PEMBLOKIRAN REKENING RAKYAT, EKONOMI ISLAM JADI PENYELAMAT


Oleh: Ledy Ummu Zaid
Penulis Lepas

Tak dapat dimungkiri, masyarakat Indonesia terbiasa menyimpan uangnya di bank, baik dalam jangka panjang maupun pendek. Apalagi di era digital seperti saat ini, tentu kita dimudahkan jika memiliki saldo di bank guna melakukan berbagai transaksi. Namun, bagaimana jika masyarakat ingin menabung dalam kurun waktu yang lama, tetapi tiba-tiba rekeningnya dibekukan alias diblokir?


Pemblokiran Rekening Pasif Menggegerkan

Dilansir dari laman BBC pada 31 Juli 2025, kebijakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang memblokir rekening pasif (dormant) menggegerkan masyarakat. Sejak Mei lalu, PPATK telah membekukan sekitar 31 juta rekening dengan total nilai mencapai Rp6 triliun.

Berdasarkan catatan PPATK, terdapat 140 ribu rekening yang tidak melakukan transaksi selama lebih dari sepuluh tahun. Sementara itu, dalam lima tahun terakhir, PPATK kerap menerima laporan mengenai rekening dormant yang menjadi sasaran tindak kejahatan. Contohnya, rekening-rekening tersebut sengaja dimanfaatkan untuk transaksi korupsi, peredaran narkotika, judi online, dan pembajakan digital. Oleh karena itu, PPATK berupaya melindungi hak dan kepentingan nasabah.

Kebijakan PPATK yang menuai kontroversi ini mendapat keluhan dari masyarakat, bahkan masyarakat menilainya sebagai bentuk sabotase. Hal tersebut muncul karena negara dinilai seakan menahan dana darurat. Akhirnya, PPATK memutuskan untuk membatalkan pemblokiran terhadap 28 juta rekening pasif. Meskipun demikian, PPATK berdalih bahwa pihaknya telah meninjau ulang transaksi rekening para nasabah yang terdampak, kemudian memastikan apakah rekening tersebut disalahgunakan untuk tindak kriminal.

Anggota Komisi XI DPR RI, Melchias Marcus Mekeng, menyampaikan penolakannya terhadap kebijakan PPATK yang memblokir rekening dormant, sebagaimana diberitakan oleh laman Republika pada 31 Juli 2025. Baginya, PPATK seperti sedang mengatur keuangan nasabah. Orang tentu memiliki alasan pribadi jika ingin menyimpan uangnya di bank. Adapun perihal ingin dipakai atau disimpan saja, seharusnya menjadi privasi masing-masing nasabah.


Pemblokiran Mendatangkan Cuan ala Kapitalisme

Dalam sistem ekonomi kapitalisme, pelanggaran terhadap hak kepemilikan pribadi, termasuk tindakan pemblokiran rekening, merupakan hal yang tak terhindarkan. Terlebih, hal ini diberlakukan tanpa hukum yang sah. Tindakan demikian jelas bertentangan dengan hukum syarak. Adapun dalam Islam, kepemilikan pribadi sudah pasti dilindungi daulah (negara) dengan baik.

Dalam sistem kapitalisme sekuler, negara memandang rakyat lebih sebagai sumber pemasukan daripada pihak yang harus dilindungi. Demi meraup keuntungan sebesar-besarnya, pemerintah kerap memberlakukan berbagai kebijakan yang membebani masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tak heran, hampir setiap sektor kehidupan (mulai dari perdagangan, industri, hingga kebutuhan pokok) dijadikan ladang pungutan pajak yang terus menggerus penghasilan rakyat.

Dalam kasus ini, PPATK akan menerima keuntungan sebesar Rp100.000 untuk setiap akun yang mengurus pembukaan kembali rekeningnya. Artinya, jika ada 28 juta rekening yang diblokir, pemerintah Indonesia berpotensi meraup keuntungan hingga sekitar Rp280 triliun.

Padahal, ekonomi masyarakat sedang tidak stabil. Persoalan lain seperti mahalnya kebutuhan pokok, minimnya lapangan pekerjaan, dan tingginya pemutusan hubungan kerja (PHK) semakin menambah beban hidup masyarakat hari ini. Inilah realitas hidup di sistem kapitalisme: para pemilik modal bebas memesan kebijakan kepada penguasa, hingga rakyat kecil menjadi taruhannya.


Ekonomi Islam Menjaga Harta Rakyat

Dalam Islam, kepemilikan harta dibagi menjadi tiga. Pertama, kepemilikan individu, yakni hak sepenuhnya dimiliki individu rakyat. Kedua, kepemilikan umum yang meliputi hajat hidup seluruh rakyat. Ketiga, kepemilikan negara yang pengelolaannya dikembalikan kepada negara, seperti ghanimah (harta rampasan perang), jizyah (pajak nonmuslim), dan lain sebagainya.

Tidak perlu dipertanyakan lagi, sistem ekonomi Islam sangat menjaga kepemilikan harta pribadi rakyat. Jika memang ada kondisi yang mengharuskan memblokir rekening rakyat, daulah tentu akan berhati-hati agar tidak melanggar prinsip al-bara'ah al-asliyah (praduga tak bersalah). Dalam Islam, seseorang dianggap terbebas dari sanksi hingga ia terbukti bersalah.

Daulah tidak memiliki kewenangan untuk merampas atau membekukan harta rakyat secara sewenang-wenang. Seorang khalifah hadir sebagai raa'in (pemimpin) yang akan menjamin keadilan bagi setiap individu rakyat. Dengan demikian, Islam sangat menjunjung tinggi akidah dan syariat Islam untuk mengatur segala lini kehidupan.

Terdapat sebuah hadis Rasulullah ﷺ yang cukup masyhur:

كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Kalian semua adalah pemimpin, dan akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya.” (Muttafaq ‘alaih).

Prinsip amanah yang dimiliki setiap pemegang kekuasaan serta senantiasa berusaha meraih rida Allah ﷻ akan menjadikan mereka berhati-hati dalam menentukan kebijakan. Walhasil, sistem hukum Islam tentu adil, transparan, dan sesuai dengan syariat Sang Pencipta.

Daulah akan menerapkan syariat Islam secara kaffah (menyeluruh) di seluruh wilayah kekuasaan khilafah. Setiap muslim akan berhati-hati dalam bertindak karena mengetahui mana yang halal dan haram. Keadaan ini memberikan jaminan keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, hanya sistem ekonomi Islam yang mampu menjadi penyelamat bagi rakyat yang selama ini terjajah kehidupan ala kapitalisme dengan dunia sebagai orientasinya.

Dalam firman-Nya pada surat Al-Maidah ayat 50, Allah ﷻ menegaskan:

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?


Khatimah

Isu yang menghebohkan masyarakat, seperti pemblokiran rekening pasif, tentu tidak akan menjadi persoalan besar apabila benar-benar memberikan manfaat bagi rakyat. Sebaliknya, jika suatu kebijakan hanya mendatangkan mudarat, rakyat secara alamiah akan merasakan ketidakadilan. Dengan demikian, kaum muslimin sejatinya hanya dapat sejahtera dalam naungan kepemimpinan Islam, yakni khilafah islamiyah ‘ala minhajin nubuwwah seperti yang dicontohkan Rasulullah ﷺ dan para Khulafaur Rasyidin.

Wallahu a’lam bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar