POLEMIK GRATIFIKASI JET PRIBADI KAESANG DAN POTENSI JERAT HUKUMNYA


Oleh: Rika Dwi Ningsih
Penulis Lepas

Pada 18 Agustus 2024, Kaesang Pangarep, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sekaligus putra Presiden Joko Widodo, bersama istrinya, Erina Gudono, melakukan perjalanan ke Amerika Serikat. Perjalanan tersebut menjadi sorotan publik setelah unggahan media sosial mereka memperlihatkan penggunaan jet pribadi, harga roti yang fantastis, hingga barang-barang mahal lainnya. Publik marah melihat gaya hidup mewah ini, mengingat kondisi ekonomi yang sedang sulit di Indonesia dengan berbagai kenaikan harga bahan kebutuhan pokok dan pajak.

Sorotan publik tidak berhenti pada aksi pamer (flexing) tersebut, tetapi juga menyoroti dugaan gratifikasi. Masyarakat mulai mempertanyakan, apakah jet pribadi tersebut milik Kaesang sendiri ataukah ia mendapat tumpangan gratis. Jika terbukti bahwa Kaesang menumpang tanpa membayar, hal ini bisa masuk dalam kategori gratifikasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang ancamannya bisa mencapai 20 tahun penjara.

Menanggapi polemik tersebut, Kaesang didampingi oleh Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Raja Juli Antoni, yang juga menjabat sebagai Wakil Menteri PUPR, mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kaesang mengakui bahwa jet tersebut adalah milik temannya dan ia hanya menumpang. Pengakuan ini memperkuat dugaan bahwa tindakan Kaesang tergolong gratifikasi, terutama karena ia tidak membayar sewa jet tersebut.

Ahmad Khozinudin, dalam komentarnya di kanal YouTube-nya, menjelaskan bahwa gratifikasi adalah pemberian yang berkaitan dengan jabatan atau tugas seseorang sebagai pejabat negara. Dalam kasus Kaesang, meskipun ia bukan pejabat negara atau aparatur sipil negara (ASN), ada dugaan bahwa gratifikasi tersebut bisa terkait dengan posisi keluarganya, yaitu Gibran Rakabuming Raka, kakak Kaesang yang adalah Walikota Solo, dan Presiden Joko Widodo, ayahnya, sebagai pejabat tertinggi negara.

Lebih lanjut, gratifikasi yang diberikan kepada Kaesang bisa saja merupakan bentuk tidak langsung dari pemberian kepada pejabat negara, seperti Gibran atau bahkan Jokowi. Hal ini semakin diperkuat oleh dugaan adanya hubungan bisnis antara Pemkot Solo yang dipimpin oleh Gibran dengan perusahaan yang diduga memberikan fasilitas jet tersebut.

Untuk menghindari jerat hukum, Kaesang melaporkan penerimaan gratifikasi ini ke KPK. Berdasarkan Pasal 12B UU Tipikor, pelaporan gratifikasi dalam waktu 30 hari setelah penerimaan dapat menghilangkan unsur melawan hukum dari gratifikasi tersebut. Kaesang melaporkan peristiwa ini pada 17 September 2024, tepat satu hari sebelum batas waktu pelaporan berakhir, karena perjalanan tersebut terjadi pada 18 Agustus 2024.

Namun, meskipun Kaesang telah melaporkan gratifikasi tersebut, pertanyaan besar masih menggantung di benak publik. Apakah ini hanya strategi untuk menghindari hukuman, atau benar-benar tindakan untuk meluruskan kesalahpahaman? Publik juga mempertanyakan, apakah gratifikasi tersebut benar-benar tidak terkait dengan jabatan Gibran sebagai Walikota Solo atau Jokowi sebagai Presiden.

Akhirnya, kasus ini memperlihatkan bahwa kekuatan publik dan desakan netizen lebih efektif dalam menekan pejabat untuk bertanggung jawab, dibandingkan dengan desakan dari lembaga hukum itu sendiri. Kaesang datang ke KPK bukan karena undangan resmi, melainkan karena inisiatif pribadi, setelah melihat reaksi keras dari masyarakat.

Bagaimana kasus ini akan berakhir? Apakah Kaesang akan terbebas dari jerat hukum karena sudah melaporkan gratifikasi, ataukah publik akan terus mendesak agar ia dan keluarganya mempertanggungjawabkan perbuatan ini? Hanya waktu yang bisa menjawab.

Posting Komentar

0 Komentar