SOLUSI TUNTAS ATASI KECURANGAN BERAS


Oleh: Siami Rohmah
Penulis Lepas

Jika berbicara tentang kecurangan di negeri ini, seolah tidak ada habisnya. Setelah bensin oplosan, kemudian beberapa waktu lalu ditemukan minyak oplosan. Terbaru, kita diberikan fakta kecurangan yang dilakukan oleh produsen beras. Kecurangan ini telah dilaporkan oleh Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, ke Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung. Setidaknya ada 212 dari 268 merek yang tidak sesuai mutu.

Menteri Pertanian Amran menyebutkan, dari 13 laboratorium di seluruh provinsi, 85,56 persen beras premium tidak sesuai mutu, 59,78 persen dijual di atas HET, dan 21 persen beratnya tidak sesuai. (Tempo, 16-07-2025)

Kecurangan yang dilakukan oleh produsen beras, baik dari sisi mutu, harga, maupun timbangan (yang notabene merupakan produsen besar) tentu sangat merugikan. Bahkan disebutkan kerugiannya mencapai 99 triliun rupiah. Meski negara telah memiliki regulasi, nyatanya masih kecolongan juga. Mengapa hal ini bisa terjadi, dan bagaimana solusinya?

Praktik kecurangan dalam aspek apa pun akan terjadi ketika pelaku tidak melibatkan Sang Pencipta dalam kehidupannya. Mereka merasa aman dari pengawasan Allah dan menjadikannya menghalalkan segala cara demi kepentingan dan keuntungan. Jangankan regulasi, hal yang haram seperti kecurangan pun akan terasa ringan dilakukan. Semua ini adalah buah dari sekularisme (paham pemisahan agama dari kehidupan) yang merupakan pondasi dari kapitalisme yang saat ini dipraktikkan di negeri ini.

Padahal Allah ﷻ berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah [2]: 188)

Kapitalisme menjadi biang atas berulang dan berlarutnya masalah semisal ini. Di mana sistem yang ada tidak mampu membentuk individu yang amanah dan bertakwa. Sedangkan takwa adalah ketaatan kepada Allah ﷻ dalam seluruh aturan-Nya. Aturan itu ada dalam agama, sementara konsep kapitalisme didasari oleh pemisahan agama dari kehidupan. Maka tidak heran jika terbentuk individu yang tidak bertakwa.

Dalam sistem kapitalisme, negara tidak lagi hadir sebagai pengurus dan pelayan urusan rakyat, sebab kapitalisme meniscayakan peran negara yang minimal bahkan abai terhadap kebutuhan dasar masyarakat. Sistem ini dibangun atas dasar kepemilikan kapital oleh segelintir elit pemilik modal besar dan korporasi raksasa yang menjadi aktor utama dalam mengendalikan arah kebijakan negara. Negara hanya berperan sebagai fasilitator bagi kepentingan para kapitalis, bukan pelindung kepentingan rakyat.

Orientasi utama para pemilik modal bukanlah kesejahteraan umum, melainkan keuntungan bisnis semata. Akibatnya, berbagai aspek kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, pangan, dan energi dijadikan komoditas yang tunduk pada logika pasar. Rakyat yang mampu membayar mendapat layanan, sementara yang tidak mampu dibiarkan tersingkir. Inilah wajah asli kapitalisme, sistem yang menyerahkan pengurusan urusan hidup rakyat kepada mekanisme pasar, bukan kepada negara yang seharusnya menjadi pelayan umat.

Lalu, bagaimana mungkin pemerintah dapat menjalankan perannya dengan baik jika penguasaan terhadap sektor pangan saja tidak lebih dari 10 persen? Ketergantungan yang tinggi terhadap swasta membuat negara kehilangan kendali atas hajat hidup rakyat. Akibatnya, negara pun kehilangan daya tawar (bargaining power) di hadapan korporasi.

Padahal beras merupakan bagian dari kebutuhan pangan. Kebutuhan ini adalah kebutuhan pokok individu di samping pakaian dan tempat tinggal. Pemerintah tidak boleh abai dalam masalah ini. Karena pemerintah dalam Islam adalah ra’în (penanggung jawab) atas rakyat yang dipimpinnya. Pemerintah harus memastikan mulai dari proses produksi, distribusi, hingga konsumsi setiap individu rakyat.

Namun pengaturan Islam tersebut mustahil dapat terwujud karena aturan dalam Islam dibangun atas tiga hal. Pertama, adalah individu bertakwa yang akan menjalankan amanah sebagai pemimpin sesuai dengan apa yang Allah perintahkan. Sebagaimana kisah Khalifah Umar bin Khattab yang memanggul sendiri gandum untuk rakyatnya yang kelaparan dan tidak mau dibantu untuk membawakan. Hal ini adalah wujud tanggung jawab sebagai pemimpin di hadapan Allah.

Rasulullah ﷺ bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Faktor kedua, adalah kontrol dari masyarakat, yaitu peran umat dalam melakukan muhasabah terhadap penguasa. Masyarakat harus senantiasa mengawasi dan mengoreksi penerapan kebijakan agar tetap berada dalam koridor syariat Islam. Kontrol ini bukan sekadar kritik, tetapi bagian dari kewajiban amar makruf nahi mungkar untuk memastikan bahwa penguasa tidak keluar dari jalan yang telah ditetapkan Allah ﷻ.

Kemudian yang ketiga, adalah penegakan hukum yang tegas oleh negara. Hal ini berkaitan langsung dengan pemberlakuan sanksi atas setiap pelanggaran yang terjadi. Penegakan sanksi yang adil dan tanpa pandang bulu akan menimbulkan efek jera, sekaligus menjadi upaya preventif agar pelanggaran serupa tidak terulang kembali, bahkan dapat hilang sama sekali dari tengah-tengah masyarakat.

Allah ﷻ berfirman:

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيْهَآ اَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْاَنْفَ بِالْاَنْفِ وَالْاُذُنَ بِالْاُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّۙ وَالْجُرُوْحَ قِصَاصٌۗ
"Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisas-nya (balasan yang sama)." (QS. Al-Ma’idah [5]: 45)

Selain itu, dalam Islam juga ada yang dinamakan qadhi hisbah. Tugasnya memastikan hak-hak masyarakat tidak tercurangi. Misalnya terkait penimbunan, monopoli, termasuk kecurangan atas komoditas di pasar. Hal ini pernah dicontohkan ketika Rasulullah ﷺ melakukan sidak di pasar dan menjumpai pedagang kurma yang mengoplos kurma kering dengan kurma basah, kemudian Rasulullah melarangnya.

Dalam riwayat disebutkan:

أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي
"Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian atas makanan agar manusia dapat melihatnya. Barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami." (HR. Muslim)

Jika ketiga pilar penegakan aturan ini dijalankan secara konsisten (yakni peran negara yang kuat, kontrol masyarakat yang aktif, dan penegakan hukum yang tegas) maka insyaallah kehidupan akan berjalan sebagaimana mestinya. Kebutuhan rakyat akan terpenuhi dengan adil, tanpa adanya celah bagi praktik kecurangan. Semua ini hanya akan terwujud bila aturan yang diterapkan bersumber dari syariat Allah ﷻ.

Sejarah telah membuktikan hal ini melalui keteladanan Rasulullah ﷺ dan Khalifah Umar bin Khattab ra., yang menegakkan keadilan dengan sistem Islam secara menyeluruh. Dengan demikian, praktik kecurangan tidak akan terus-menerus muncul silih berganti, karena sistem Islam mampu mencegah kezaliman dari akarnya.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar