
Oleh: Abu Ghozi Al-Fatih
Pengamat Politik dan Perubahan
Di bawah pemerintahan Jokowi, berbagai aksi pengambilalihan dan pemaksaan dalam merebut kendali berbagai organisasi semakin terlihat nyata. Opini yang beredar menyebut bahwa langkah terbaru yang Jokowi adalah melakukan kudeta Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia oleh Anindya Bakrie yang merupakan bagian dari skenario besar dalam mempertahankan kekuasaan dan mendukung dinasti politiknya.
Kontroversi Kudeta Kadin
Kudeta Kadin memicu banyak perdebatan, terutama terkait dugaan adanya pelanggaran Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi. Anindya Bakrie yang mengkudeta disebut-sebut mengambil alih posisi Ketua Kadin, Arsjad Rasjid, secara sepihak dan diperkirakan memiliki dukungan kuat dari lingkaran kekuasaan.
Opini yang berkembang menyatakan bahwa langkah ini tak lepas dari restu Aburizal Bakrie, tokoh senior Golkar, yang disebut memberi jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi, untuk masuk dalam kepengurusan Golkar. Sebagai imbalan, Anindya Bakrie mendapatkan posisi Ketua Kadin.
Ciri Otoritarianisme Kekuasaan
Dalam opini lain, kekuasaan Jokowi dicirikan dengan cara-cara otoriter seperti "hajar, gigit, gebuk, tendang, tebang, dan dongkel." Pola ini tidak hanya menargetkan kelompok-kelompok Islam, tetapi juga organisasi nasionalis, bahkan organisasi bisnis seperti Kadin. Penyingkiran Arsjad Rasjid dari kursi Ketua Kadin dinilai sebagai bagian dari penguatan kekuasaan melalui ancaman dan tekanan.
Ini menunjukkan bahwa kekuasaan Jokowi tidak hanya menargetkan organisasi politik dan masyarakat, namun juga telah merambah ke organisasi usaha. Salah satu faktor utama di balik pengambilalihan ini adalah peran besar Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), yang berada di bawah kendali pemerintah. Setiap keputusan terkait pengesahan pengurus organisasi, baik itu partai politik atau organisasi bisnis, tidak sah tanpa pengesahan Kemenkumham.
Demokrat: Pelajaran dari Masa Lalu
Menarik untuk melihat contoh lain, seperti ketika Partai Demokrat berusaha dipaksa diambil alih oleh Moeldoko. Walau upaya itu gagal, posisi Demokrat yang berusaha berkompromi dengan kekuasaan menjadi salah satu alasan mengapa partai tersebut kini terlihat lemah. Padahal sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ketua partai tersebut, sangat vokal mengkritik Jokowi hingga menerbitkan buku khusus mengenai kritik terhadap pemerintahan Jokowi. Namun, kini Demokrat terlihat "melempem" di hadapan kekuasaan yang semakin kuat.
Peran Kemenkumham dalam Kudeta
Seperti terlihat pada kudeta Kadin, Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas segera mengumumkan akan menerbitkan Surat Keputusan (SK) pengesahan untuk kepengurusan baru versi Anindya Bakrie, meskipun konflik internal Kadin belum sepenuhnya selesai. Ini menambah bukti bahwa skenario kudeta ini direstui oleh pemerintah. Seharusnya, Menteri bisa menunda pengesahan hingga semua konflik terselesaikan, terlebih Arsjad Rasjid berencana untuk mengajukan gugatan hukum.
Politik Balas Budi
Kudeta Kadin ini juga terkait dengan dinamika politik yang lebih besar, terutama setelah adanya "tebang pohon beringin" di Golkar. Restu Aburizal Bakrie untuk memberikan tempat bagi Gibran masuk Golkar disebut sebagai kompensasi politik untuk Anindya Bakrie dalam kudeta Kadin. Di sisi lain, Bahlil Lahadalia, yang merupakan sekutu Jokowi, disebut-sebut akan diangkat sebagai Ketua Umum Golkar sebagai bagian dari skenario yang lebih luas.
Kesimpulan: Penguatan Kekuasaan Jokowi
Dari rangkaian peristiwa ini, terlihat bahwa Jokowi berusaha mengkonsolidasikan kekuasaan dengan segala cara, termasuk dengan mendongkel tokoh-tokoh yang dianggap tidak mendukung agendanya. Pengambilalihan organisasi, baik partai politik maupun organisasi bisnis, menjadi salah satu alat untuk menjaga kekuasaan tetap berada dalam lingkaran yang dapat dikendalikan. Penggantian Menkumham dan pendongkelan Ketua Kadin adalah langkah nyata dalam skenario ini.
Bagi masyarakat, peristiwa ini mengingatkan bahwa kekuasaan yang tidak diawasi dengan baik bisa berubah menjadi otoritarianisme yang hanya peduli pada kekuasaan dan dinasti politik. Tanpa perlawanan yang kuat, akan semakin banyak pihak yang menjadi korban dari kekuasaan Jokowi. Waspadalah!
0 Komentar