PAHAM SEKULER DIBALIK KURIKULUM BERBASIS CINTA


Oleh: Uni Ummu Kahfa
Penulis Lepas

Utak-atik kurikulum telah menjadi rutinitas para menteri negara. Untuk menciptakan masyarakat yang harmonis, Kementerian Agama (Kemenag) secara resmi memperkenalkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebagai bentuk baru pendidikan Islam yang lebih humanis, inklusif, dan bernuansa spiritual. Kurikulum ini berlandaskan pada lima nilai pokok yang dikenal dengan sebutan Panca Cinta.

Menteri Agama, Nasaruddin Umar, dalam pidato peluncurannya menegaskan bahwa kurikulum ini lahir dari kegelisahan terhadap dominasi pendidikan yang hanya berorientasi pada aspek kognitif semata. Menurutnya, cinta adalah bahasa universal yang mampu menjembatani perbedaan dan menyatukan umat manusia dalam harmoni.

Jangan sampai kita mengajarkan agama, tapi tanpa sadar menanamkan benih kebencian kepada yang berbeda. Kurikulum ini adalah upaya menghadirkan titik-titik kesadaran universal dan membangun peradaban dengan cinta sebagai fondasi,” ungkap Menag dalam keterangan persnya (Sindo News, 25/7/2025).


Kurikulum Berasas Sekuler

Panca Cinta dalam kurikulum berbasis cinta ini merupakan ajaran tentang lima nilai utama yang menjadi landasan pembentukan karakter. Nilai-nilai tersebut meliputi:
  • Cinta kepada Tuhan;
  • Cinta kepada Diri dan Sesama;
  • Cinta kepada Ilmu Pengetahuan;
  • Cinta kepada Lingkungan;
  • Cinta kepada Bangsa dan Negeri.

Melalui penanaman kelima nilai ini, diharapkan peserta didik memiliki kesadaran ekologis dan rasa solidaritas sosial sejak usia dini. Hal ini menjadi semakin penting mengingat kondisi dunia yang tengah menghadapi berbagai tantangan, seperti krisis kemanusiaan, meningkatnya intoleransi, serta degradasi lingkungan yang semakin mengkhawatirkan.

Membicarakan cinta, ia merupakan nilai batin yang tumbuh melalui keteladanan, kebiasaan, serta pengalaman hidup. Nilai ini tidak dapat sepenuhnya dimasukkan ke dalam kerangka administratif atau dijadikan standar baku. Kurikulum pada hakikatnya adalah rencana sistematis untuk proses belajar yang disusun berdasarkan pemahaman tentang cara belajar siswa dan perkembangan kepribadiannya. Oleh karena itu, ada risiko makna cinta menjadi kabur jika dijadikan acuan tetap dalam proses pembelajaran.

Kurikulum ini juga memuat poin deradikalisasi, yaitu strategi untuk menetralisir paham yang dianggap radikal. Dalam praktiknya, kurikulum ini mengajarkan umat Muslim untuk bersikap keras terhadap sesama Muslim yang ingin menerapkan Islam secara kaffah, namun bersikap lemah lembut kepada non-Muslim sebagai wujud toleransi.

Sangat jelas bahwa ide ini berangkat dari paham sekuler, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Meski menggunakan label agama, nilai-nilai yang diusung tidak sepenuhnya mencerminkan ajaran Islam. Di balik istilah toleransi, ada batas-batas yang terlampaui dan berpotensi memecah persatuan umat Islam. Paham ini lemah karena bersumber dari akal manusia yang terbatas, sehingga tidak akan mampu memberikan solusi tuntas.


Pendidikan dalam Islam

Islam menanamkan rasa cinta kepada peserta didik dengan cara yang dicontoh Rasulullah ﷺ, yakni melalui keteladanan, pembiasaan nilai, dialog personal, dan pengalaman langsung secara rutin. Dengan cara ini, potensi dan minat peserta didik dapat terlihat, sehingga mereka memahami tugas utama sebagai manusia. Pendidikan yang diterapkan Rasulullah ﷺ bersifat terstruktur dan tidak mengalami perubahan-perubahan sistem yang signifikan.

Dalam Islam, pendidikan adalah pondasi utama dalam membangun peradaban gemilang. Karena itu, kurikulum yang disajikan harus sesuai dengan syariat. Dalam pembentukan karakter, Islam menanamkan aqidah yang kuat pada peserta didik, sehingga akhlak mulia akan terpancar secara alami dari pribadi mereka.

Islam juga sangat menjunjung tinggi toleransi. Namun, toleransi yang dimaksud adalah menghargai sesama tanpa mengganggu ibadah agama lain, bukan bentuk toleransi berlebihan yang kini kerap dianggap lumrah, seperti memberi ucapan selamat pada hari raya agama lain, mengikuti kebiasaan mereka karena takut tertinggal, mengunjungi rumah ibadahnya, dan sebagainya. Allah ﷻ telah menetapkan batas antara kaum Muslim dan orang kafir, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an surat Al-Kafirun:

قُلْ يٰٓاَيُّهَا الْكٰفِرُوْنَۙ لَآ اَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَۙ وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۚ وَلَآ اَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدْتُّمْۙ وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۗ لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ ࣖ
Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.’ 

Ayat ini menegaskan bahwa kaum Muslim haram mengikuti ajaran dan kebiasaan agama lain.

Hal ini seharusnya menjadi agenda pemerintah: menerapkan Islam secara kaffah di tengah masyarakat, bukan justru mempersulitnya. Sebab, problem yang dihadapi umat saat ini bersumber dari sistem yang keliru. Gonta-ganti kurikulum tidak akan mampu mengobati penyakit generasi masa kini. Sudah saatnya umat berpikir cerdas, bahwa hanya Islam yang mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam.

Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

0 Komentar