
Oleh: Chaleedarifa
Penulis Lepas
“Gawai kini lebih dipercaya oleh anak daripada orang tuanya.” Kalimat ini bukan sekadar anekdot, melainkan sebuah realitas yang mengkhawatirkan wajah pendidikan generasi muda kita saat ini. Dalam sebuah pernyataan resmi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Wihaji, menyoroti penggunaan gawai yang berlebihan sebagai ancaman nyata terhadap cita-cita Indonesia untuk mencetak Generasi Emas 2045 (Tempo, 09-07-2025).
Fenomena ini bukan hanya opini belaka. Menurut data dari Kementerian PAN-RB yang dikutip oleh CNBC, rata-rata remaja Indonesia menghabiskan waktu sekitar 6,05 jam per hari untuk menatap layar gawai, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan durasi tertinggi di dunia untuk kelompok usia remaja. Lebih lanjut, Indonesia menduduki peringkat ke-4 global dan ke-2 di ASEAN dalam kasus pornografi anak di ruang digital. Ini bukan hanya krisis moral, melainkan juga darurat peradaban.
Indonesia kini tengah menikmati periode bonus demografi, di mana mayoritas penduduk berada dalam usia produktif. Namun, sebagaimana diingatkan oleh para ahli demografi, bonus ini bisa berubah menjadi malapetaka jika generasi muda terperosok dalam kebutaan digital, terpapar konten negatif, adiksi media sosial, dan kehilangan keterampilan sosial. Bonus demografi yang seharusnya memberi keuntungan bagi kemajuan negara, alih-alih mempercepat kemajuan, justru bisa menjadi bom waktu yang menghancurkan.
Pemerintah melalui program PP TUNAS dan rencana pengembangan Super App, tujuannya agar keluarga hadir di tengah kegentingan ini. Namun, regulasi teknis saja tidak cukup. Dibutuhkan partisipasi aktif dari keluarga, terutama ayah dan ibu. Selain itu, pendidikan formal juga perlu mereformasi kurikulum agar literasi digital menjadi bagian inti dari pembentukan karakter dan etika berteknologi.
Persoalan ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan edukasi teknis. Dibutuhkan pendekatan ideologis yang berangkat dari pemaknaan nilai, identitas, dan penguatan akidah. Indonesia harus berani mendorong kedaulatan digital dan membangun platform lokal yang bebas dari dominasi algoritma yang merusak. Lebih dari itu, solusi ini tidak akan berarti apa-apa jika Islam tidak diterapkan secara menyeluruh, meliputi segala aspek kehidupan. Sebab, solusi parsial hanyalah tambal sulam, ibaratnya seperti menggali lubang dan menutup lubang yang tak pernah berujung.
Dalam perspektif Islam, gawai atau teknologi adalah alat (wasilah) yang harus dikendalikan dan diarahkan untuk kebaikan. Orang tua memiliki tanggung jawab penuh atas bagaimana anak-anak mereka mengakses dunia digital. Solusi dari perspektif Islam antara lain:
- Tarbiyah keluarga diharapkan dapat mengajarkan adab berselancar di internet;
- Literasi Qur’ani, memperbanyak waktu bersama Al-Qur’an;
- Gerakan dakwah digital yang mendorong konten positif dan Islami;
- Serta filterisasi konten oleh penyedia layanan.
Tugas kita hari ini dan seterusnya bukan hanya membatasi akses gawai, tetapi juga membentuk generasi yang mampu menguasai teknologi tanpa diperbudak olehnya. Teknologi harus menjadi pelita masa depan, bukan api yang membakar nilai dan akal yang kokoh berlandaskan iman. Keimanan generasi akan lebih kondusif jika disuasanakan dan dikondisikan dengan baik, tanpa suguhan informasi, tayangan, dan tontonan yang meracuni dan berdampak negatif bagi masa depan.
Karena sejatinya, masa depan yang seperti apa yang akan kita hadapi, tergantung pada generasi saat ini. Ini adalah sebuah pilihan, apakah kita akan memanifestasikan masa depan yang kelam ataukah yang gemilang. Peran negara sangat menentukan ke mana generasi mudanya akan dibimbing, dengan menjadikan tatanan Islam secara komprehensif dan selaras dengan Al-Qur'an.
0 Komentar