KEKERASAN SISTEMIK DAN HILANGNYA ḤIFẒ AN-NAFS DI NEGERI MUSLIM


Oleh: Ummu Hanif Haidar
Penulis Lepas

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat adanya 60 kasus kekerasan di satuan pendidikan, yang menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan dengan 36 kasus di 2024 dan 15 kasus di 2023. Terdapat 358 korban dan 126 pelaku dari kasus-kasus tersebut. (Tirto, 10/12/2025)

Masih menurut FSGI, jenis kekerasan di sekolah pada tahun 2025 didominasi oleh kekerasan fisik sebanyak 45%, kekerasan seksual sekitar 28,3%, dan kekerasan psikis sebanyak 13,3%. Selain itu, kekerasan tersebut juga mencakup perundungan/bullying, intoleransi, hingga kebijakan diskriminatif yang turut tercatat. (Detik, 08/12/2025)

Menurut hasil survei 2024, 1 dari 2 anak usia 13–17 tahun di Indonesia pernah mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan sepanjang hidup mereka. Kasus yang meningkat ini menjadi alarm serius yang menyerukan perlunya peningkatan pencegahan melalui pelatihan, POS, dan penanganan kekerasan di sekolah, sebagaimana yang disampaikan pemerintah dan FSGI. (KPAI, 11/02/2025)

Otoritas statistik nasional (BPS) belum menerima semua kasus secara resmi. Kasus-kasus yang tercatat juga ada yang melalui lembaga advokasi, serikat guru, atau media. Data 2025 masih berkembang hingga akhir tahun ini, karena beberapa laporan terbaru dilaporkan secara berkala.


Pembunuhan Bukan Sekadar Membunuh

Pola pembunuhan di Indonesia terasa semakin ekstrem. Istilah-istilah motif seperti femisida, parisida, dan mutilasi muncul dengan semakin bervariasinya cara, relasi, dan kedalaman kekerasan yang menyertainya.

Gambaran kekerasan terhadap perempuan masih dipelihara oleh relasi kuasa yang timpang, yang sering disebut sebagai femisida. Femisida terjadi karena keyakinan pelaku bahwa perempuan adalah milik mereka. Pembunuhan yang ekstrem ini seringkali mengungkapkan wajah keluarga yang rapuh, konflik menahun, luka psikologis, dan tekanan hidup yang tak pernah ditangani hingga akhirnya meledak dalam bentuk yang paling ekstrem, yang disebut sebagai parisida. Mutilasi juga termasuk jenis pembunuhan ekstrem yang biadab. Sering kali, hal ini justru lahir dari kepanikan, disosiasi, dan kehancuran nalar, bukan semata-mata karena sadisme.

Kasus pembunuhan ekstrem yang terus terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa negara masih belum berhasil memberikan rasa aman kepada warganya. Keamanan yang dimaksud bukan hanya sekadar adanya aparat keamanan yang berpatroli di jalan atau penindakan setelah kejadian. Yang lebih penting adalah bagaimana negara dapat mencegah terjadinya peristiwa-peristiwa tragis tersebut sebelum nyawa rakyat terancam. Saat ini, negara masih belum mampu memastikan hal itu.

Kapitalisme sekulerisme menempatkan materi sebagai tujuan hidup tertinggi. Posisi agama dipinggirkan dalam pengaturan kehidupan manusia. Kapitalisme membuat manusia berlomba-lomba menguasai sumber daya, mengejar keuntungan, dan mempertahankan kepentingan diri dengan segala cara. Patokan hidup hanya diukur dari untung-rugi dan lolos-tidaknya dari jerat hukum. Nyawa seorang manusia tidak lagi dianggap sakral, dan pembunuhan pun menjadi opsi wajar dalam situasi tertentu.


Keamanan Adalah Kewajiban Negara

Islam memandang penjagaan jiwa (ḥifẓ an-nafs), baik untuk Muslim maupun non-Muslim, sebagai salah satu tujuan utama syariat. Allah ﷻ berfirman:

اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ
Barang siapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia.” (QS. Al-Māidah: 32).

Negara wajib mencegah sebab-sebab kejahatan dengan menutup pintu konflik antar anggota masyarakat. Negara juga menjamin kebutuhan dasar rakyat agar tidak terdorong untuk melakukan kemaksiatan.

Yang terpenting dari itu semua adalah Islam menetapkan qishash bagi pembunuhan.

وَلَكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيٰوةٌ يّٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Dan dalam qishash itu ada jaminan kehidupan bagi kalian, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 179)

Sanksi yang tegas dan adil pasti akan menimbulkan efek jera bagi pelakunya, serta mencegah anggota masyarakat lainnya untuk melakukan perbuatan yang sama. Terlalu ringan jika hanya sekadar dipenjara. Qishash menjadi hukum pencegahan (preventif) yang paling efektif.

Meningkatnya kekerasan dari sekolah hingga pembunuhan ekstrem menunjukkan kegagalan sistemik negara dalam menjaga keselamatan jiwa rakyatnya. Selama keamanan dimaknai sebatas penindakan setelah kejadian dan hukum hanya memberi efek minimal, kekerasan akan terus berulang. Islam menegaskan bahwa penjagaan jiwa adalah kewajiban negara.

Wallahu'alam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar