
Oleh: Diaz
Jurnalis
Program Sekolah Rakyat digulirkan pemerintah dengan klaim mulia: menjamin akses pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem. Di tengah angka ketimpangan pendidikan yang terus melebar, kehadiran program ini seolah menjadi angin segar. Namun, seperti banyak kebijakan pendidikan sebelumnya, program ini justru memperlihatkan wajah tambal sulam sistemik yang semakin rapuh.
Alih-alih menyelesaikan akar masalah, Sekolah Rakyat justru membuka potret baru tentang minimnya perencanaan, lemah dalam pendekatan sosial, dan cacat dalam strategi pembangunan karakter generasi bangsa. Gedung-gedung eks-rehabilitasi dipakai sebagai ruang belajar. Lokasi sekolah dibangun di tempat terpencil dan terpisah. Anak-anak dari keluarga tidak mampu ‘dikumpulkan’ dalam sistem asrama yang terisolasi dari sekolah-sekolah negeri reguler.
Sejumlah pengamat menyebut bahwa pendekatan ini berpotensi melanggengkan segregasi sosial, bukan menghapusnya. Alih-alih merangkul mereka dalam sistem inklusif, anak-anak dari keluarga miskin justru disekat dalam label kemiskinan struktural baru. Secara psikologis, model asrama seperti ini rentan menciptakan tekanan mental, stres, dan perasaan dikucilkan. Pendidikan seharusnya menyatukan, bukan memisahkan. Memberdayakan, bukan melabeli. Mengangkat martabat, bukan mempertebal stigma.
Tapi inilah realita ketika pendidikan dikelola dalam sistem kapitalistik-sekuler yang lebih mementingkan citra dan proyek, daripada substansi dan tanggung jawab. (BBC, 14-07-2025)
Sistem Pendidikan Sekuler Gagal Melayani Rakyat
Pendidikan di negeri ini telah lama mengalami krisis multidimensi: krisis akses, kualitas, pemerataan, kurikulum, bahkan krisis arah. Sistem sekuler yang melandasinya membuat pendidikan tercerabut dari nilai ruhiyah dan hanya berorientasi pada kepentingan duniawi semata.
Berbagai kebijakan pendidikan lahir, dari Kurikulum 2013, Merdeka Belajar, hingga Sekolah Rakyat. Namun, tak satupun menyentuh akar persoalan, karena tidak ada keberanian menyentuh sistem yang melahirkan masalah itu sendiri.
Sistem sekuler telah memisahkan pendidikan dari agama, menempatkan Islam sebatas mata pelajaran, bukan fondasi kehidupan. Anak-anak diajarkan ilmu, tapi bukan untuk mengenal Allah. Mereka digenjot kemampuan berpikir, tapi tidak dibimbing arah berpikirnya. Mereka diajarkan teknologi, tapi tidak ditanamkan tujuan hidup. Akibatnya, lahirlah generasi yang cerdas tapi kehilangan jati diri. Berpendidikan tapi terasing dari makna hidup yang hakiki.
Sementara itu, kesenjangan akses pendidikan semakin parah. Anak-anak dari keluarga kaya bisa bersekolah di lembaga elit dengan fasilitas mentereng. Sedangkan anak dari keluarga miskin hanya jadi objek eksperimen program dadakan seperti Sekolah Rakyat. Pendidikan tidak lagi jadi hak semua warga, tetapi privilege bagi yang mampu membayar.
Lebih menyakitkan, guru-guru justru banyak yang disia-siakan. Mereka dibebani administrasi berlapis, digaji rendah, dan dikontrol oleh sistem yang tak memberi ruang untuk mendidik dengan hati. Pendidikan akhirnya bukan lagi medan pengabdian, melainkan proyek yang penuh tekanan dan komersialisasi.
Islam Menjamin Pendidikan Berkualitas dan Merata
Islam memiliki sistem pendidikan yang mendasar, menyeluruh, dan membebaskan. Islam tidak memandang pendidikan sebagai beban anggaran, tapi sebagai kewajiban negara terhadap rakyat. Pendidikan dalam Islam bertujuan membentuk manusia yang beriman, berakhlak mulia, dan berilmu tinggi. Inilah sistem pendidikan yang berbasis akidah, bukan sekadar target akademik.
Dalam sistem Islam, ilmu tidak dipisahkan dari iman. Semua cabang ilmu diarahkan untuk memperkuat pemahaman terhadap kehidupan dan pengabdian kepada Allah. Anak-anak diajarkan ilmu syariah dan ilmu kehidupan (seperti matematika, sains, kedokteran, dll) dengan fondasi akidah Islam. Ilmu tidak lagi netral, tetapi bermakna dan bernilai.
