TANAH TERLANTAR JADI ALIBI: NEGARA GAGAL ATASI MASALAH AGRARIA SECARA ADIL


Oleh: Ummu Zaid
Penulis Lepas

PP Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar menetapkan bahwa kementerian ATR/BPN berencana untuk mengambil alih tanah yang dibiarkan tidak digunakan selama dua tahun.

Tindak lanjutnya, jika dalam dua tahun tidak ada perkembangan atau proses usaha di atas lahan tersebut, pemerintah akan melakukan inventarisasi dan identifikasi untuk menilai potensi penetapannya sebagai tanah terlantar.

Rencana kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Pasalnya, masalah pertanahan di Indonesia sangat kompleks dan belum terselesaikan. Belum tuntas menyelesaikan akar masalah, kini muncul wacana untuk mengambil tanah yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun. Kebijakan ini dinilai tidak peka terhadap kondisi masyarakat yang kesulitan membeli tanah, bahkan ada yang tidak memiliki rumah karena harga tanah dan rumah yang semakin mahal setiap tahunnya.

Pengamat tata kota dan transportasi, Yayat, memberikan kritik terhadap PP Nomor 20 Tahun 2021. Pemerintah dinilai belum memiliki rencana yang jelas mengenai pemanfaatan lahan-lahan terlantar.

Kebijakan penertiban tanah terlantar bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ini adalah langkah strategis untuk mengatasi kelangkaan lahan, mendorong produktivitas, dan mengurangi ketimpangan. Namun, di sisi lain, kebijakan ini bisa disalahgunakan untuk mengakomodasi kepentingan bisnis dan proyek-proyek besar yang justru mengorbankan masyarakat kecil.

Sering kali, pemilik lahan yang tidak mampu mengelola lahannya karena alasan ekonomi, bukan karena niat menelantarkan, justru menjadi korban. Mereka kehilangan hak atas tanahnya karena dianggap tidak produktif. Padahal, tidak ada dukungan nyata dari negara untuk memfasilitasi pengelolaan tanah secara mandiri. Alih-alih memberdayakan, negara justru bertindak sebagai penguasa.

Retorika kepentingan umum sering kali menjadi pembungkus kebijakan yang sebenarnya menguntungkan segelintir pihak. Pengambilalihan tanah terlantar kerap bermuara pada pemberian konsesi kepada perusahaan besar, kawasan industri, hingga mega proyek infrastruktur. Di sini letak persoalan, keadilan agraria tidak terwujud jika tanah rakyat diambil untuk dialihkan kepada pemilik modal.

Kondisi ini menciptakan ketimpangan baru. Tanah berpindah tangan bukan dari yang tidak memanfaatkan kepada yang membutuhkan, tetapi dari yang lemah kepada yang kuat. Dalam banyak kasus, masyarakat lokal bahkan tidak pernah dilibatkan dalam proses perencanaan ataupun redistribusi.

Dalam sistem kapitalisme, tanah dianggap sebagai komoditas ekonomi. Ia dipandang bukan sebagai amanah, tetapi sebagai aset yang bisa diperjualbelikan, disewakan, diwariskan, atau bahkan ditelantarkan selama tidak melanggar hukum positif. Ketika tanah dibiarkan terbengkalai, sistem kapitalis tidak secara otomatis mengecamnya, selama hak kepemilikan secara legal tetap diakui dan pajaknya dibayar.

Fakta yang ada menunjukkan bahwa banyak tanah dikuasai oleh perusahaan agribisnis, investor asing, dan konglomerat properti. Tanah tak lagi menjadi sumber penghidupan, tetapi komoditas spekulatif.

Padahal Islam memandang tanah sebagai bagian dari Sumber Daya Alam (SDA) yang wajib dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat. Tanah bukan sekadar aset investasi, tetapi ladang amal. Kepemilikannya bukan absolut, melainkan fungsional selama dimanfaatkan dengan benar. Jika tidak, khilafah berhak mencabutnya dan menyerahkannya kepada orang lain yang mampu mengelola.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ أَحْيَا أَرْضاً مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ
Barang siapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Bukhari)

Contoh tegas datang dari Khalifah Umar bin Khattab. Beliau mencabut tanah milik para sahabat yang tidak dikelola, lalu menyerahkannya kepada kaum Muslimin lain yang mampu menggarapnya. Kebijakan ini bukan bentuk kezaliman, tetapi wujud tanggung jawab negara dalam menjamin kemanfaatan lahan bagi rakyat. Dalam Islam, tanah yang tidak digunakan adalah pengkhianatan terhadap amanah kepemilikan.

Keadilan agraria dalam Islam bukan sekadar mengambil alih, tetapi mendistribusikan, membina, dan memberdayakan. Tanah adalah amanah. Siapa yang menyia-nyiakan, berarti menyia-nyiakan nikmat Allah. Dan siapa yang menelantarkan, maka negara berhak mengambil kembali hak itu demi kepentingan umat.

Solusi Islam terhadap tanah terlantar bersifat holistik dan adil, mengakui hak milik, tapi juga menuntut tanggung jawab sosial. Khilafah bertugas menjaga agar tanah tidak menjadi alat eksploitasi, tetapi menjadi sumber berkah bagi seluruh umat. Dengan prinsip ini, tanah terlantar tidak dibiarkan menjadi beban, melainkan diberdayakan menjadi sumber kehidupan yang adil dan produktif.

Sungguh sempurna aturan Allah ﷻ dalam mengatur kehidupan manusia. Sudah saatnya kaum Muslimin meninggalkan dan membuang sistem kapitalisme yang hanya memberikan kesengsaraan kepada manusia, dan segera beralih kepada aturan Allah ﷻ yang terbukti memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat, yaitu sistem Islam dalam naungan negara khilafah. Allah ﷻ berfirman:

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ
Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Mā'idah: 50)

Posting Komentar

0 Komentar