
Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Hakekat kepemimpinan adalah amanah, amanah untuk melakukan dua fungsi sekaligus:
Pertama, fungsi melayani, yakni melayani jama'ah, agar terpenuhi apa yang menjadi hajat dan tujuan berjamaah. Dalam konteks bernegara, melayani hajat rakyat berupa memberi jaminan terpenuhinya seluruh kebutuhan asasi rakyat, dan mengupayakan terpenuhinya kebutuhan yang bersifat sekunder dan tersier.
Termasuk dalam konteks melayani, adalah memastikan rakyat memenuhi hajat secara benar, baik yang terkait dengan Al Hajat Udhowoyah (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan), juga Gharizah berupa penyaluran naluri beragama secara benar, naluri melestarikan keturunan secara benar, dan naluri melindungi diri secara benar.
Dalam konteks negara Islam (Khilafah), maka tugas pemimpin adalah memastikan setiap individu rakyat tercukupi hajat asasinya, mengupayakan individu rakyat dapat menjangkau kebutuhan hajat sekunder dan tersier, dan menyalurkan seluruh naluri setiap individu rakyat secara benar, dari soal eksistensinya sebagai hamba, hingga tujuannya untuk beribadah hanya kepada Allah ﷻ semata.
Kedua, yakni fungsi melindungi, melindungi setiap jiwa, harta, dan martabat jama'ah yang menjadi amanah dan tanggungjawabnya. Dalam konteks bernegara, yakni melindungi setiap individu rakyat dari serangan musuh, sekaligus menjaga setiap individu rakyat saling melindungi dan tidak mencederai/merusak setiap jiwa, harta, dan martabat rakyat lainnya.
Dalam konteks negara Islam (Khilafah), maka tugas pemimpin adalah memastikan setiap individu rakyat terjaga jiwa, harta dan nasabnya, dengan menetapkan syariah Islam, baik berupa hudud maupun qisos dan diyat, agar terjadi keamanan dan ketenteraman setiap warga negara.
Karena itu, untuk memilih seorang pemimpin, baik dalam level Jama'ah maupun Negara, maka calon pemimpin tersebut harus memiliki kualifikasi sebagai berikut:
Pertama, calon pemimpin tersebut harus memiliki kedalaman ilmu, tsaqofah, dan berbagai sarana pemikiran teknis untuk menjalankan fungsi pelayanan terhadap jama'ah. Karena mustahil dia mampu menjalankan fungsi pelayanan, yang didalamnya memuat kewenangan pengaturan, baik untuk memerintah maupun melarang jama'ah, jika dirinya tidak memiliki bekal ilmu, tsaqofah, dan berbagai sarana pemikiran teknis untuk menjalankan fungsi pelayanan terhadap jama'ah.
Jika amanah itu diberikan bukan pada ahlinya, maka kehancuran jama'ah akan menjadi konsekuensinya. Karena itu, asas untuk memilih calon pemimpin adalah yang terbaik diantara yang baik. Bukan yang paling sedikit mudhorotnya.
Kebaikan itu meliputi ketakwaannya, penjagaan marwahnya (wibawa dan kehormatan), kedalaman ilmu, tsaqofah, dan berbagai sarana pemikiran teknis untuk menjalankan fungsi pelayanan terhadap jama'ah.
Kedua, calon pemimpin tersebut harus memiliki sifat saja'ah, memiliki keberanian untuk memberikan perlindungan kepada jama'ah, karena hakekat pemimpin itu adalah perisai (benteng) bagi jama'ahnya, dan berani pasang badan menunjukan eksistensi jama'ah secara terbuka kepada umat.
Calon pemimpin yang memiliki memiliki kedalaman ilmu, tsaqofah, dan berbagai sarana pemikiran teknis untuk menjalankan fungsi pelayanan terhadap jama'ah, namun tidak memiliki keberanian akan menyebabkan terbengkalainya amanah jama'ah.
Sebab, seluruh ilmu, tsaqofah, dan berbagai sarana pemikiran teknis untuk menjalankan fungsi pelayanan terhadap jama'ah, tidak akan memiliki dampak bagi jama'ah jika tak digunakan untuk melakukan eksekusi kebijakan, baik untuk memberikan perlindungan maupun untuk meraih tujuan jama'ah. Dan eksekusi kebijakan membutuhkan nyali, membutuhkan keberanian. Ilmu dan tsaqofah yang hebat tanpa nyali, ibarat pedang yang tajam tapi hanya di taruh dalam sarungnya.
Apalagi, jika jama'ah telah memasuki fase pertarungan politik, untuk melakukan proses pertarungan dengan kekuasaan yang zalim, sekaligus untuk mencari dukungan (nushroh) pada simpul-simpul kekuasan dan umat, maka keberanian pemimpin menjadi syarat mutlak untuk merealisir tujuan jama'ah.
Umat pun, akan memberikan kepercayaan dan dukungan, saat pimpinan jama'ah menunjukan sikap ksatria, keberanian dan daya tahan yang kuat, berani pasang badan bagi umat, menjadi pelindung dan pengayom bagi umat, untuk mencapai apa yang menjadi harapan dan tujuan umat.
Ringkasnya, calon pemimpin itu harus memiliki sifat riayah baik dan mampu menjadi junnah. Karena Rasulullah ﷺ pernah bersabda dalam Hadits riwayat Bukhari Nomor 6605:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Telah menceritakan kepada kami (Ismail) Telah menceritakan kepadaku (Malik) dari (Abdullah bin Dinar) dari (Abdullah bin Umar) radliallahu 'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan isteri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya, ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya."
Juga Hadits Muslim Nomor 3428:
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ عَنْ مُسْلِمٍ حَدَّثَنِى زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ حَدَّثَنِي وَرْقَاءُ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ
Telah menceritakan kepada kami Ibrahim dari Muslim telah menceritakan kepadaku (Zuhair bin Harb) telah menceritakan kepada kami (Syababah) telah menceritakan kepadaku (Warqa`) dari (Abu Az Zinad) dari (Al A'raj) dari (Abu Hurairah) dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Seorang imam itu ibarat perisai, seseorang berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya. Jika seorang imam (pemimpin) memerintahkan supaya takwa kepada Allah 'azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (imam) akan mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia (imam) memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa."
Walahuallam.
0 Komentar