Pendidikan dalam sistem yang menerapkan Islam secara menyeluruh (Khilafah) akan menjamin akses pendidikan gratis dan merata untuk seluruh rakyat. Negara akan membuka sekolah-sekolah yang memadai di seluruh penjuru wilayah, tanpa diskriminasi ekonomi. Semua anak, baik dari kalangan miskin maupun kaya, mendapatkan fasilitas dan kurikulum yang sama. Tidak ada segregasi sosial berbasis ekonomi, karena negara tidak boleh membeda-bedakan pelayanan terhadap rakyatnya.
Dalam Khilafah, sumber pembiayaan pendidikan tidak diambil dari utang atau pajak yang membebani rakyat. Negara akan menggunakan pos keuangan dari baitul mal, seperti zakat, kharaj, jizyah, dan pengelolaan sumber daya alam. Dengan ini, pendidikan akan benar-benar menjadi hak rakyat, bukan komoditas pasar atau proyek pencitraan penguasa.
Aqidah sebagai Poros Kurikulum
Kurikulum dalam sistem pendidikan Islam berporos pada aqidah Islam. Bukan sekadar mengajarkan hafalan atau ritual, tetapi membentuk kepribadian Islam yang kuat. Anak-anak akan tumbuh dengan kesadaran bahwa hidup ini adalah untuk beribadah kepada Allah, mencari ridha-Nya, dan memberi manfaat bagi umat manusia.
Rasulullah ﷺ bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Hadis ini menjadi landasan bahwa pendidikan dalam Islam tidak mengenal diskriminasi. Baik laki-laki maupun perempuan, semua berhak mendapatkan ilmu yang benar dan bermanfaat. Maka, negara berkewajiban memfasilitasi akses pendidikan tersebut secara menyeluruh.
Guru dalam Islam itu Mulia dan Dimuliakan
Dalam sistem Islam, guru adalah penjaga peradaban. Mereka dihormati dan dimuliakan. Negara memberi mereka dukungan penuh, mulai dari kesejahteraan, pelatihan, hingga penghargaan sosial. Mereka bukan sekadar penyampai materi, tapi pembimbing ruhiyah yang menanamkan nilai hidup dalam diri murid-muridnya.
Tak ada ruang bagi komersialisasi pendidikan dalam sistem Islam. Sekolah bukan tempat bisnis. Ilmu bukan barang jualan. Guru bukan tenaga kerja murah. Semua menjadi satu kesatuan dalam sistem yang visioner dan manusiawi.
Khilafah, Solusi Sistemik bagi Pendidikan Umat
Semua solusi ini hanya dapat diwujudkan melalui penerapan Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam institusi negara, yaitu Khilafah Islamiyah. Khilafah adalah sistem pemerintahan yang menempatkan syariat Islam sebagai hukum tertinggi. Dalam sistem ini, pendidikan menjadi instrumen penting dalam mencetak generasi pemimpin, ulama, ilmuwan, dan pejuang Islam.
Khilafah tidak membiarkan satu anak pun tercecer dari pendidikan. Ia tidak menunggu bantuan asing atau investor global. Ia bergerak dengan kekuatan sendiri, dengan pengelolaan kekayaan yang adil dan berdaulat. Karena seorang khalifah memahami bahwa generasi adalah aset utama peradaban, dan pendidikan adalah kunci membangunnya.
Sekolah Rakyat Bukan Jawaban, Sistem Islam Solusinya
Sekolah Rakyat, meski niatnya baik, hanyalah tambalan dari sistem yang sudah usang dan gagal. Ia tidak menyelesaikan masalah, justru mempertegas ketimpangan sosial yang sudah dalam. Pendidikan tidak bisa diselamatkan dengan program instan. Ia harus diselamatkan dari akar, dari sistem yang menaunginya.
Dan sistem itu adalah sistem sekuler-kapitalis yang memisahkan pendidikan dari iman, mencabut ruh Islam dari ilmu, dan menjadikan rakyat sebagai objek proyek jangka pendek.
Sudah saatnya kita menengok kembali pada Islam sebagai solusi yang hakiki. Membangun sistem pendidikan berbasis aqidah Islam. Mewujudkan negara yang menjamin pendidikan gratis, berkualitas, dan merata. Negara yang melahirkan generasi emas: cerdas, beriman, dan siap memimpin dunia.
Dan semua itu hanya mungkin terwujud dengan tegaknya Khilafah Islamiyah ‘ala minhaj nubuwwah.
0 Komentar