HIDUP KELABU DALAM KEMERDEKAAN SEMU


Oleh: Uni Ummu Kahfa
Penulis Lepas

Sorak-sorak bergembira, bergembira semua. Sudah bebas negeri kita, Indonesia merdeka...

Kutipan dari salah satu lagu nasional ini kerap terdengar di musim kemerdekaan. Masyarakat selalu antusias dengan seremonial bulan Agustus, mengingat perjuangan para pendahulu mengusir penjajah. Lalu, apakah benar Indonesia sudah merdeka?

Sayangnya, yang tampak tidak selalu selaras dengan yang dirasa. Mungkin bagi para pejabat dan kaum oligarki, Indonesia sudah merdeka. Namun, bagi rakyat biasa, kemerdekaan bagai jauh panggang dari api. Problem kemiskinan yang menjerat rakyat tak kunjung menemukan titik terang.

Ironisnya, di tengah berbagai masalah yang dihadapi rakyat, pemerintah justru menambah beban dengan kenaikan pajak. Pungutan kini merambah ke berbagai aspek. Pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang mengatur ketentuan pajak bagi sektor e-commerce. Melalui regulasi ini, pedagang di marketplace seperti Tokopedia, Shopee, TikTok Shop, Lazada, dan lainnya dikenakan pemotongan PPh Pasal 22 (16/7/2025, Hipajak.com).

Tak berhenti di situ, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan PMK Nomor 52 Tahun 2025 yang mengatur pajak penjualan emas batangan, perhiasan, serta operasional bullion bank. Aturan ini berlaku efektif mulai 1 Agustus 2025. Disebutkan bahwa peraturan ini disusun untuk memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemudahan administrasi perpajakan (31/7/2025, SINDOnews.com).
Pajak Menjadi Lahan Basah Para Tikus Berdasi

Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan utama negara, yang sebagian besarnya digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur serta program sosial, seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan masyarakat. Jika implementasinya benar, semestinya masalah kemiskinan bisa ditekan. Namun faktanya, kenaikan pajak yang merambah berbagai sektor tidak serta-merta memperbaiki kondisi negeri yang kian kritis.

Masih segar dalam ingatan, seorang aparatur sipil negara (ASN) bernama Ariel Huma meninggal saat bertugas di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Jenazahnya terpaksa dibawa menggunakan sepeda motor sejauh 40 km menuju rumah duka karena kondisi jalan yang rusak (Detik, 12/07/2025). Potret ini hanyalah satu dari sekian banyak bukti kegagalan pemerataan pembangunan di daerah.

Lalu, mengapa hal ini bisa terjadi? Ternyata, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga terseret dalam skandal. Sejumlah kasus korupsi besar melibatkan pejabat dan pegawainya, di antaranya:
  • Gayus Tambunan
  • Angin Prayitno
  • Dhana Widyatmika
  • Abdul Rachman
  • Bahassim Assifie
  • Tomy Hidratno
  • Eko Darmayanto & Muhammad Dian Irwan Nuqisra
  • Handang Soekarno
  • Pargono Riyadi
  • Kasus pajak dealer Jaguar–Bentley
  • Rafael Alun Trisambodo
(CNBC Indonesia,30/11/2024).

Daftar ini belum mencakup kasus lain yang belum terungkap. Berdasarkan fakta tersebut, pajak tampak menjadi lahan basah bagi para “tikus berdasi”.

Kezaliman ini adalah buah dari penerapan sistem sekuler kapitalis, akar dari semua masalah rakyat dan negara. Akibat sistem ini, beban utang negara mencapai US$ 430,4 miliar atau sekitar Rp 7.144,6 triliun pada triwulan I 2025, meningkat 6,4% dibandingkan triwulan IV 2024 (Tempo, 15/5/2025).

Pemerintah beralasan, ketertinggalan infrastruktur memaksa percepatan pembangunan. Namun, pendapatan negara tak mencukupi, sehingga defisit harus ditutup dengan utang. Padahal, jika kekayaan alam dikelola sendiri, Indonesia akan memiliki pemasukan luar biasa. Sayangnya, SDA dikuasai korporasi asing.


Islam Membawa Kemerdekaan Sejati

Penyakit yang mendera negeri ini adalah dampak dari sistem sekuler kapitalis. Solusi pragmatis dalam sistem rusak ini tak layak diandalkan. Sudah saatnya Indonesia bangkit dari keterpurukan dengan sistem Islam, yang terbukti membawa kemaslahatan umat.

Dalam Islam, setiap masalah diselesaikan dari akarnya. Dalam menjaga moral bangsa misalnya, Islam menghadirkan sistem pendidikan yang membentuk karakter mulia. Selain pendidikan formal, keluarga menjadi pondasi penjaga akidah. Halal dan haram menjadi standar perbuatan setiap pribadi. Dengan begitu, celah bagi pejabat berbuat curang, apalagi korupsi, akan tertutup rapat.

Pada level negara, khalifah mengatur pemerintahan sesuai perintah Allah ﷻ, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam. SDA dikelola negara untuk memenuhi kebutuhan primer umat. Rasulullah ﷺ bersabda:

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
"Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Dalam naungan daulah islamiyah, rakyat muslim tidak dipungut pajak. Pengecualian berlaku bagi non-Muslim yang menjadi dzimmi, sebagai imbalan perlindungan negara kepada dirinya maka ia wajib membayar jizyah.

Jika pendapatan negara dari sumber syar’i tidak mencukupi, pajak bisa diberlakukan secara terbatas dan hanya pada orang kaya (mereka yang memiliki kelebihan atas kebutuhan primer dan sekundernya) dengan alasan urgensi yang jelas.

Merdeka sejati adalah merdeka dalam menjalani kehidupan dan menunaikan tugas sebagai hamba Allah. Maka, di tengah krisis yang melanda, kita harus berjuang menegakkan Islam dalam kehidupan bernegara, agar kemerdekaan hakiki tercapai. Allah ﷻ berfirman:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا
"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan." (QS. Al-Isra: 70)

Wallahu a’lam bish-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar