
Oleh: Ahmad Khozinudin
Pejuang Khilafah
Dalam situs berita sindo.com edisi Kamis, 04 Juli 2024, kanal berita milik media MMC Group ini (Harie Tanoesoedibjo) mengutip pernyataan Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Prof Zuly Qodir yang pada pokoknya menyatakan perjuangan umat Islam untuk menegakkan Khilafah sebagai perjuangan yang utopia (mimpi/khayali).
"Sekarang, sebagian kawan-kawan kita dari HTI ingin mengglorifikasi dan memunculkan kembali, seakan-akan ada kebangkitan negara Islam di Indonesia, bahkan pada tingkatan internasional. Menurut saya ini sebuah utopia, kegalauan yang luar biasa dari pengusung khilafah, tetapi memang diglorifikasi secara terus menerus dan membuat pendukungnya terngiang-ngiang dengan perlunya negara Islam," ungkap Prof Zuly Qodir, Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Prof Zuly menuding kelompok radikal seringkali mencampuradukkan antara prinsip akidah yang mutlak dengan tafsir fiqih, khususnya pada bagian siyasah atau politik. Padahal, menurutnya Khilafah dan Akidah dua hal yang sangat berbeda.
Tudingan atas kekeliruan dalam memahami perbedaan ini kemudian dianggap membuat kelompok Islam yang radikal selalu menggaungkan tegaknya negara Islam sebagai kesempurnaan beragama. Bahkan, secara tegas Prof Zuly menuding Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) hanya melakukan glorifikasi terhadap utopia Khilafah.
Sebagai argumen bahwa Khilafah utopia, Prof Zuly merujuk pada kekalahan PPP, PBB dan Partai Umat yang dianggap representasi Parpol Islam. Jangankan menegakan syariat Islam, ketiga Parpol ini lolos parlemen saja tidak.
Sebagai pejuang Khilafah, penulis tentu berkepentingan untuk memberikan tanggapan atas tuduhan Khilafah utopia. Adapun pandangan Prof Zuly terhadap HTI, karena bukan kewenangan penulis, biarlah kawan-kawan HTI yang memberikan klarifikasi.
Penulis awali dengan beberapa pandangan sebagai berikut:
Pertama, frasa atau ungkapan 'utopia' yang bermakna sesuatu yang mustahil wujud dalam realita (khayali), harus merujuk pada suatu ide atau pemikiran yang tidak memiliki fakta empirisnya. Istilah utopia ini, mulanya populer untuk mendelegitimasi pikiran Karl Marx yang mengusung ide Sosialisme Komunisme.
Ide komunisme dan sosialisme saat itu dituding utopia, karena tidak ada faktanya. Faktanya, terdapat banyak kelas sosial di masyarakat dan faktanya kaum buruh tertindas dan berada dibawah kendali kaum Borjuis.
Namun, frasa atau ungkapan utopia ini tidak nyambung jika dinisbatkan pada Khilafah. Orang yang menyebut Khilafah utopia ini mengalami dua kebutaan: buta sejarah dan buta logika.
Khilafah sejarahnya pernah eksis selama kurun 13 Abad, sejak era Khalifah Abu Bakar RA jingga era Khilafah Turki Utsmani. Memang benar, pada akhirnya Khilafah runtuh pada 3 Maret 1924, namun tidak ada satu pun orang yang dapat membantah bahwa Khilafah pernah eksis nyata dalam realita kehidupan dunia selama kurun 13 Abad, kecuali pada orang yang buta sejarah.
Secara logika, sesuatu yang pernah ada bahkan eksis 13 abad, sangat mungkin tegak kembali. Analogi sederhananya, kebun singkong yang pernah dipanen, bisa dipanen kembali setelah melakukan penanaman dan perawatan.
Khilafah, memang telah runtuh. Namun, suatu saat pasti akan tegak kembali, karena umat Islam telah, sedang dan terus memperjuangkan tegaknya sistem Khilafah ini.
Yang paling parah, orang yang mengatakan Khilafah utopia adalah orang yang buta syariah. Sebab, syariah tidak mungkin tegak tanpa Khilafah. Dan janji tegaknya Khilafah akhir zaman, telah dikabarkan melalui hadits dari penuturan lisan yang mulia, Rasulullah Muhammad ï·º.
Kedua, tuduhan Khilafah utopia, sedang pada saat yang sama meminta umat Islam memperjuangkan substansi keadilan dan kemakmuran melalui sistem demokrasi, justru hal inilah utopia yang hakiki.
Demokrasi itu utopia, baik dari tataran konsep hingga aplikasi. Secara konsep, kedaulatan rakyat itu utopia, karena mustahil rakyat bisa mengatur penguasa. Secara aplikasi, yang berdaulat justru kapital (duit), rakyat hanya dijadikan dalih saja.
Bukti kongkritnya Pemilu dan Pilpres 2024. Apakah pemimpin dan parpol yang terpilih, mengkonfirmasi kedaulatan rakyat? Tidak, semua yang menang pake duit, dalam pemilu dan Pilpres yang berdaulat adalah kapital, bukan suara rakyat.
Saat berkuasa, penguasa juga mengabaikan rakyat. UU IKN, UU Cipta Kerja, UU MIGAS, UU MINERBA, dan seluruh produk legislasi lainnya, justru menjadi bukti bahwa yang berdaulat adalah kapital, bukan rakyat.
Yang dibuat adil dan makmur dalam demokrasi adalah oligarki, bukan rakyat. Rakyat hanya dijadikan sapi perah kaum oligarki dan pemegang kapital.
Ketiga, PPP, PBB & Partai Umat yang dijadikan dalih representasi umat Islam dalam politik tidak bisa dibenarkan. Sebab, pada faktanya 3 partai ini tidak pernah terbuka mengusung syariah & Khilafah.
PPP dan PBB malah berkoalisi dengan partai penguasa yang dipimpin rezim Jokowi, untuk mengebiri aspirasi umat Islam yang menginginkan syariah & Khilafah.
Praktik demokrasi saat ini, juga hanya pameran atas jumawanya oligarki terhadap konsep kedaulatan rakyat. Pada faktanya, tidak ada kedaulatan rakyat dalam demokrasi, yang ada hanya kedaulatan oligarki.
Jadi, yang utopia itu demokrasi. Demokrasi mengedarkan sihir kedaulatan rakyat kepada umat Islam, agar umat Islam berpaling dari kedaulatan Allah ï·» dan kewajiban menegakan syariat Islam (hukum Islam).
Lagipula, realita politik dunia juga Indonesia saat ini, justru semakin meneguhkan keyakinan Khilafah akan segera tegak kembali. Keyakinan akan Kedatangan Khilafah ar Rasyidah, lebih sulit untuk diingkari ketimbang keyakinan akan tumbangnya sistem demokrasi.
0 Komentar