KAPITALISME MEMELIHARA KEMISKINAN, ISLAM MENJAMIN KESEJAHTERAAN


Oleh: Putri Ali N.
Penulis Lepas

Melansir dari situs BBC News Indonesia (25/7), Presiden Prabowo Subianto mengumumkan penurunan tingkat kemiskinan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Beliau menyatakan bahwa Indonesia berada di jalur yang tepat dalam pembangunan ekonomi, sekaligus menepis anggapan bahwa negeri ini tengah mengalami krisis ekonomi. Namun, klaim tersebut diragukan publik karena BPS sempat menunda pengumuman data kemiskinan.

Berdasarkan data BPS per Maret 2025, garis kemiskinan nasional ditetapkan sebesar Rp609.160 per kapita per bulan, atau sekitar Rp20.305 per hari. Sejumlah pakar menilai bahwa standar tersebut sangat tidak mencerminkan kenyataan di lapangan.

Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti, menyatakan bahwa angka kemiskinan seperti ini rawan dimanfaatkan sebagai komoditas politik. Menurutnya, tidak semua yang masuk kategori “miskin” benar-benar menggambarkan kondisi miskin secara multidimensi. Ia menuntut pemerintah mengganti standar kemiskinan agar lebih realistis dan adil.

Hal serupa juga disampaikan oleh Peneliti CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, yang menyebut bahwa penurunan kemiskinan di desa lebih dipengaruhi kenaikan harga komoditas pertanian dan perkebunan, sehingga meningkatkan pendapatan petani. Namun, hal ini belum bisa disebut mencerminkan kondisi nasional secara keseluruhan, apalagi di perkotaan pengangguran dan PHK justru meningkat (Tirto, 26/07/2025).

Meskipun BPS merilis data yang menyatakan angka kemiskinan di Indonesia menurun, rakyat justru menyaksikan hal sebaliknya. Maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), sulitnya mencari pekerjaan, serta tingginya harga kebutuhan pokok membuat publik wajar mempertanyakan: Apakah benar kemiskinan menurun? Atau ini sekadar narasi untuk menaikkan citra penguasa?


Sistem Kapitalisme Memelihara Kemiskinan

Kemiskinan yang terjadi hari ini bersifat struktural, akibat kegagalan sistem yang banyak dianut negara di dunia: kapitalisme. Sistem ini meniscayakan ketimpangan antara si kaya dan si miskin, karena sumber daya alam dan kekayaan hanya terpusat pada segelintir elite pemilik modal. Sementara itu, kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, pendidikan, dan layanan kesehatan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara justru dijadikan komoditas yang tunduk pada mekanisme pasar. Akibatnya, rakyat kecil harus berjuang keras hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Dalam sistem kapitalisme, negara hanya berperan sebagai pengelola data statistik dan pelayan kepentingan oligarki. Kebijakan yang dihasilkan kerap bersumber dari data yang dapat dimanipulasi, sehingga menimbulkan keraguan terhadap akurasinya. Akibatnya, kebijakan yang diambil cenderung instan dan pragmatis, tanpa menyentuh akar persoalan secara mendalam.

Contohnya, masalah kemiskinan sering kali “diselesaikan” hanya melalui bantuan sosial yang bersifat sementara. Padahal masyarakat membutuhkan jaminan ekonomi berkelanjutan, seperti akses luas terhadap lapangan kerja dengan penghasilan layak dan stabil.

Selama negara terus bersembunyi di balik angka statistik yang menyesatkan, kemiskinan akan terus diwariskan dari satu rezim ke rezim berikutnya. Kesejahteraan sejati tidak akan pernah terwujud selama kapitalisme tetap menjadi pondasi penyusunan kebijakan dan arah pengaturan negara.


Islam Menawarkan Solusi Hakiki atas Kemiskinan

Berbeda dengan kapitalisme yang memupuk kemiskinan, Islam menawarkan sistem ekonomi yang adil dan menyejahterakan seluruh rakyat. Islam tidak memandang kemiskinan sekadar dari data statistik, melainkan melihatnya secara nyata: apakah kebutuhan dasar setiap orang terpenuhi sehingga ia dapat hidup layak sebagai manusia yang bermartabat.

Menurut Islam, negara berkewajiban menjamin seluruh kebutuhan dasar rakyat. Kebutuhan pribadi seperti pangan, papan, dan sandang, serta kebutuhan publik seperti pendidikan, layanan kesehatan, dan keamanan, menjadi tanggung jawab negara. Semua itu diberikan secara cuma-cuma dan tidak boleh dikomersialisasi.

Negara Islam (khilafah) adalah penanggung jawab langsung atas kebutuhan dasar setiap individu, sebagaimana sabda Rasulullah ï·º:

الإِÙ…َامُ رَاعٍ ÙˆَÙ…َسْئُولٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ
Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)

Melalui penerapan sistem Islam secara menyeluruh, khususnya di bidang ekonomi, kemiskinan tidak hanya dapat ditekan, tetapi benar-benar diberantas dari akarnya. Solusi yang ditawarkan penguasa bukan sekadar tambal sulam seperti bantuan sosial yang membuat rakyat bergantung, melainkan melalui aturan sistem yang menegakkan keadilan dan menciptakan kemandirian rakyat.

Wallahu a‘lam bish-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar