KELAPARAN SISTEMIK DI GAZA: IMAN KITA MASIH HIDUPKAH?


Oleh: Rumaisha
Pejuang Literasi

Dalam suasana mencekam ini, kita bertanya pada diri sendiri: iman kita masih hidupkah? Masihkah ada getar di dada ketika mendengar tangisan bayi di Gaza? Masihkah ada amarah saat mengetahui makanan diblokade?

Hari ini, Gaza sengaja dilaparkan secara sistemik. Ini bukan hanya masalah Gaza, ini masalah kita. Masalah iman yang seharusnya menyatu dalam satu tubuh umat.

Otoritas kesehatan di Gaza melaporkan, jumlah korban tewas akibat serangan militer Israel sejak Oktober 2023 telah mencapai 60.430 jiwa, dengan 148.722 orang luka-luka. Sebagian besar korban adalah anak-anak dan perempuan (Metrotv News, 03/08/2025).

Menurut pakar ekonomi Islam, Nida Saadah, S.E., Ak., M.E.I., lebih dari 80% penduduk Gaza mengalami kelaparan parah. Infrastruktur hancur, bantuan terhambat akibat blokade Zionis. Malnutrisi massal dan ancaman kelaparan kronis ini bukanlah akibat bencana alam, melainkan hasil kebijakan politik yang sistemik.

Ironisnya, di tengah kondisi yang mencekam ini, negara-negara Arab dan Muslim (termasuk Arab Saudi, Qatar, dan Mesir) justru mendesak Hamas untuk melucuti senjata dan menyerahkan kekuasaan atas Jalur Gaza kepada Otoritas Palestina (PA). Padahal, melucuti senjata berarti melucuti hak membela diri. Menyerahkan kekuasaan kepada PA justru membuka jalan dominasi asing semakin kuat atas Gaza. Ini bukan solusi, melainkan bagian dari skenario menundukkan perlawanan dan memadamkan api jihad yang tersisa.

Lebih menyakitkan lagi, Mesir (negara yang berbatasan langsung dengan Gaza) bukannya membuka jalur bantuan kemanusiaan, malah menekan Imam Besar Al-Azhar agar mencabut pernyataannya tentang kejahatan Zionis. Padahal dunia menyaksikan, kelaparan sistemik memang dijadikan senjata genosida oleh Zionis Yahudi.


Iman Tergerus karena Kapitalisme

Apa yang terjadi di Gaza khususnya, dan di tubuh umat Islam umumnya, adalah akibat diterapkannya sistem kehidupan yang bertentangan dengan Islam. Ada dua faktor besar yang menjadi penyebab utama:

Pertama, hilangnya ukhuwah Islam karena dicekoki paham nasionalisme. Palestina dianggap urusan “negara lain”, bukan bagian dari tubuh umat. Rasulullah ï·º telah mengingatkan bahwa umat Islam bagaikan satu tubuh, namun hari ini tubuh itu seolah mati rasa. Bayi-bayi Gaza menangis kelaparan, sementara dunia Islam hanya menggelar konferensi tanpa daya.

Kedua, ketiadaan pemimpin yang melindungi umat. Hilangnya pemimpin tunggal umat Islam adalah musibah terbesar saat ini. Dahulu, umat memiliki khalifah yang menjadi pelindung, pengayom, sekaligus pemimpin politik dan militer. Kini, umat tercerai-berai tanpa perisai, menjadi santapan kaum durjana. Tak satu pun negeri Muslim yang mengirim pasukan untuk membela saudaranya.

Gaza dibantai. Aleppo diratakan. Rohingya diusir. Uighur dikurung. Namun tidak ada kekuatan nyata yang melindungi. Para pemimpin Muslim justru lebih sibuk menjaga hubungan diplomatik dengan negara-negara penjajah daripada menjaga darah dan kehormatan saudara seiman.


Gaza: Bukan Sekadar Kemanusiaan, tapi Masalah Keimanan

Aksi March to Gaza yang fenomenal menunjukkan kesadaran global terhadap Palestina yang semakin besar. Termasuk aksi boikot, bantuan dana, logistik, dan bentuk solidaritas lainnya yang terus berlangsung hingga kini.

Semua itu menegaskan bahwa masyarakat dunia mayoritas berpihak kepada Gaza setelah kejahatan Zionis terbuka lebar. Namun, pemahaman ini tetap harus diluruskan. Mayoritas orang masih melihat masalah Gaza sebatas isu kemanusiaan, sehingga solusinya hanya berhenti pada aksi-aksi kemanusiaan.

Padahal, masalah Gaza adalah masalah politik global. Akar masalahnya adalah perampasan tanah milik kaum Muslim oleh Zionis Yahudi dengan dukungan negara-negara adidaya, khususnya Inggris dan Amerika Serikat. Yang terjadi di Gaza bukan sekadar pelanggaran HAM, melainkan perampasan hak hidup dalam proyek genosida.

Maka, solusi satu-satunya adalah mengusir penjajah Zionis dari seluruh bumi Palestina, termasuk Gaza. Mengakui keberadaan mereka sebagai negara atau mendukung two-state solution sebagaimana ditawarkan Amerika dan sekutunya adalah bentuk pengkhianatan besar terhadap umat.


Khilafah, Pelindung Hakiki Umat

Pengusiran penjajah itu hanya bisa dilakukan oleh negara yang memimpin umat secara menyeluruh, yaitu Daulah Khilafah Islamiyah. Negara inilah yang akan menyatukan seluruh potensi umat Islam di dunia, menggerakkan tentara, dan memimpin jihad fi sabilillah.

Dalam sejarah Islam, kekuatan militer khilafah adalah tameng pelindung umat. Ketika satu wilayah diserang, seluruh kekuatan negara Islam akan digerakkan untuk membalas dan melindungi.

Ø¥ِÙ†َّÙ…َا اْلإِÙ…َامُ جُÙ†َّØ©ٌ ÙŠُÙ‚َاتَÙ„ُ Ù…ِÙ†ْ ÙˆَرَائِÙ‡ِ ÙˆَÙŠُتَّÙ‚َÙ‰ بِÙ‡ِ
"Sesungguhnya imam (khalifah) adalah perisai; orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya." (HR. Muslim)

Dengan khilafah, kemuliaan umat akan kembali terwujud sebagaimana janji Allah ï·», terbukti sepanjang perjuangan Rasulullah ï·º dan para khalifah setelahnya. Kisah Khalifah Umar bin Khathab, Khalifah Shalahuddin Al-Ayyubi, dan sikap tegas Sultan Abdul Hamid II menjadi teladan pemimpin yang menjaga kehormatan Islam dan umatnya.

Hari ini, umat membutuhkan kepemimpinan jamaah dakwah ideologis yang tulus mengajak seluruh kaum Muslim untuk berjuang menapaki thariqah Rasulullah ï·º hingga peradaban Islam yang agung kembali memimpin dunia.

Gaza adalah kita. Jika kita diam, bukan hanya mereka yang mati, tetapi juga nurani dan iman kita. Maka, jangan hanya bersedih. Saatnya bangkit, membangun persatuan umat di bawah kepemimpinan Islam. Pembebasan Palestina akan terwujud ketika khilafah tegak dan menyerukan jihad sebagai solusi tuntas.

Wallahu a‘lam bish-shawab

Posting Komentar

0 Komentar