manusia di dalam sistem politik dan pemerintahan demokrasi di negeri ini.

Pasalnya, selama pembentukan suatu produk hukum masih berpusat pada kemampuan berpikir (akal) manusia yang lemah dan terbatas, juga memiliki berbagai kepentingan, maka polemik-polemik terhadap rancangan pembuatan yang baru maupun revisi suatu Undang-Undang (UU) yang sudah ada akan terus terjadi. Penerapannya pun dipastikan tidak akan menyelesaikan permasalahan kehidupan manusia. Sebaliknya, yang ada malah justru menambah dan menimbulkan permasalahan-permaslahan baru.

Selain itu, masyarakat/umat juga harus terus menerus dipahamkan, bahwa polemik UU dan dampak turunan penerapannya yang membuat berbagai persoalan kehidupan yang semakin rumit, sempit dan membelit dalam negeri ini tidak akan dapat diselesaikan apabila berbagai kalangan tidak memahami akar permasalahannya, yakni berpalingnya penduduk negeri ini dari penerapan hukum-hukum Allah ﷻ. Inilah, titik kritis akar permasalahan yang seharusnya dipahami sehingga disadari oleh masyarakat/umat, sebagaimana yang telah Allah ﷻ tegaskan melalui firman-Nya:

وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى
Barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh baginya kehidupan yang sempit. Dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (TQS. Tha-ha: 124)

Kedua, dalam rangka 'nahi munkar' (mencegah kemungkaran) dan demi menjalankan kewajiban langkah poltis 'muhasabah lil hukkam' (mengontrol dan mengoreksi kebijakan penguasa) yang akan merugikan umat dan merugikan gerak dakwah Islam, kritik dan penolakan terhadap Rancangan UU Penyiaran ini tetap penting dilakukan, mengingat penundaannya hanya bersifat sementara, padahal dampak kebijakannya begitu nampak tak boleh diabaikan.

Memang benar, di dalam RUU Penyiaran tersebut juga tercantum pasal larangan penayangan isi dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual dan transgender (poin 3 pada rangkuman poin-poin kontroversial di atas). yang justru dijadikan alasan oleh diantara para pengkritik dan penolak RUU ini, seperti Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) misalnya, mereka justru menilai, pasal tersebut telah menciderai hak dasar kelompok minoritas.

Namun, yang menjadi sorotan untuk kepentingan 'nahi munkar' kita yaitu berfokus pada beberapa pasal lain yang berpotensi memunculkan problem besar membungkam daya kritis masyarakat, khususnya membungkam dakwah Islam hingga taraf mengkriminalisasi.

Misalnya adalah soal larangan tayangan eksklusif jurnalis investigatif yang tertuang dalam pasal 50B ayat 2 huruf (c) (poin 2 pada rangkuman poin-poin kontroversial di atas). Pasal ini sangat berpotensi akan menutup ruang kewajiban 'muhasabah lil hukkam' (mengontrol dan mengoreksi kebijakan penguasa) sebagai 'checks and balance' yang dibutuhkan masyarakat di tengah munculnya kecenderungan pola kepemimpinan represif serta maraknya problem-problem ketakadilan yang dirasakan oleh masyarakat banyak.

Yang lebih harus diwaspadai lagi, yaitu terkait adanya 'pasal karet' tentang larangan penayangan isi dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme terorisme yang tertuang pada pasal 50B ayat 2 huruf (k) (poin 4 pada rangkuman poin-poin kontroversial di atas). Berdasarkan pengalaman, pasal seperti ini sangat rentan disalahgunakan pihak-pihak yang berkepentingan sebagai alat pukul bagi pihak yang berseberangan, terutama bagi gerakan dan pengemban dakwah Islam ideologis yang senantiasa kritis menyikapi kezaliman.

Begitu pun pada pasal 42 (poin 5 pada rangkuman poin-poin kontroversial di atas) yang menyebutkan, muatan jurnalistik dalam Isi Siaran Lembaga Penyiaran harus sesuai dengan P3 (Pedoman Perilaku Penyiaran), SIS (Standar Isi Siaran), dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal ini juga dipandang berpotensi mengebiri kreativitas serta akan membungkam daya kritis masyarakat hingga taraf mengkriminalisasi.

Di luar itu, muncul pula dugaan bahwa homogenitas industri penyiaran yang akan terjadi jika RUU ini diterapkan akan membuka ruang lebar bagi lahirnya dominasi salah satu kekuatan, baik itu secara politik maupun kapital. Hal ini sangat niscaya, berhubung pada era kekinian penyiaran sudah menjadi industri global yang sangat menguntungkan, di samping menjadi alat jitu menopang kekuasaan.


