DEFISIT APBN AWAL 2025 CAPAI RP30 TRILIUN, EKONOMI INDONESIA DALAM TEKANAN


Oleh: Rika Dwi Ningsih
Jurnalis Lepas

Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani baru-baru ini mengumumkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami defisit hingga Rp30 triliun dalam dua bulan pertama tahun 2025. Defisit ini disebabkan oleh anjloknya penerimaan pajak, terutama akibat masalah dalam sistem pemungutan pajak (coretax) di bulan Januari.

Fitra Faisal, Faculty Member Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa defisit tersebut terjadi karena penerimaan pajak yang turun signifikan. “Kontributor terbesar dari defisit ini adalah korteks yang menyebabkan sistem perpajakan kita terganggu, terutama di bulan Januari. Akibatnya, penerimaan pajak tercatat turun hingga 41-42%,” ungkap Fitra pada CNN (17 Maret 2025).

Meski kondisi membaik di bulan Februari, penerimaan pajak tetap mengalami penurunan. “Meskipun sudah ada perbaikan, kita masih melihat penerimaan pajak minus 30% dibandingkan tahun sebelumnya,” tambahnya.

Fitra juga menyoroti kondisi sektor formal yang sedang melemah, ditandai dengan menurunnya PPH 21. “Ketika PPH 21 turun, itu menandakan kesempatan kerja di sektor formal juga semakin terbatas,” jelasnya.

Selain itu, ekonomi Indonesia mengalami kejutan dengan deflasi sebesar -0,09% di bulan Februari, yang merupakan deflasi pertama dalam 25 tahun terakhir. “Ini menunjukkan daya beli masyarakat sedang melemah, padahal bulan Februari biasanya ditandai dengan permintaan yang tinggi menjelang Ramadan,” ujar Fitra.

Menanggapi situasi ini, Fitra menekankan perlunya stimulus ekonomi untuk menjaga momentum pertumbuhan. “Jika tidak ada langkah konkret untuk mendorong daya beli dan investasi, kapasitas fiskal kita akan semakin terbatas,” katanya.

Meskipun ada spekulasi bahwa defisit terjadi akibat belanja pemerintah yang membengkak, Fitra membantah hal tersebut. “Belanja Januari-Februari 2025 justru lebih kecil dibandingkan tahun lalu, jadi ini bukan soal pengeluaran berlebih, tapi lebih kepada shortfall penerimaan negara,” tegasnya.

Ke depan, Fitra menilai bahwa Indonesia harus berfokus pada penguatan sektor industri agar pertumbuhan ekonomi lebih berkelanjutan. “Saat ini kontribusi sektor industri terhadap PDB kita hanya 18-19%, padahal di awal 2000-an bisa mencapai 26%. Ini menunjukkan bahwa kita perlu memperkuat industri untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan meningkatkan daya beli masyarakat,” pungkasnya.

Posting Komentar

0 Komentar