BEBAN RAKYAT BERTAMBAH DITENGAH KETIDAKPASTIAN EKONOMI DAN KENAIKAN PPN 12%


Oleh: Diaz
Penulis Lepas

Rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 1 Januari 2025 menuai banyak respons dari berbagai kalangan. Kebijakan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Meski pemerintah beralasan bahwa kenaikan ini diperlukan untuk menambah penerimaan negara demi menjaga stabilitas APBN, dampaknya diprediksi akan signifikan bagi masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah.


Dampak Kenaikan PPN Pada Masyarakat

Kenaikan PPN akan berdampak langsung pada harga barang dan jasa. Tidak hanya barang mewah seperti salmon premium atau anggur impor, tetapi juga barang konsumsi harian seperti sabun, deterjen, hingga alat elektronik. Akibatnya, daya beli masyarakat yang sudah tertekan dapat semakin melemah.

Bagi pelaku usaha, kebijakan ini akan meningkatkan biaya produksi. Produsen mungkin akan menurunkan volume produksi akibat penurunan permintaan, yang berujung pada berkurangnya lapangan kerja di sektor formal. Berdasarkan data BPS, angka pengangguran per Februari 2024 sudah mencapai 7,2 juta orang. Dengan kondisi seperti ini, angkatan kerja baru akan menghadapi kesulitan lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan.


Rakyat Terbebani dan Konglomerat Diuntungkan

Di sisi lain, pemerintah juga mengusulkan program tax amnesty jilid tiga dalam Prolegnas 2025. Program ini memungkinkan pengemplang pajak, termasuk konglomerat, mendapatkan pengampunan. Kebijakan ini menuai kritik tajam karena dianggap tidak adil, mengingat rakyat kecil harus menanggung beban kenaikan pajak, sementara kalangan superkaya diberi kelonggaran.


Manfaat yang Dijanjikan Pemerintah

Pemerintah menyatakan bahwa penerimaan dari PPN akan digunakan untuk mendanai berbagai program sosial, seperti bantuan langsung tunai (BLT), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan subsidi energi. Barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, jagung, dan sayuran, serta jasa vital seperti kesehatan dan pendidikan, disebut tetap bebas PPN.

Namun, efektivitas alokasi dana ini masih menjadi pertanyaan. Dalam satu dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia sering kali berada di bawah target APBN, menunjukkan perlunya evaluasi kebijakan fiskal secara menyeluruh.


Rakyat Berharap Keberpihakkan Penguasa

Kenaikan PPN 12% adalah langkah pemerintah untuk menambah penerimaan negara dengan cara yang cepat. Namun, kebijakan ini berpotensi membebani masyarakat luas, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global dan domestik. Pemerintah seharusnya mempertimbangkan alternatif lain, seperti optimalisasi pengelolaan sumber daya alam, untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa harus membebani rakyat dan menguntungkan pihak tertentu, tetapi benar-benar memberikan manfaat yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat.


Kegagalan Sistem

Kekayaan sumber daya alam (SDA) Indonesia yang melimpah sayangnya justru dikelola oleh pihak swasta dan asing. Akibatnya, rakyat tidak dapat merasakan manfaatnya secara langsung. Keuntungan dari sektor tambang lebih banyak dinikmati oleh korporasi besar dan segelintir elit tertentu. Kondisi ini bertentangan dengan konsep syariat Islam, yang menetapkan bahwa SDA yang termasuk dalam kategori milik umum (Al Milkiyatul Ammah) seharusnya dikelola oleh negara melalui BUMN. Dengan pengelolaan tersebut, hasilnya dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat tanpa harus membebani mereka dengan pajak.


Solusi Islam

Penerapan syariat Islam dalam pengelolaan SDA menawarkan solusi komprehensif untuk mengatasi ketergantungan negara pada pajak. Dengan menjadikan sektor tambang sebagai sumber utama pemasukan APBN, pendapatan negara dapat meningkat secara signifikan tanpa membebani rakyat. Sistem ini memungkinkan negara untuk sepenuhnya mengelola SDA demi kemakmuran rakyat, membiayai berbagai program pembangunan, serta meringankan beban pajak yang selama ini dirasakan memberatkan. Dengan demikian, keadilan ekonomi dapat terwujud, dan menciptakan tatanan masyarakat yang lebih sejahtera dan berkeadilan.

Posting Komentar

0 Komentar