PENJUALAN BAYI: POTRET MIRIS YANG TERJADI BERULANG


Oleh: Nuri Sumirat
Penulis Lepas

Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Bandung menanggapi kasus penjualan bayi yang baru-baru ini diungkap oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jawa Barat. Kasus ini juga menuai keprihatinan dari DPRD Kabupaten Bandung.

Dari hasil penyelidikan terkait perdagangan manusia (human trafficking), diketahui bahwa mayoritas bayi yang menjadi korban dan dijual ke Singapura berasal dari wilayah Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Kasus penjualan bayi ini merupakan dampak dari rapuhnya ketahanan ekonomi keluarga. Saat ini, marak terjadi pernikahan dini tanpa kesiapan mental dan ekonomi, bahkan sering kali disebabkan oleh pergaulan bebas di kalangan remaja.

Kondisi sosial masyarakat menjadi faktor pemicu yang tidak bisa diabaikan. Asas manfaat yang menjadi dasar hidup manusia dalam sistem sekuler telah menghilangkan sifat kemanusiaannya, hingga bayi pun rela diperdagangkan. Uang seakan berkuasa atas semua nilai, kecuali nilai materi.

Pernikahan dini hanya dijadikan kambing hitam, padahal masalah sesungguhnya adalah sistem sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Selama akar masalah ini tidak diganti, maka praktik perdagangan bayi akan terus ada.

Kejahatan penjualan bayi yang terindikasi sebagai Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) adalah hasil dari kegagalan sistem pembangunan ekonomi kapitalistik dan politik demokrasi. Modus penjualan bayi menyasar para perempuan yang berada dalam kondisi jauh dari sejahtera.

Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, yang menjadikan mereka korban kejahatan dan penelantaran, merupakan hasil dari keputusan politik yang salah dalam mengarahkan pembangunan ekonomi Indonesia. Ekosistem TPPO yang kuat justru menjerumuskan perempuan ke dalam pusaran kejahatan, mencabut sisi kemanusiaannya, baik sebagai manusia maupun sebagai ibu.

Aspek perlindungan anak seharusnya tidak hanya dimaknai setelah anak lahir, melainkan harus dimulai sejak masa kehamilan. Oleh karena itu, keluarga harus menjadi unsur terpenting dalam mencegah terjadinya kekerasan atau eksploitasi terhadap anak.

Sistem ekonomi kapitalisme yang diakomodasi oleh sistem politik demokrasi tidak pernah memberikan kepastian dalam pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu, termasuk perempuan. Persoalan pemenuhan kebutuhan dasar, baik per individu maupun masyarakat, selalu menjadi problem yang tak kunjung selesai.

Hal ini sangat berbeda dengan sistem politik ekonomi Islam yang benar-benar menyejahterakan dan memuliakan perempuan.

Dalam kitab As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Matsla, dijelaskan skema untuk menyejahterakan setiap warga negara, termasuk perempuan.

Pertama, adanya jaminan pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan bagi setiap individu. Jaminan ini mengharuskan adanya nafkah untuk kebutuhan pokok, dan laki-laki yang telah baligh memiliki kewajiban untuk mencari nafkah serta menafkahi perempuan sesuai dengan jalur perwalian.

Kedua, jaminan terhadap kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, serta infrastruktur kehidupan seperti jalan, jembatan, saluran irigasi, dan lain sebagainya. Negara bertanggung jawab sepenuhnya dalam penyediaannya.

Ketiga, negara wajib mengembangkan ekonomi dalam berbagai sektor, baik pertanian, jasa, perdagangan, maupun industri.

Semua skema tersebut dijalankan sesuai dengan ketentuan kepemilikan dalam Islam, pengembangan harta, dan hukum-hukum syarak yang mengatur kegiatan ekonomi. Inilah keunggulan politik ekonomi Islam dalam menyejahterakan seluruh rakyatnya, termasuk perempuan.

Demikianlah, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi di tengah masyarakat.

Wallāhu a‘lam bish-shawāb.

Posting Komentar

0 Komentar