
Oleh: Fathin Azizah
Penulis Lepas
Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) pada tanggal 17 Agustus mendatang, berbagai event perayaan mulai diselenggarakan di berbagai wilayah. Bermacam lomba digelar, bersamaan dengan pemasangan bendera yang semakin mewarnai semarak HUT RI ke-80 ini. Di dunia maya, masyarakat hingga para pejabat turut menghiasi berbagai platform media sosial dengan gambar dan video bertema kemerdekaan.
Namun, di tengah euforia penyambutan kemerdekaan, publik dikejutkan dengan maraknya pemasangan bendera bergambar bajak laut dari serial One Piece yang terpampang di bagian belakang truk hingga dikibarkan di sepanjang jalan. Aksi ini memicu polemik, mengingat tokoh utama serial tersebut (Luffy) digambarkan sebagai bajak laut pemberani yang menentang kesewenang-wenangan para penguasa yang kerap mengeluarkan kebijakan bobrok dan menyengsarakan rakyat. Bagi sebagian pihak, problematika dalam serial ini dianggap sebagai gambaran tepat bagi berbagai masalah yang melingkupi negeri.
Menyikapi kegaduhan ini, anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, menuding aksi pengibaran bendera One Piece sebagai upaya yang dapat memicu tindakan pembangkangan terhadap negara.
Disadur dari Kompas (01/08/2025), Firman menyatakan bahwa aksi tersebut berpotensi dikategorikan sebagai makar, sehingga pihak berwenang perlu mengambil tindakan tegas. Menurutnya, maraknya penyebaran simbol-simbol seperti ini merupakan imbas dari meluasnya informasi provokatif dan menyesatkan.
Di sisi lain, sebagian pihak setuju dengan Firman dan mendesak pemerintah melarang pengibaran bendera One Piece yang semakin digandrungi, terutama oleh kaum muda. Namun, tidak sedikit pula masyarakat dan tokoh publik yang justru mendukung dan ikut menggencarkan aksi ini. Mereka berharap, melalui pengibaran bendera ini, kesadaran rakyat akan terbuka terhadap berbagai masalah yang menggunung akibat ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola kekuasaan.
Terlepas dari polemik tersebut, animasi One Piece hanyalah sekelumit gambaran dari keterpurukan rakyat Indonesia. Slogan “Indonesia Merdeka” dan “Indonesia Maju” seakan hanya menjadi jargon kosong yang diulang setiap tahun. Delapan puluh tahun merdeka, rakyat masih terjebak dalam kemiskinan, pengangguran, dan langkanya lapangan pekerjaan. Angka kriminalitas pun meningkat, menjadi konsekuensi dari keterpurukan ekonomi. Lantas, di mana letak kata “merdeka” yang selama ini digaungkan?
Indonesia juga masih tertinggal dalam kualitas sumber daya manusia. Generasi muda rentan terhadap tekanan dan persaingan global, sementara perilaku menyimpang seperti tawuran dan perundungan masih marak.
Keadaan diperburuk dengan kasus-kasus korupsi yang brutal, menghempaskan rakyat ke jurang penderitaan. Pemerintah terbukti gagal memberantas korupsi, bahkan sebagian pejabat justru menjadi aktor utama dalam perampokan uang rakyat hingga ratusan triliun rupiah. Belum lagi pajak yang mencekik rakyat di hampir seluruh sektor kehidupan. Apakah ini yang disebut kemerdekaan?
Sejatinya, kemerdekaan yang digaungkan saat ini hanyalah ilusi yang memalingkan rakyat dari realitas pahit. Kemerdekaan sejati tampaknya hanya dinikmati para oligarki dan penguasa. Selama sistem kapitalisme-sekularisme menjadi fondasi negara, kemerdekaan sekadar khayalan semu.
Esensi Kemerdekaan dalam Islam
Dalam Islam, kemerdekaan berarti membebaskan manusia dari penyembahan kepada selain Allah menuju penyembahan kepada Allah semata. Allah menciptakan alam semesta dengan seperangkat aturan yang mampu menuntaskan setiap problem manusia. Aturan dari Sang Pencipta pasti melahirkan solusi yang fundamental dan menebarkan kesejahteraan ke seluruh penjuru.
Karena itu, solusi tunggal bagi Indonesia adalah mewujudkan kemerdekaan hakiki melalui penerapan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai negara Islam. Untuk mencapai cita-cita ini, para pengemban dakwah harus menyeragamkan pemikiran masyarakat hingga lahir kesadaran dan tujuan bersama: menegakkan negara Islam.
Siapa pun yang menginginkan cita-cita ini harus menempuh fikrah dan thariqah yang dicontohkan Rasulullah ï·º, tanpa tergoda jalan lain. Ia perlu mengokohkan akidah Islam, memperluas wawasan keislaman, memahami realitas dunia, serta bergabung dengan kelompok dakwah ideologis yang berorientasi pada akhirat. Terakhir, pengemban dakwah harus memantaskan diri sebagai hamba yang layak mendapatkan pertolongan Allah ï·».
Wallahu a’lam.
0 Komentar