
Oleh: Desi Ummu Naffisha
Penulis Lepas
Bulan Agustus datang, atribut khas perayaan hari kemerdekaan siap dipasang. Umbul-umbul tertancap di kanan dan kiri jalan menjuntai gemulai mengikuti arah angin. Aneka hiasan warna-warni hasil kreativitas warga ikut meramaikan jalan-jalan perkampungan. Tidak ketinggalan dengan lampu kabel kelap-kelip seolah sedang bersaing dengan bintang-bintang di angkasa sana. Begitulah suasana penyambutan hari kemerdekaan.
Hidup dalam kondisi merdeka dari penjajahan fisik ini patut disyukuri. Mensyukuri nikmat kemerdekaan tentu bukan sekedar memuji keagungan Allah sebatas di lisan saja. Tapi, seharusnya menggunakan nikmat kemerdekaan untuk mewujudkan ketaatan pada perintah dan larangan-Nya.
Bagaimana caranya mensyukuri nikmat sampai bisa mewujudkan ketaatan kepada Allah? Tentu dengan menggunakan nikmat itu sesuai fungsinya atau memfungsikan sebuah nikmat sesuai dengan kehendak Sang pemberi nikmat tersebut.
Dalam surat Ibrahim ayat 7 Allah ﷻ, berfirman;
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.' "
Allah maha pemurah, siapa saja yang pandai bersyukur akan ditambah nikmatnya oleh Allah. Tapi perhatikan pula ancaman Allah pada kalimat paling bawah dalam ayat tersebut. Siapa saja yang mengingkari nikmat dari Allah, maka azab yang berat siap menanti di akhirat kelak.
Allah berikan kelebihan harta, tapi digunakan untuk judi atau untuk foya-foya. Allah beri nikmat pada setiap anggota tubuh, tapi nikmat itu digunakan untuk bermaksiat. Mata, diberi nikmat melihat tapi digunakan untuk melihat tontonan yang tidak senonoh. Telinga mampu mendengar, tapi suara adzan pun diabaikan. Kaki lincah berjalan, tapi dia melangkah dan berhenti di tempat-tempat penuh dosa. Tentu Allah tidak rida.
Perilaku semacam itu artinya tidak mensyukuri nikmat. Bahkan Allah menyindir di dalam Al-Qur'an surat Al-A'raf ayat 179:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِۖ لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ
"Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan banyak dari kalangan jin dan manusia untuk (masuk neraka) Jahanam (karena kesesatan mereka). Mereka memiliki hati yang tidak mereka pergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan memiliki mata yang tidak mereka pergunakan untuk melihat (ayat-ayat Allah), serta memiliki telinga yang tidak mereka pergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah."
Dari dua ayat di atas jika dipahami, itu bisa menjadi tuntunan bagi manusia untuk menghamba pada Allah saja. Setiap hamba adalah makhluk tapi tidak semua makhluk adalah hamba. Setiap orang dapat mengklaim dirinya sebagai hamba Allah. Tetapi untuk diakui sebagai hamba oleh Allah tidak ada jaminannya.
Berbeda dengan para sahabat Nabi yang telah mendapat kabar gembira akan surga meski masih hidup di dunia, seperti Bilal bin Rabah, yang suara langkah sandalnya sudah terdengar di surga. Padahal pada waktu itu Bilal masih hidup. Hal itu sebanding dengan perjuangannya untuk mendapatkan jaminan surga. Bilal rela tubuhnya disiksa dari pada harus melepaskan keislamannya.
Setiap cambukan dan siksaan yang mendarat di tubuhnya tidak lantas membuatnya mengikuti apa maunya si majikan. Tangannya diinjak dengan kasar. Tubuhnya diletakkan di atas pasir yang panas. Dipanggang di bawah teriknya matahari. Ditambah lagi dengan beban batu besar yang diletakkan di atas dadanya.
