
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Riuh cuitan maupun celoteh netizen terkait bocornya (lagi) Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2, sang peretas, diduga pengguna kejahatan ransomware LockBit 3.0. Ini adalah gang Brain Chiper, setelah sempat meminta tebusan akhirnya mengubah tuntutannya bahkan berjanji pada Rabu, 3 Juli 2024 akan memberikan secara cuma-cuma pembuka (dekripsi) data yang mereka kunci.
Banyak pakar menduga alasan pelaku peretasan ini mengubah tuntutannya adalah ada pihak yang sudah membayar, tentu di luar pemerintah dan lembaga yang berwenang. Tapi mereka adalah segelintir elit politik yang punya kuasa dan merasa ada data mereka yang bakal bocor karena lemahnya perlindungan negara sendiri.
Data apa itu? Masih menjadi spekulasi, tapi yang pasti akan makin membuat negara hancur lebur tersebab semakin terbuka bahwa mereka bukan lagi pengurus rakyat, tapi opportunis yang hanya ingin menyelamatkan kepentingan pribadi dan golongan saja.
Apalagi, kelompok peretas ini menyebutkan tujuan sebenarnya meretas adalah untuk mendorong pendanaan dan SDM yang lebih layak di sektor teknologi agar bisa disediakan oleh negara. Mereka juga menerima donasi jika netizen ingin mendukung upaya mereka ini.
Bicara tambahan anggaran Wakil Ketua DPR, Rieke Diah Pitaloka bereaksi dengan sindiran adanya oknum ACAI alias Asosiasi Calo Anggaran Indonesia. Pasalnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani sudah memberikan jatah Rp4,9 triliun ke Kominfo dan Rp700 miliar untuk Pusat Data Nasional yang diambil dari APBN 2024. Dana yang cukup besar, menurut Rieke, jika tidak include back data artinya kemungkinan ada penyelewengan data. (suara.com,3/7/2024).
Apa mau dikata, sejak 20 Juni, PDNS lumpuh akibat serangan ransomware atau teknik peretasan dengan membobol sistem dan mengunci data-data yang ada di dalamnya. Akibatnya, sebagian besar data di pusat data yang dihuni 282 institusi pemerintah pusat dan daerah ini terkunci dan tak bisa dipulihkan sejauh ini. Dan kebocoran atau upaya peretasan ini bukan kali pertama (cnnindonesia.com,2/7/2024).
Pemerintah menyebut pelaku meminta tebusan US$8 juta atau sekitar Rp131,8 miliar buat membuka kuncinya. Namun, Kominfo mengaku tak akan membayar tebusan itu. Lebih konyolnya, pemerintah merasa bersyukur pelaku peretasan bukan negara, sebagaimana yang disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie.
Secara logika, negara mana yang mau meretas negara kita yang hanya melindungi data penting rakyatnya dengan Microsoft defender yang gratis? Semakin maju negara sudah pasti akan mengerahkan tenaga IT tercanggih untuk mampu menciptakan sistem tercanggih pula dalam menjaga kerahasiaan data sekaligus keamanannya.
Butuh Pemimpin Negarawan
Inilah yang harus kita pahami, kita berada dalam sistem kapitalisme yang meniscayakan peran negara sangat minimalis, lebih jelasnya lagi hanya sebagai regulator kebijakan. Tak banyak yang bisa dilakukan sebab sebagian besar kekuasaan ada pada segelintir pihak pemilik modal. Inilah yang sangat berbahaya, dalam konstelasi politik dunia jika tak memiliki kewenangan penuh, bahkan bisa dengan mudah didikte “penguasa” di atas penguasa maka otomatis kedaulatan tak pernah bisa ditegakkan.
Sangat berbanding terbalik dalam pandangan Islam, pemimpin adalah pengurus sekaligus penjaga umat. Dalam konteks pergaulan internasional, khilafah, negara berdasar syariat Islam bertanggung jawab menyebarkan risalah Islam dengan dakwah dan jihad fi sabilillah. Dengan demikian, Islam yang memang diturunkan untuk mewujudkan rahmatan lil aalamin akan benar-benar bisa dirasakan oleh umat sedunia.
Kesejahteraan secara riil terwujud, terlebih rasa aman. Data rakyat dibutuhkan untuk kemudahan penunaian jaminan pelayanan negara kepada rakyat terkait seluruh kebutuhan pokoknya. Maka, negara wajib menjaganya dengan segenap kemampuan, baik edukasi perlindungan data juga pengembangan teknologi terkini guna menjaga keamanan data tersebut.
Tentulah negara khilafah tidak mengalami kendala, sebagai negara mandiri, pembiayaan seluruh operasional negara telah ditetapkan negara dengan Baitulmal. Dimana pos pendapatannya berasal dari hasil pengelolaan sumber daya alam yang menjadi kepemilikan umum dan negara. Bukan dari pajak apalagi utang luar negeri.
Khilafah juga akan menerapkan hukum dan sanksi yang kuat dan memberi efek jera hingga tak lagi ada celah munculnya pelanggaran. Yaitu berupa takzir yang berat ringannya tergantung berat ringannya pelanggaran yang dilakukan. Bisa jadi hukuman mati dijatuhkan jika peretasan data dilakukan demi kepentingan musuh-musuh Islam.
Perlindungan data yang akurat adalah kewajiban negara sebagaimana persiapan jihad fi sabilillah. Sebagaimana firman Allah ï·» yang artinya, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka (musuh) kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedangkan Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (TQS Al-Anfal: 60).
Kondisi ini tidak akan lahir dari sistem kapitalisme-demokrasi, sebab asasnya sekuler, yaitu pemisahan agama dari kehidupan bahkan negara dan pemerintahan. Maka ini semestinya menjadi target setiap muslim untuk kembali menerapkan syariat sebagai konsekuensi keimanan yang kuat kepada Allah Sang Khaliq dan Mudabbir.
Wallahualam bissawab.
0 Komentar