
Oleh: Alex Syahrudin
Pengamat Politik dan Perubahan
Pilkada Jakarta 2024 menjadi sorotan publik dengan munculnya fenomena gerakan Golput, yaitu keengganan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum. Gerakan ini mencerminkan kekecewaan masyarakat terhadap partai politik (parpol) dan calon-calon yang dianggap pro-oligarki. Masyarakat merasa tidak ada calon yang benar-benar mewakili kepentingan mereka, sehingga memilih untuk tidak terlibat dalam proses pemilihan.
Gerakan Golput ini bukan hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di berbagai daerah lain. Banyak masyarakat yang merasa bahwa mengikuti Pilkada tidak memberikan manfaat apapun. Kekecewaan ini disebabkan oleh parpol yang hanya menghadirkan calon-calon yang mendukung oligarki, dan mengabaikan kandidat yang diinginkan oleh rakyat.
Salah satu contoh kekecewaan rakyat adalah kegagalan Anies Baswedan maju dalam Pilkada Jakarta. Parpol dianggap sombong dan tidak peduli pada keinginan rakyat, sehingga masyarakat merasa sia-sia untuk berpartisipasi dalam pemilihan.
Namun, di tengah meningkatnya gerakan Golput, Komisi Pemilihan Umum (KPU) justru mengeluarkan ancaman pidana bagi mereka yang mengajak masyarakat untuk tidak memilih. Anggota KPU DKI Jakarta, Astri Megasari, menyatakan bahwa ajakan untuk tidak memilih bisa dipidanakan, terutama jika ada iming-iming uang atau materi lainnya. Hal ini merujuk pada Pasal 187A ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Meskipun demikian, perlu diingat bahwa pasal tersebut hanya mengancam pidana bagi mereka yang Golput dengan motif uang atau imbalan. Sementara, Golput karena kesadaran, yakni keputusan untuk tidak memilih karena tidak ada calon yang layak, adalah hak konstitusional yang tidak dapat dipidana.
Dalam undang-undang, memilih adalah hak, bukan kewajiban. Warga negara yang memutuskan untuk tidak menggunakan hak pilihnya tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggar hukum. Hal ini berbeda dengan mereka yang menerima imbalan untuk tidak memilih, yang dianggap melanggar hukum.
Golput sebagai bentuk protes terhadap parpol dan oligarki merupakan pilihan yang sah, legal, dan dilindungi oleh undang-undang. Banyak masyarakat yang merasa bahwa perubahan tidak dapat dicapai melalui Pilkada, melainkan melalui aktivitas dakwah dan gerakan yang lebih mendalam. Mereka yang memilih Golput dengan tujuan tersebut adalah warga negara yang menjalankan hak konstitusionalnya.
Namun, ancaman pidana yang disampaikan oleh KPU dianggap sebagai upaya untuk menekan masyarakat agar tetap terlibat dalam pemilihan. Padahal, solusi yang sebenarnya adalah mendengarkan kekecewaan rakyat, bukan mengancam mereka. Rakyat yang sudah muak dengan janji-janji kampanye dan kecurangan parpol, memilih untuk melawan dengan gerakan Golput.
Pada akhirnya, ancaman pidana terhadap gerakan Golput tidak menyelesaikan masalah. Sebaliknya, yang perlu dilakukan adalah memperbaiki sistem politik dan menghadirkan calon-calon yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat. Sebab, memilih atau tidak memilih adalah hak setiap warga negara, dan Golput bukanlah kejahatan.
0 Komentar