
Oleh: Amriane Hidayati
Penulis Lepas
Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak menunjukkan lonjakan dalam beberapa waktu terakhir. Terdapat 11.800 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada 1 Januari hingga Juni 2025. Kemudian, dari awal Januari hingga 7 Juli 2025, totalnya sudah mencapai 13.000 kasus. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifatul Choiri Fauzi mengatakan, sebagian besar penyebab atau sumber kekerasan terhadap perempuan dan anak dipicu oleh media sosial atau gadget (Tempo, 11-07-2025).
Ada banyak masalah yang dapat terjadi akibat penggunaan handphone yang berlebihan. Salah satunya terkait kasus pornografi anak di ruang digital. Berdasarkan survei National Center on Missing and Exploited Children (NCMEC), Indonesia saat ini menempati peringkat keempat secara global dan peringkat kedua di kawasan ASEAN dalam jumlah kasus pornografi anak di ruang digital (Tempo, 09-07-2025).
Menyikapi hal ini, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) RI menciptakan regulasi untuk melindungi anak di ruang digital tanpa menghilangkan hak berekspresi dan mengakses informasi sesuai usia. Maka, lahirlah Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas) (Antara News, 09-07-2025). PP Tunas dibuat untuk menyaring konten di ruang digital yang berpotensi membahayakan, khususnya bagi anak-anak dan remaja.
Dua Mata Pisau Teknologi. Bagaimana dengan Regulasi?
Kemajuan teknologi dan dunia digital saat ini bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, keberadaannya memudahkan umat manusia, namun di sisi lain, nyatanya telah menimbulkan permasalahan terkait pemanfaatan teknologi tersebut, seperti maraknya pornografi, kejahatan seksual, dan kekerasan, khususnya bagi perempuan dan anak, yang dipicu oleh konten-konten dalam media sosial.
Kemajuan teknologi yang berkembang pesat memang tidak bisa dihindari. Namun, perkembangannya hari ini nyaris tanpa kendali. Konten-konten yang merusak, seperti pornografi dan kekerasan, sangat mudah diakses oleh siapa saja, termasuk anak-anak yang notabene belum bijak dalam memilah apa yang menjadi tontonan mereka. Akibatnya, kasus-kasus anak atau remaja yang kecanduan gadget terus mengalami peningkatan.
Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah, di antaranya ada tiga regulasi yang tengah disiapkan untuk melindungi anak di ruang digital, yaitu:
- Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tata Kelola Perlindungan Anak dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik (TKPAPSE) oleh Kementerian Komunikasi dan Digital;
- Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) tentang Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Digital (PARD) oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), dan;
- Revisi Perpres No. 25 Tahun 2012 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi oleh Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) dan Kementerian Agama (Komdigi, 27-02-2025).
Komitmen pemerintah untuk hadir dalam perlindungan anak di ruang digital dengan menyiapkan beberapa regulasi seperti yang disebutkan di atas tampaknya belum benar-benar menyentuh akar permasalahan generasi. Pasalnya, kasus kejahatan khususnya di dunia digital tidak disebabkan satu-dua faktor saja, tetapi sistemik dan berkaitan erat dengan tata aturan yang diterapkan di tengah masyarakat.
Tata Aturan Hari Ini dan Solusi Hakiki
Melihat fakta yang terjadi hari ini, tata aturan yang diterapkan adalah tatanan sekuler kapitalisme yang mengusung nilai-nilai kebebasan. Maka tidak heran, konten-konten yang beredar di media sosial juga bernafaskan kebebasan dan jauh dari nilai-nilai agama, seperti pornografi, konten kriminal/kejahatan, konten kekerasan seksual, dan sebagainya. Lemahnya regulasi dan edukasi negara terhadap rakyat membuktikan bahwa gagalnya pemerintah maupun penegak hukum dalam melindungi rakyatnya.
Dalam tata aturan hari ini, yakni sistem sekuler kapitalisme, kaum perempuan seringkali dieksploitasi secara fisik. Kecantikan perempuan digunakan untuk menarik konsumen. Akibatnya, dalam sistem ini, perempuan dan anak-anak seringkali ditempatkan pada posisi yang rentan mengalami pelecehan seksual.
Dalam Islam, keamanan warga negara menjadi tanggung jawab negara secara mutlak, baik di ruang nyata maupun di ruang digital. Fungsi negara dalam Islam adalah sebagai raa'in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:
أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Ingallah setiap kalian adalah raa'in (pemimpin/pengurus) dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Imam yang memimpin manusia adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.” (HR Bukhari).
إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ
“Sesungguhnya seorang imam itu (laksana) perisai. Ia akan dijadikan perisai saat orang akan berperang di belakangnya dan digunakan sebagai tameng. Jika ia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan adil, dengannya ia akan mendapatkan pahala. Namun, jika ia memerintahkan yang lain, ia juga akan mendapatkan dosa/azab karenanya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Islam memiliki tatanan aturan yang akan melindungi kaum perempuan dan anak-anak dengan perlindungan yang sempurna. Di antaranya dengan menerapkan sistem pendidikan Islam dengan kurikulum berdasar akidah Islam, menerapkan sistem pergaulan Islam yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan serta mengatur cara berpakaian atau kewajiban menutup aurat, menerapkan sistem sanksi Islam bagi pelaku kejahatan, baik di ruang nyata maupun di ruang digital, melarang peredaran konten yang tidak Islami dan pemikiran sekuler liberal. Dengan mekanisme tersebut, perlindungan berlapis bagi perempuan dan anak-anak dapat tercapai.
Wallahu 'alam bish-shawwab.
0 Komentar