VONIS KASUS IMPOR GULA DAN DAMPAK EKONOMI KAPITALIS DALAM KEBIJAKAN PEMERINTAH


Oleh: Abu Ghazi
Pengamat Kebijakan Publik

Majelis Hakim telah memvonis mantan Menteri Perdagangan periode 2015-2016, Tom Lembong, dengan hukuman penjara selama 4,5 tahun terkait kasus impor gula. Vonis ini menuai kontroversi karena keputusan tersebut didasarkan pada kebijakan yang dianggap lebih mendahulukan prinsip-prinsip ekonomi kapitalis, sebagaimana yang dijelaskan oleh hakim dalam pertimbangannya (Tempo, 22-07-2025).


Kapitalisme, Ideologi yang Melahirkan Kesenjangan

Sistem ekonomi kapitalis merupakan bagian dari ideologi Kapitalisme yang berakar pada sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan, termasuk dalam ranah ekonomi. Kapitalisme muncul setelah peristiwa Renaissance dan Revolusi Industri pada abad ke-18, dengan demokrasi sebagai pilar pendukung dalam aspek politik. Salah satu aspek utama dari sistem ekonomi kapitalis adalah kebebasan kepemilikan pribadi, yang memberikan izin bagi individu atau perusahaan untuk memiliki dan menguasai sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik bersama, seperti tambang, minyak, dan gas.

Di Indonesia, praktik ini terlihat jelas pada penguasaan sumber daya alam yang sebagian besar dimiliki oleh segelintir orang atau kelompok oligarki. Berdasarkan data APBN tahun 2024, penerimaan negara dari sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM) hanya sekitar Rp 500 Triliun, jauh lebih kecil dibandingkan dengan pemasukan dari pajak yang mencapai hampir Rp 2.000 Triliun. Selain itu, Menteri ATR, Nusron Wahid, menyatakan bahwa lebih dari separuh lahan bersertifikat di Indonesia dikuasai oleh 60 keluarga, sementara jutaan rakyat lainnya tidak memiliki lahan sama sekali. Ini menunjukkan ketimpangan dalam distribusi sumber daya ekonomi.


Kebijakan Ekonomi yang Mendukung Kapitalisme

Penguasaan sumber daya ekonomi oleh oligarki ini mendapatkan dukungan hukum melalui berbagai undang-undang, termasuk UU Cipta Kerja yang digagas oleh Pemerintah bersama DPR. Sebagai akibatnya, pelaku utama dalam sistem ekonomi kapitalis Indonesia adalah pemerintah dan DPR itu sendiri, yang terus mempertahankan kebijakan yang berpihak pada kepentingan segelintir kalangan.

Negara juga menggantungkan pendapatannya pada pajak, yang sebagian besar bersumber dari rakyat, dan utang berbasis bunga yang menjadi salah satu ciri khas kapitalisme. Pada tahun 2024, bunga utang pemerintah yang harus dibayar mencapai hampir Rp 500 Triliun, sebuah jumlah yang sangat besar dan menunjukkan ketergantungan pada sistem ekonomi yang berbasis bunga, atau riba yang merupakan bagian dari sistem kapitalisme itu sendiri.


Kritik Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani terhadap Kapitalisme

Pemikiran Islam tentang sistem ekonomi jauh berbeda dengan kapitalisme. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, seorang ulama besar dan pemikir Islam terkemuka, menegaskan kritiknya terhadap kapitalisme dalam bukunya an-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm (Sistem Ekonomi dalam Islam). Syaikh Taqiyuddin menyoroti beberapa aspek utama dari kapitalisme yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
  • Sekularisme sebagai Asas Kapitalisme: Kapitalisme dibangun atas dasar sekularisme, yang memisahkan agama dari kehidupan, termasuk dalam hal ekonomi. Ini bertentangan dengan Islam yang menjadikan wahyu Allah sebagai sumber hukum utama dalam segala bidang, termasuk ekonomi.
  • Kepemilikan yang Tidak Adil: Dalam kapitalisme, hak kepemilikan pribadi atas sumber daya alam dan barang-barang milik umum seperti air, tambang, dan listrik dibolehkan. Islam, sebaliknya, melarang kepemilikan pribadi atas hal-hal yang menguasai hajat hidup orang banyak, yang harus dikelola oleh negara untuk kepentingan bersama.
  • Distribusi Kekayaan yang Tidak Merata: Kapitalisme hanya berfokus pada akumulasi kekayaan, sementara distribusi kekayaan tidak merata. Hal ini menyebabkan kesenjangan yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin. Sedangkan dalam sistem ekonomi Islam, tujuan utama ekonomi adalah mendistribusikan kekayaan secara adil kepada seluruh rakyat.
  • Negara Lebih Mengabdi pada Oligarki: Dalam kapitalisme, negara seringkali lebih berpihak pada korporasi dan pemilik modal ketimbang melayani rakyat. Hal ini tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang lebih mendukung kepentingan pengusaha besar, seperti dalam kasus UU Cipta Kerja yang disahkan oleh pemerintah dan DPR.
  • Kebebasan Ekonomi yang Menyebabkan Ketidakadilan: Sistem kapitalis memungkinkan kebebasan ekonomi tanpa kontrol yang cukup, yang sering menimbulkan ketidakadilan seperti monopoli, eksploitasi buruh, dan berbagai praktik ekonomi yang merugikan masyarakat.


Ekonomi Islam, Solusi untuk Kesejahteraan Rakyat

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menawarkan solusi melalui sistem ekonomi Islam yang berfokus pada distribusi kekayaan dan kesejahteraan rakyat. Dalam sistem ini, tujuan utamanya bukanlah untuk menghasilkan kekayaan nasional atau GDP, melainkan untuk mendistribusikan kekayaan secara adil kepada seluruh rakyat. Islam membagi kepemilikan harta menjadi tiga kategori: kepemilikan pribadi, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara, yang semuanya harus dikelola dengan cara yang adil dan transparan.

Sistem ekonomi Islam juga melarang transaksi yang merusak ekonomi, seperti riba, spekulasi, dan monopoli. Negara dalam sistem ini memiliki kewajiban untuk menjamin kebutuhan dasar rakyat, seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Selain itu, negara juga harus memastikan distribusi sumber daya alam yang merata, agar hasilnya bisa dinikmati oleh seluruh rakyat tanpa ada yang tertinggal.


Menuju Kesejahteraan yang Berkeadilan

Keberadaan kapitalisme di Indonesia telah terbukti menciptakan ketimpangan ekonomi yang semakin parah. Negara lebih mengutamakan kepentingan segelintir orang, sementara rakyat banyak terpinggirkan. Untuk itu, saatnya negara ini kembali ke sistem ekonomi Islam yang akan menjamin kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Hanya dengan sistem ekonomi yang adil, yang berlandaskan pada syariah Islam, keberkahan dan kemakmuran sejati bagi seluruh rakyat Indonesia dapat terwujud.

Dengan menegakkan sistem ekonomi Islam, kita tidak hanya akan mendapati kemakmuran duniawi, tetapi juga keberkahan yang datang dari Allah ﷻ, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an surat al-A’raf ayat 96:

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ
Andai penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Kami pasti akan melimpahkan kepada mereka aneka keberkahan dari langit dan bumi.

Posting Komentar

0 Komentar