
Oleh: Ardi Juanda
Praktisi SDM
Bonus demografi kerap dipuja sebagai peluang emas menuju Indonesia Emas 2045. Namun, di balik slogan penuh harapan itu, tersembunyi jebakan sistemik yang bisa membawa bukan kejayaan, melainkan keruntuhan jika dibiarkan tanpa arah yang jelas dan sistem yang tepat. Ini bukan sekadar persoalan jumlah, tetapi soal arah dan nilai yang ditanamkan pada generasi produktif saat ini.
Masyarakat kini terperangkap dalam ilusi pertumbuhan. Negara dipoles dengan statistik dan janji masa depan, sementara bangunan peradabannya rapuh akibat fondasi pemikiran yang keliru. Sistem pendidikan, yang seharusnya menjadi pabrik peradaban, justru berubah menjadi mesin pencetak ijazah. Anak-anak muda disulap menjadi kolektor stempel, bukan pembangun peradaban. Mereka digiring untuk mengejar nilai dan sertifikat, namun gagal memahami makna dan tujuan dari proses pendidikan itu sendiri.
Sistem yang ada dibangun di atas paradigma materialistik yang memisahkan ilmu dari nilai. Tujuan pendidikan direduksi menjadi sekadar alat mencari pekerjaan, bukan sebagai sarana membentuk manusia berkepribadian utuh. Padahal, manusia bukan semata-mata makhluk ekonomi. Ketika ruh ideologi dicabut dari sistem pendidikan, yang tersisa hanyalah tubuh-tubuh intelektual tanpa arah dan tanpa nilai.
Kita menyaksikan realitas ini dengan mata kepala sendiri. Para lulusan perguruan tinggi berjejer dalam antrean panjang sebagai penganggur intelektual. Mereka memegang gelar, namun tak mampu berpikir mandiri. Mereka hafal teori, tetapi lumpuh ketika berhadapan dengan kenyataan. Mereka mungkin lulus dengan IPK tinggi, namun tak sanggup menciptakan solusi atas persoalan di sekitarnya. Inilah akibat dari sistem yang gagal menghubungkan ilmu dengan kehidupan, keterampilan dengan tantangan zaman, serta pendidikan dengan visi peradaban.
Perubahan kurikulum yang dilakukan selama ini hanyalah tambal sulam: tidak menyentuh akar persoalan. Yang berubah hanya nama program dan silabus, bukan arah sistem. Sementara kebutuhan zaman terus berubah dengan cepat, pendidikan kita justru tersandera oleh birokrasi dan kepentingan politik. Di saat dunia berlari, kita masih sibuk memperdebatkan format ujian dan jumlah jam pelajaran. Tak heran jika jurang antara dunia pendidikan dan dunia nyata kian menganga.
Lebih parah lagi, sistem ini tidak melatih siswa untuk berpikir kritis. Yang dibangun justru budaya patuh dan hafalan. Siswa yang bertanya dianggap pembangkang. Yang menantang jawaban dianggap melawan. Budaya telan mentah-mentah ini tidak hanya merusak daya pikir, tetapi juga melumpuhkan keberanian untuk mencari kebenaran. Maka lahirlah generasi yang mudah ditipu, lemah dalam menyaring informasi, dan tidak mampu membuat keputusan bermakna dalam hidupnya sendiri.
Di sisi lain, pemilihan jurusan di perguruan tinggi lebih banyak dipengaruhi oleh gengsi sosial ketimbang kebutuhan riil umat. Jurusan tertentu disakralkan, yang lain direndahkan. Akibatnya, banyak lulusan tersesat dalam pilihan akademik yang tidak sesuai bakat dan tak relevan dengan kebutuhan bangsa. Inilah yang melahirkan ketimpangan besar antara potensi individu dan tuntutan zaman. Bangsa yang membutuhkan inovator malah mencetak pelamar kerja. Negara yang membutuhkan pelopor justru dijejali generasi pengekor.
Yang lebih memprihatinkan adalah kerusakan karakter. Sistem pendidikan kita tidak hanya gagal mencerdaskan, tetapi juga gagal membentuk integritas. Nilai akhir lebih dihargai daripada proses. Jalan pintas menjadi kebiasaan. Budaya “asal lulus” melahirkan generasi yang menghalalkan segala cara. Celakanya, mentalitas ini terbawa hingga ke ruang rapat, kursi birokrasi, bahkan ke pucuk kekuasaan. Maka, korupsi, kolusi, dan nepotisme bukan lagi dianggap kejahatan, tetapi menjadi strategi bertahan hidup dalam sistem yang permisif.
Semua penyakit ini berpangkal pada satu akar: sistem yang salah. Sistem sekuler yang mencabut pendidikan dari fungsinya sebagai pembentuk kepribadian manusia. Selama sistem ini tetap menjadi dasar berpikir, maka perbaikan parsial hanya akan menghasilkan ilusi kemajuan. Yang dibutuhkan adalah perubahan menyeluruh, bukan sekadar reformasi, tetapi transformasi yang berpijak pada ideologi yang benar.
Pendidikan harus kembali pada tujuan sejatinya: membentuk manusia yang berpikir jernih, bertindak lurus, dan hidup berdasarkan prinsip yang benar. Sistem pendidikan harus menyatu dengan arah peradaban, bukan sekadar melayani pasar. Negara pun tidak bisa hanya menjadi fasilitator, tetapi harus menjadi pengarah utama kehidupan rakyatnya. Pendidikan, ekonomi, sosial, hingga budaya harus bergerak dalam satu kesatuan sistem yang ideologis dan terarah.
Jika bonus demografi ingin benar-benar menjadi peluang, maka ia harus dikelola dalam kerangka peradaban yang tepat. Bukan dengan sistem tambal sulam penuh celah, tetapi dengan sistem utuh yang menyatukan ilmu, iman, dan amal dalam satu tarikan napas kehidupan. Bonus demografi bukan sekadar statistik: ia adalah amanah sejarah. Dan sejarah tidak akan mencatat angka, melainkan arah dan nilai yang dibawa oleh generasi tersebut.
Hari ini, generasi muda berdiri di persimpangan. Apakah mereka akan menjadi batu loncatan kebangkitan, atau justru batu nisan harapan bangsa? Jawabannya tidak terletak pada pidato kampanye atau brosur kementerian, melainkan pada perubahan sistem yang mampu melahirkan manusia visioner, kompeten, dan berkarakter. Perubahan itu tidak bisa ditunda. Ia harus dimulai sekarang, dengan kesadaran yang benar dan sistem yang benar.
0 Komentar