Kemudian Umayyah bin Khalaf yang menjadi majikan Bilal menyuruh untuk menyebut nama berhala Latta dan Uzza. Tetapi keteguhan hati Bilal tidak bisa dibeli dengan rayuan, terbebas fisiknya dari siksaan. Bilal justru berkata Ahad... Ahad... Ahad. Memang benar pada saat itu Bilal hanya seorang budak dari Umayyah bin Khalaf. Tetapi jiwanya telah merdeka. Seolah dia berkata, "Boleh jadi tubuhku milik tuan tapi, jiwaku milik Tuhan."
Bilal telah merdeka sebelum dimerdekakan oleh sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq. Lalu bagaimana dengan merdekanya rakyat Indonesia yang telah dirayakan ke-80 tahun ini? Apakah betul-betul telah merdeka?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merdeka diartikan sebagai bebas dari penjajahan atau berdiri sendiri tanpa tekanan dari pihak lain. Sedangkan secara Islam, merdeka adalah bebas menghamba hanya kepada Allah ﷻ, saja.
Di dalam kitab Nizhamul Islam halaman 70 baris paling awal, sebuah kitab karya ulama besar Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, disebutkan bahwa Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah ﷻ, kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dan dengan sesamanya. Jadi, setiap manusia terikat oleh aturan tentang 3 hubungan tersebut. Hubungan manusia dengan Allah disebut habluminallah, sedangkan hubungan manusia dengan dirinya sendiri disebut habluminafsi.
Hari ini untuk menjalankan aturan yang berkaitan dengan habluminallah dan habluminafsi, itu masih leluasa. Asalkan kuat pendirian, ketaatan bisa dimaksimalkan. Sayangnya tidak semua manusia mau. Sedangkan hubungan manusia dengan sesamanya atau habluminannas, semua manusia ingin merasakan kesempurnaan dari pelaksanaan aturan habluminannas ini. Tapi, hampir semuanya kesulitan untuk mendapatkan haknya.
Agar aturan yang berkaitan dengan habluminannas ini berjalan sebagaimana mestinya, butuh adanya peran negara. Benarkah ketika negara berperan penuh akan urusan habluminannas, hak-hak manusia akan terpenuhi?
Mari jalan-jalan ke masa lalu. Masa di mana kesejahteraan dan keadilan dapat dirasakan oleh umat manusia yang hidup di bawah kepemimpinan Islam. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz contohnya, rakyat merasakan kesejahteraan dan keadilan yang merata. Tidak ada individu yang kesulitan menempuh pendidikan karena disediakan secara gratis.
Demikian pula, layanan kesehatan diberikan secara cuma-cuma kepada setiap warga yang sakit. Belum lagi kebutuhan air, penerangan, ataupun hunian, semua menjadi perhatian serius oleh sang Khalifah. Karena itu, wajar jika tak ada seorang pun yang mau menerima sedekah, sebab seluruh kebutuhan mereka sudah terpenuhi.
Itu baru satu episode terbaik dalam sejarah Islam. Masih banyak kisah-kisah hebat lainnya dari gambaran nyata kehidupan rakyat dalam kepemimpinan Islam yang pernah menguasai dua pertiga dunia selama kurang lebih 1400 tahun lamannya.
Allah berfirman dalam surat Al-A'raf ayat 96:
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya."
Mengharap kesejahteraan dari penguasa hari ini, serasa mimpi bagi rakyat. Terutama rakyat kecil. Semua dipajaki, bahkan ada wacana amplop undangan pun akan dipajaki. (CNN Indonesia, 23/07/2025)
Rekening yang tidak aktif selama 3 bulan bisa kena sasaran pemblokiran bahkan rekening milik yayasan pun dinonaktifkan oleh PPATK. (Detik, 10/08/2025)
Dan segala fakta yang menyesakkan dada rakyat lainnya.
Merdeka bukan hanya terlepas dari penjajahan fisik. Merdeka juga bukan sekedar leluasa mengerjakan salat. Tapi bebas mengamalkan seluruh syariat Islam sesuai kehendak Sang pemilik agama ini. Lalu, apabila rakyat merasa kesulitan dengan segala keruwetan yang terjadi hari ini, apakah bisa dikatakan sudah merdeka?
Wallahu a'lam bishshawab
0 Komentar