
Oleh: Maya Rohmah, S.K.M.
Penulis Lepas
Laporan mengejutkan datang dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Sekitar Rp2,1 triliun dana bantuan sosial (bansos) tersimpan di 10 juta rekening penerima selama lebih dari tiga tahun, tanpa pernah dimanfaatkan untuk menunjang kebutuhan hidup mereka. Ironisnya, kondisi ini terjadi ketika jutaan rakyat masih berjuang melawan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial.
Kondisi ini menyingkap berbagai persoalan pokok, mulai dari pendataan penerima yang kacau, penyaluran bansos yang keliru sasaran, lemahnya pengawasan, rapuhnya birokrasi, hingga memudarnya amanah para pemegang kekuasaan. Fakta ini menjadi bukti bahwa negara belum serius menuntaskan kemiskinan.
Bansos yang Sarat Masalah
Bansos seharusnya menjadi instrumen vital untuk membantu masyarakat miskin dan kelompok rentan, sebagaimana diatur dalam UU No. 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. Undang-undang ini menegaskan hak rakyat untuk mendapatkan pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial, hingga kesempatan kerja.
Namun, praktik di lapangan jauh dari harapan. Permasalahan meliputi ketidaktepatan sasaran, minimnya transparansi, hingga penyalahgunaan dana. Bahkan, pada 2024, PPATK menemukan lebih dari 500 ribu rekening penerima bansos yang digunakan untuk transaksi judi daring. Temuan terbaru soal dana mengendap hanya menambah daftar panjang kegagalan program ini.
Padahal, mekanisme pengawasan sudah diatur dalam Permensos No. 1/2019 dan Permendagri No. 77/2020. Sayangnya, aturan hanya indah di atas kertas. Bisa diparafrasakan menjadi:
Ketidakakuratan data dan pengelolaan yang jauh dari profesional membuat dana bansos terhenti tanpa memberikan manfaat apa pun. Mengandalkan bansos semata untuk memberantas kemiskinan ibarat menegakkan benang basah, tidak akan menyentuh akar masalah.
Akar Kemiskinan yang Struktural
Indonesia adalah negeri kaya sumber daya alam, tetapi kemiskinan tetap mengakar. Penyebabnya adalah salah urus negara dan penerapan sistem kapitalisme yang bertumpu pada sekularisme. Sistem ini melahirkan ketimpangan struktural: kekayaan alam dikuasai segelintir elit politik dan oligarki, sementara mayoritas rakyat hanya menjadi penonton di tanah sendiri.
Dalam sistem kapitalisme, negara berperan sebatas regulator, bukan pengurus rakyat. Bukannya mengelola sumber daya demi kesejahteraan bersama, negara kerap justru menjadi benteng bagi kepentingan korporasi. Selama sistem ini terus berjalan, kemiskinan tak akan pernah hilang, dan bansos hanya menjadi solusi sementara yang mempertahankan ketergantungan.
Lebih buruk lagi, kapitalisme menumbuhkan budaya serakah dan mengabaikan nilai halal-haram. Amanah mudah dikhianati demi keuntungan pribadi, membuat program bansos rentan penyimpangan.
Solusi Tuntas dalam Islam
Pada sistem Islam, negara adalah ra'in (pengurus) dan junnah (pelindung) rakyat. Seorang pemimpin berkewajiban memastikan terpenuhinya kebutuhan pokok setiap orang sesuai ketentuan syariat Allah, dengan penuh kesadaran bahwa setiap kebijakannya kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan-Nya. Rasulullah ï·º bersabda:
الإِÙ…َامُ رَاعٍ ÙˆَÙ…َسْئُولٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ
"Seorang pemimpin adalah pengurus rakyatnya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus" (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad).
Dalam pandangan Islam, seluruh kekayaan alam dikelola negara demi kesejahteraan rakyatnya. Sumber daya yang melimpah tidak boleh dikuasai pribadi atau korporasi, tetapi dikelola negara untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, menyediakan lapangan kerja, pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis.
Islam juga memiliki mekanisme khusus untuk membantu kelompok yang memang membutuhkan, melalui seksi santunan di baitulmal. Pendataan penerima bantuan dilakukan dengan tertib, mencakup fakir, miskin, pihak berutang, musafir, hingga pelaku usaha yang memberikan manfaat besar bagi masyarakat. Pengelolaan ini dilakukan oleh departemen khusus dengan sistem administrasi yang tertib, pengawasan ketat, dan budaya amanah yang tumbuh dari pendidikan iman.
Sejarah membuktikan efektivitasnya. Di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khaththab ra., pendataan warga dilakukan dengan sangat teliti, sehingga penyaluran zakat dan bantuan berlangsung cepat serta tepat sasaran. Negara tidak menunggu rakyat mengajukan permintaan, melainkan aktif memenuhi kebutuhan mereka.
Penutup
Kegagalan program bansos mencerminkan rapuhnya sistem kapitalisme sekuler dalam mengelola rakyat. Triliunan rupiah dana terendap, sementara jutaan jiwa masih hidup di bawah garis kemiskinan, menjadi bukti bahwa sistem ini tidak pantas dipertahankan.
Sebaliknya, Islam menghadirkan solusi komprehensif dan adil. Dengan kepemimpinan yang bertakwa, kekayaan negara dikelola secara amanah, penyaluran tepat sasaran, dan seluruh kebutuhan rakyat dipenuhi tanpa adanya diskriminasi.
Saat ini, kita dihadapkan pada dua pilihan: tetap bertahan dengan sistem yang rusak dan mempertahankan kemiskinan, atau berupaya mengembalikan kepemimpinan Islam yang telah terbukti menghadirkan kesejahteraan dan keberkahan. Tentu kita memilih yang kedua.
Wallahualam bissawab.
0 Komentar