Oleh: Alraiah
Jurnalis Palestina
Kementerian Luar Negeri Yordania dan Otoritas Palestina mengutuk publikasi peta oleh akun resmi entitas Zionis yang mencakup sebagian wilayah Palestina yang diduduki, Yordania, Lebanon, dan Suriah, dengan klaim bahwa wilayah tersebut merupakan bagian dari "Israel historis". Kedua pihak juga mengecam seruan untuk mencaplok Tepi Barat dan mendirikan permukiman di Gaza.
Kecaman ini kemudian diikuti oleh Kementerian Luar Negeri Arab Saudi, yang menolak apa yang mereka sebut sebagai "klaim Israel" dan menyerukan komunitas internasional untuk menghentikan pelanggaran Israel terhadap negara-negara dan rakyat di kawasan tersebut. Mereka menekankan pentingnya menghormati kedaulatan negara untuk mencegah eskalasi krisis di wilayah tersebut. Kementerian Luar Negeri Uni Emirat Arab juga menegaskan penolakan tegas terhadap semua praktik provokatif yang mengubah status hukum di wilayah Palestina yang diduduki, sambil menyerukan penghentian praktik ilegal yang mengancam solusi dua negara dan berdirinya negara Palestina yang merdeka. Liga Arab juga mengecam penerbitan peta tersebut dan memperingatkan bahaya ekstremisme.
Motivasi dan Keseriusan Zionis
Publikasi peta ini menunjukkan bahwa para pemimpin Zionis menghidupkan kembali mimpi ekspansionis mereka berdasarkan narasi kitab suci mereka. Ada dua alasan utama yang mendorong ambisi ini:
- Perang Gaza dan Dampaknya
Serangan "Badai Al-Aqsa" pada 7 Oktober 2023 dan ketangguhan rakyat Gaza menghadapi kekuatan militer Zionis serta koalisi internasional yang dipimpin AS, menciptakan ketidakpercayaan di kalangan pemimpin Zionis terhadap keamanan mereka dalam batas-batas wilayah saat ini. Mereka melihat perluasan geografis sebagai cara untuk meningkatkan kemampuan pertahanan mereka.
- Kembalinya Donald Trump
Terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden AS memberikan harapan baru bagi Zionis. Trump sebelumnya mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan, memindahkan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem, dan mendukung normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Islam. Selama kampanye 2024, ia bahkan menyatakan bahwa Israel membutuhkan "lebih banyak ruang". Setelah terpilih, Trump mengisyaratkan tidak terikat pada solusi dua negara, melainkan menawarkan "kesepakatan damai" dengan pendekatan berbeda.
Kesimpulannya, Zionis serius dalam mengejar ambisi ekspansionis mereka, menunggu kondisi yang tepat, termasuk dukungan Trump, untuk mewujudkan mimpi tersebut.
Reaksi Lemah Para Penguasa Muslim
Respon dari Yordania, Arab Saudi, UEA, Otoritas Palestina, dan Liga Arab menunjukkan kelemahan dan kepentingan pribadi para penguasa Muslim. Kecaman mereka lebih menyoroti kekhawatiran terhadap perubahan peta kawasan yang dapat mengancam kekuasaan mereka, bukan membela hak-hak Palestina atau umat Islam.
Alih-alih menyerukan penghentian kerja sama dengan Zionis dan mencabut perjanjian damai yang merugikan, mereka justru mendukung solusi dua negara yang melemahkan posisi Palestina. Mereka juga mengandalkan komunitas internasional untuk menekan Israel, bukannya menggerakkan kekuatan umat Islam untuk menghadapi kezaliman Zionis.
Potensi Kebangkitan Umat Islam
Penguasa Muslim menyadari bahwa umat Islam semakin sadar dan marah terhadap penindasan Zionis. Situasi ini membuat Amerika dan Israel khawatir, karena dapat memicu kebangkitan umat yang mengguncang kestabilan mereka.
Oleh karena itu, umat Islam harus mempercepat kebangkitan mereka untuk mengakhiri penjajahan Zionis dan pengaruh Barat di wilayah Islam. Jalan satu-satunya adalah mencabut para penguasa boneka, mendirikan kembali Khilafah Rasyidah yang akan mempersatukan umat, membebaskan Palestina, dan melindungi semua wilayah Islam yang diduduki.
Tanpa langkah ini, Zionis dan Amerika akan terus memperluas kekuasaan dan kesewenang-wenangan mereka.

0 Komentar