Koreksi Mendasar

Kita ketahui bersama, saat ini media massa sebagai alat media penyiaran laksana pisau bermata dua. Di satu sisi bisa menjadi media edukasi (pendidikan) dan dakwah kebaikan (Islam), tetapi di sisi yang lain bisa menjadi alat propaganda keburukan. Namun, di tengah kian kukuhnya proses sekularisasi dan liberalisasi di berbagai bidang kehidupan, termasuk di bidang politik pemerintahan, membuat fungsi media sebagal alat tuntunan dan pencerdasan masyarakat makin terabaikan, bahkan cenderung dimatikan.

Hal ini dikarenakan paham sekuler dan liberal menafikan agama dalam kehidupan. Standar yang digunakan dalam perbuatan bukan halal-haram, melainkan kemanfaatan dan perhitungan-perhitungan material. Oleh karenanya, dalam sistem yang tegak di atas paham ini lahir berbagai kebijakan yang jauh dari nilai-nilai agama adalah keniscayaan, sekaligus kian menjauhkan umat dari agama mereka.

Negara berparadigma sekuler liberal bahkan cenderung berlepas diri dari urusan moral rakyatnya. Ini karena agama dan moral dalam pandangan mereka adalah urusan pribadi rakyat dengan Tuhannya. Penguasa benar-benar tidak merasa berdosa manakala kemaksiatan dan budaya rusak merajalela di tengah rakyatnya, terutama akibat masifnya propaganda media yang hanya berorientasi keuntungan semata.

Situasi seperti ini tentu harus segera diubah. Masyarakat harus paham tentang kewajiban dan urgensi hidup di bawah tata aturan Islam yang menghendaki munculnya masyarakat yang bangkit dan berperadaban. Bukan masyarakat pengekor yang asik dengan kebebasan dan akhirnya menjerumuskan mereka dalam jurang kehinaan.


Penyiaran Dalam Islam

Dalam Islam, media dan lembaga penyiaran atau penerangan memiliki peran politis dan strategis, yakni (ke dalam) sebagai sarana pendidikan dan dakwah, dan (ke luar) sebagai sarana propaganda menyampaikan dakwah Islam dan jihad fi sabilillah. Dengan demikian, media dipastikan harus ada di bawah kontrol negara yang paradigma kepemimpinannya adalah sebagai pengurus dan penjaga umat, bukan pelayan kapitalis atau korporasi sebagaimana yang terjadi sekarang.

Negara akan memastikan fungsi media berjalan, yakni dengan menerapkan aturan tentang perkara yang boleh dan terlarang dalam tuntunan syariat Islam. Yang pasti, negara akan memastikan media dan lembaga penyiaran yang ada di dalam negeri tidak menjadi alat propaganda keburukan, melainkan menjadi pengukuh keimanan dan ketakwaan rakyatnya, serta menjaga kesatuan dan persatuan umat di bawah panji Islam hingga wibawa negara akan terpancar hingga ke luar negeri. Semua itu ditopang oleh penerapan hukum dan sanksi serta pengawasan atas pelaksanaannya dilakukan dengan ketat dan berbasis penyadaran kepada rakyat.

Meski kontrol negara atas media demikian kuat, akidah yang menjadi asas bernegara dan kawalan hukum syara’ akan mencegah munculnya peluang otoritarianisme sebagaimana tudingan sebagian kalangan. Terlebih pelaksanaan aturan media dipagari oleh hukum-hukum Islam yang lainnya, seperti ketakwaan individu rakyat, termasuk tegaknya tradisi amar makruf nahi mungkar, serta lebarnya ruang koreksi yang tersedia bagi umat terhadap kebijakan penguasa dan fungsi media massa.

Dengan semua rambu-rambu itu, rakyat dan masyarakat negara Islam akan terpelihara fitrah kebaikannya dan negaranya pun akan tampil sebagai negara yang kuat dan berwibawa di tengah bangsa-bangsa lainnya.


Penutup

Meski pembahasannya kini ditunda, untuk kepentingan dakwah dan 'amar makruf nahi munkar', RUU Penyiaran tetap harus diwaspadai. Pasalnya, penundaan hanyalah langkah mengundur waktu pengesahannya saja, bukan membatalkannya.

Dan RUU Penyiaran ini, akan terus menjadi polemik di tengah masyarakat selama penyusunan tata aturan media masih buruk. Media penyiaran hanya akan tegak di atas 'amar makruf nahi munkar' jika menggunakan Islam sebagai rujukan. Itu yang harus dipahami dan disadari oleh masyarakat/umat.

Posting Komentar

0 Komentar