
Oleh: Lathifa Rohmani
Muslimah Peduli Umat
Kemajuan teknologi digital memang menghadirkan banyak kemudahan. Namun, di sisi lain, juga memunculkan tantangan dan ancaman baru, terutama bagi perempuan dan anak. Penggunaan gawai yang semakin intens sejak usia dini, tanpa pengawasan memadai, membuat mereka rentan terpapar konten negatif bahkan kekerasan digital. Media sosial menjadi ladang subur bagi berbagai pengaruh buruk, termasuk normalisasi kekerasan seksual, ujaran kebencian, hingga eksploitasi anak.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sendiri mengakui bahwa media sosial telah menjadi pemicu meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Selain itu, penggunaan gawai secara berlebihan juga mengancam kesehatan mental dan perkembangan sosial anak, terutama remaja yang sedang dalam masa pencarian jati diri. Ini menunjukkan bahwa persoalan dunia digital tak bisa dianggap remeh, terlebih ketika menyangkut generasi penerus bangsa. (RRI, 16-07-2025)
Sayangnya, negara belum menunjukkan keseriusan dalam menghadirkan sistem perlindungan yang utuh. Meski ada berbagai inisiatif, seperti pengenalan PP TUNAS (Perlindungan Pengguna Telekomunikasi dan Siber) di forum internasional (KemenPAN RB, 2025), pada praktiknya ruang digital masih sangat bebas dan berbahaya. Selama arus digitalisasi dinilai menguntungkan secara ekonomi, maka aspek keselamatan dan moral tampaknya dianggap bukan prioritas.
Kapitalisme dan Bahaya Dunia Siber
Inilah konsekuensi dari kehidupan dalam sistem kapitalisme sekuler, di mana kemajuan teknologi tidak dibarengi dengan panduan moral dan nilai-nilai spiritual. Dunia digital berkembang pesat, tetapi tidak diarahkan untuk kebaikan umat. Bahkan, data dan akses digital kerap menjadi alat dominasi kekuasaan global atas negara-negara berkembang. Infrastruktur digital yang digunakan di negeri ini sebagian besar masih bergantung pada teknologi asing, menjadikan negara lemah dalam mengatur kontennya sendiri.
Kapitalisme juga menempatkan manusia semata sebagai konsumen. Maka, tak heran jika aplikasi, algoritma, dan konten-konten digital lebih fokus pada klik, like, dan engagement, tanpa peduli pada dampak sosial dan moralnya. Tak ada tanggung jawab sistemik terhadap ancaman yang ditimbulkan terhadap generasi muda. Dalam kondisi seperti ini, anak-anak tumbuh tanpa pelindung yang benar-benar peduli pada keselamatannya.
Negara Islam Hadirkan Ruang Siber Sehat dan Aman
Islam menawarkan paradigma yang berbeda dalam mengelola dunia digital. Negara dalam Islam (Khilafah) bertanggung jawab penuh atas keselamatan rakyatnya, termasuk dalam ruang digital. Negara wajib menciptakan sistem informasi yang bersih, sehat, dan syar'i. Tidak ada ruang bagi konten pornografi, kekerasan, atau informasi menyesatkan. Pengawasan dilakukan secara menyeluruh oleh negara, bukan diserahkan pada algoritma perusahaan asing.
Islam juga menempatkan teknologi sebagai sarana, bukan tujuan. Maka, pengembangan teknologi dilakukan dengan arahan syariat, untuk kemaslahatan umat, menjaga akal, jiwa, dan kehormatan manusia. Negara Islam tidak akan membiarkan rakyatnya terpapar konten beracun demi keuntungan kapital. Justru negara akan membina masyarakat dengan pendidikan berbasis akidah Islam dan literasi digital yang kuat sejak dini.
Negara dalam sistem Islam juga membangun infrastruktur teknologi secara mandiri, tanpa bergantung pada kekuatan asing. Ini dilakukan untuk menjamin kedaulatan digital dan kebebasan umat dari pengaruh luar yang merusak. Negara memimpin pengembangan teknologi strategis, termasuk sistem informasi dan platform media, agar umat bisa mengakses ruang digital yang aman dan edukatif.
Dengan peran negara sebagai junnah (pelindung), maka ancaman dunia siber terhadap perempuan dan anak bisa dicegah sejak awal. Negara Islam tidak hanya reaktif, tetapi proaktif menjaga keselamatan rakyat di segala lini, termasuk dunia maya. Inilah bentuk tanggung jawab sejati yang hanya mungkin terwujud dalam sistem pemerintahan Islam yang berasaskan wahyu, bukan untung-rugi dunia semata.
Khatimah
Ancaman siber terhadap perempuan dan anak bukan sekadar persoalan teknis, melainkan buah dari sistem kapitalisme sekuler yang abai terhadap perlindungan dan pembinaan rakyat. Selama teknologi dipandang hanya sebagai alat ekonomi dan bukan amanah moral, maka ancaman-ancaman ini akan terus membayangi generasi penerus.
Hanya sistem Islam yang mampu menghadirkan perlindungan menyeluruh bagi rakyat, termasuk dalam ruang digital. Dengan menjadikan negara sebagai pelindung (junnah), Islam mampu membangun ruang siber yang sehat, aman, dan sesuai syariat. Perlindungan terhadap perempuan dan anak pun bukan lagi angan-angan, tetapi keniscayaan yang diwujudkan oleh sistem yang adil dan berpihak pada kemaslahatan umat.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
0 Komentar