HUKUM PENGELOLAAN TAMBANG DALAM ISLAM


Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Dalam sebuah GWA, ada anggota GWA yang bertanya: jika Ormas tidak sah mengelola tambang, tidak syar'i, maka bagaimanakah pengelolaan tambang yang syar'i menurut syariat Islam?

Untuk menjawabnya, penulis kutip keterangan dari kitab 'Al Amwal Fi Daulah Khilafah' yang rinciannya sebagai berikut:

Harta milik umum adalah harta yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) bagi kaum Muslim harta tersebut menjadi milik bersama kaum Muslim. Individu-individu di perbolehkan mengambil manfaat dari harta tersebut, namun, mereka dilarang untuk memilikinya secara pribadi. Jenis-jenis harta ini di kelompokkan pada tiga macam, yaitu:

Pertama, sarana-sarana umum yang diperlukan seluruh kaum Muslim dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya: Jalan, Jembatan, Rel Kereta Api, Stasiun, Terminal, dll.

Kedua, Harta-harta yang keadaan asalnya terlarang bagi individu tertentu untuk memilikinya. Contohnya: laut, sungai, termasuk jalan dan jembatan.

Ketiga, Barang tambang (sumber alam) yang jumlahnya tak terbatas. Contohnya adalah tambang batubara eks PKP2B yang saat ini menjadi objek diskusi hangat setelah pemerintah menyerahkannya kepada Ormas.

Ketiga jenis pengelompokkan ini beserta cabang-cabangnya dan hasil pendapatannya merupakan milik bersama kaum Muslim, dan mereka berserikat dalam harta tersebut. Harta ini merupakan salah satu sumber pendapatan Baitul Mal kaum Muslim (Negara, sumber APBN).

Khalifah sesuai dengan ijtihadnya berdasarkan hukum syara’, mendistribusikan harta tersebut kepada mereka dalam rangka mewujudkan kemaslahatan Islam dan kaum Muslim. Individu, korporasi dan ormas tidak punya hak untuk mengelola. Semua harus dikelola oleh Negara, dan manfaatnya dikembalikan kepada umat/rakyat.

Harta milik umum jenis ketiga adalah barang tambang (sumber alam) yang jumlahnya tak terbatas, yaitu barang tambang yang jumlah (deposit)nya sangat berlimpah. Barang tambang yang (depositnya) sedikit dan jumlahnya sangat terbatas di golongkan ke dalam milik pribadi, sehingga seseorang boleh memilikinya.

Rasulullah ï·º membolehkan Bilal bin Harits al-Mazaniy memiliki barang tambang yang sudah ada (sejak dulu) di bagian wilayah Hijaz. Saat itu Bilal telah meminta kepada Rasulullah ï·º agar memberikan daerah tambang tersebut kepadanya. Beliaupun memberikannya kepada Bilal dan boleh dimilikinya.

Jadi, pertambangan emas, perak dan barang tambang lainnya yang jumlah (depositnya) sangat sedikit tidak ekonomis dan bukan untuk diperdagangkan tergolong milik pribadi. Seseorang boleh memilikinya, begitu juga halnya dengan negara, boleh memberikan barang tambang seperti itu kepada mereka. Hanya saja mereka wajib membayar khumus (seper lima atau 20% dari hasilnya) dari (barang) yang diproduksi kepada Baitul Mal (Negara), baik yang di eksploitasi itu sedikit ataupun banyak.

Adapun barang tambang yang jumlahnya banyak dan (depositnya) tidak terbatas, seperti yang dikuasai oleh PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Adaro Energy Tbk, PT Multi Harapan Utama (MAU), dan PT Kideco Jaya Agung, termasuk PT Freeport, juga lahan eks PKP2B, hal itu tergolong pemilikan umum bagi seluruh kaum Muslim, sehingga tidak boleh dimiliki oleh seseorang atau beberapa orang (korporasi atau ormas).

Tidak boleh diberikan kepada beberapa orang tertentu. Demikian juga tidak boleh memberikan keistimewaan (previlege) kepada seseorang atau lembaga tertentu (baik korporasi atau ormas) untuk mengeksploitasinya. Jadi, harus dibiarkan sebagai milik umum bagi seluruh kaum Muslim, dan mereka berserikat atas harta tersebut. Negara-lah yang wajib menggalinya, memisahkannya dari benda-benda lain, meleburnya, menjualnya atas nama mereka (kaum Muslim), dan menyimpan hasil penjualannya di Baitul Mal kaum Muslim.

Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara barang tambang terbuka (terdapat di permukaan bumi), yang eksploitasinya tidak memerlukan usaha yang berat, seperti tambang garam atau (batu) celak mata dengan barang tambang yang terdapat di dalam perut bumi, yang eksploitasinya memerlukan usaha yang berat, seperti emas, perak, besi, tembaga, grafit, timah, khrom, uranium, pospat dan barang tambang lainnya.

Begitu juga, apakah berbentuk padat (bijih) seperti emas dan besi, maupun berbentuk cair seperti minyak bumi, atau berbentuk gas seperti gas alam. Dalil yang dijadikan dasar untuk barang tambang yang (depositnya) berjumlah banyak dan tidak terbatas sebagai bagian dari pemilikan umum, adalah hadits yang diriwayatkan dari Abidh bin Hamal al-Mazaniy:

"Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Maka beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majlis, ‘Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir’. Akhirnya beliau bersabda: ‘(Kalau begitu) tarik kembali darinya’." (HR.Tirmidzi)

Tindakan Rasulullah ï·º yang meminta kembali (tambang) garam yang telah diberikan kepada Abidh bin Hamal dilakukan setelah mengetahui bahwa (tambang) garam tersebut jumlah (deposit)nya sangat banyak dan tidak terbatas. Ini merupakan dalil larangan atas individu untuk memilikinya, karena hal itu merupakan milik seluruh kaum Muslim.

Larangan tersebut tidak terbatas pada (tambang) garam saja, cakupannya umum, yaitu meliputi setiap barang tambang apapun jenisnya, sepanjang memenuhi unsur bahwa barang tambang tersebut jumlah (deposit)nya laksana air yang mengalir, yakni tidak terbatas. Karena barang tambang yang jumlahnya tak terbatas merupakan milik umum seluruh rakyat, maka negara tidak boleh memberikan izin kepada perorangan atau perusahaan untuk memilikinya.

Demikian juga negara tidak boleh mengizinkan perorangan atau perusahaan (termasuk Ormas) melakukan eksploitasi untuk menghidupi mereka. Negara dalam hal ini wajib melakukan eksploitasi barang tambang (sumber alam) tersebut mewakili kaum Muslim, kemudian hasilnya digunakan untuk memelihara urusan-urusan mereka. Jadi, apapun yang dikeluarkan dari barang tambang ditetapkan sebagai milik umum seluruh kaum Muslim.

Eksploitasi barang-barang tambang, terutama yang berada di dalam perut bumi, baik berbentuk cair maupun padat memerlukan peralatan dan (proses) industri. Negara wajib mengeluarkannya untuk memenuhi kebutuhan kaum Muslim, karena tergolong harta milik umum. Eksploitasinya dapat saja langsung dilakukan negara dengan menggunakan peralatan dan industri yang dimilikinya atau (yang berasal) dari pemilikan umum lainnya.

Posting Komentar

0 Komentar