PEKERJA MIGRAN: SOLUSI SEMU PENGENTASAN KEMISKINAN


Oleh: Ummu Adiba
Penulis Lepas

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah pada Februari 2025 menunjukkan jumlah pengangguran mencapai 950.000 orang, dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 4,33 persen. Meskipun dalam setahun terakhir terdapat penyerapan tenaga kerja sebanyak 515 ribu orang, penurunan angka pengangguran yang relatif kecil ini tetap mencerminkan ketidakseimbangan yang masih terjadi di pasar tenaga kerja.

Penting untuk dicatat bahwa sektor industri yang diharapkan bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja justru belum maksimal dalam mengurangi angka pengangguran, terutama di daerah-daerah dengan TPT tinggi seperti Brebes, Cilacap, dan Tegal. Di samping itu, dominasi sektor informal yang mencapai 60,45 persen menunjukkan bahwa pasar kerja di Jawa Tengah masih menghadapi tantangan besar dalam menciptakan lapangan kerja yang layak dan stabil. (Kompas, 12-06-2025)

Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) menargetkan penempatan sebanyak 425 ribu Warga Negara Indonesia (WNI) untuk bekerja di luar negeri pada 2025. Menurut Wakil P2MI, Christina Aryani, target tersebut sangat mungkin tercapai mengingat pada 2024, permintaan sumber daya manusia (SDM) dari luar negeri mencapai 1,3 juta orang.

Christina juga menyoroti tren tagar "Kabur Aja Dulu" di media sosial, yang mencerminkan fenomena pelarian tenaga kerja ke luar negeri tanpa perencanaan yang jelas. Oleh karena itu, ia mengajak masyarakat untuk mengubah pola pikir dan melihat peluang kerja di luar negeri sebagai opsi yang lebih menguntungkan dan menjanjikan. Christina berharap masyarakat dapat memanfaatkan peluang kerja di luar negeri secara legal dan aman, bukan sekadar "kabur" tanpa arah yang jelas. (Antara, 26-02-2025)


Sistem Kapitalisme Gagal Atasi Pengangguran

Pekerja migran telah menjadi salah satu penopang tumbuhnya perekonomian nasional dan berkontribusi secara konkret bagi pendapatan negara serta produktivitas ekonomi. Total keuntungan negara dari pemberangkatan pekerja migran di luar negeri dalam bentuk devisa pada tahun 2024 mencapai Rp 253,3 triliun, dan diperkirakan pada 2025 akan meningkat menjadi Rp 433,6 triliun, yang menunjukkan kontribusi penting bagi perekonomian negara. (CNBC, 21-04-2025)

Namun, perlindungan dan jaminan bagi pekerja migran Indonesia masih sangat minim meskipun kontribusinya terhadap perekonomian negara besar. SBMI mencatat lebih dari 1.800 buruh migran Indonesia terindikasi kuat sebagai korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sepanjang 2019 hingga 2024. Masalah ini diperburuk oleh lemahnya sistem perlindungan bagi pekerja migran, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, yang sering kali mengalami eksploitasi dan kekerasan tanpa adanya jaminan keadilan atau bantuan memadai. (Tempo, 01-08-2024)

Kegagalan negara dalam memenuhi hak warga negara atas pekerjaan ini tidak terlepas dari skema industri Sistem Kapitalisme di Indonesia yang bergantung pada pemodal. Tunduknya pemerintah pada sejumlah perjanjian internasional menyebabkan banyak Warga Negara Asing (WNA) membanjiri lapangan kerja dalam negeri. Kondisi lapangan kerja di Indonesia yang semakin sempit, upah yang murah, serta kebijakan fleksibilitas lainnya memudahkan pekerja terancam PHK sepihak, sehingga membuat persaingan semakin ketat. Hal ini mendorong banyak orang untuk menjadi pekerja migran di negara lain.

Menjadi pekerja migran bukanlah solusi untuk mensejahterakan, namun lebih menunjukkan ketimpangan dari segi pendapatan dan penguasaan sumber daya alam. KP2MI salah kaprah dalam memberikan solusi. Di bawah bayang-bayang rezim militeristik yang didukung oleh regulasi yang timpang, warga Jawa Tengah tidak mendapatkan jaminan akses lapangan pekerjaan yang memadai. Relokasi industri dan kampanye UU CILAKA yang dijanjikan untuk membuka lapangan pekerjaan hanyalah ilusi semu.

Kita dapat menyaksikan beberapa tahun belakangan, Jawa Tengah menjadi provinsi dengan upah pekerja yang sangat murah serta provinsi dengan tingkat PHK massal tertinggi. Pada tahun 2025, pemutusan hubungan kerja (PHK) di Jateng mencapai 24.036 pekerja. Oleh karena itu, menjadikan pekerja migran sebagai solusi untuk menekan angka pengangguran hanya akan berisiko besar, mengingat regulasi yang ada belum memadai dan negara belum berpihak pada kesejahteraan pekerja migran.


Sistem Islam Atasi Pengangguran

Masalah pengangguran sesungguhnya sangat kompleks. Selain karena faktor ekonomi global, kondisi lapangan kerja yang sebagian besar bertumpu pada sektor swasta juga menjadi penyebab maraknya pengangguran saat ini. Pakar ekonomi Islam, Nida Saadah, S.E., Ak., M.E.I., mengatakan, “Dalam catatan sejarah peradaban manusia, ketika Islam diterapkan selama 1300 tahun lebih, maka tidak terjadi problem pengangguran massal sampai ratusan juta orang tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Tidak pernah terjadi fakta itu dalam sejarah peradaban Islam.” (Muslimah News, 06-05-2025)

Ia menambahkan bahwa menciptakan lapangan kerja di negara berkembang saat ini membutuhkan modal sumber daya alam. Namun, sumber daya alam yang ada sudah dikuasai dan dihegemoni oleh negara besar. Berbeda jauh dengan sistem Islam yang memiliki regulasi khas terkait pengelolaan sumber daya alam. Dalam sistem Islam, individu tidak boleh memprivatisasi harta benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum, seperti Sumber Daya Alam (SDA), sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Dalam hadits tersebut telah jelas bahwa negara berhak mengatur dan mengelola sumber daya alam, mulai dari eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, hingga distribusi, yang membutuhkan tenaga kerja terdidik dan terampil. Di sinilah lapangan kerja terbuka luas bagi umat.

Sistem Islam juga berupaya memangkas tingkat pengangguran melalui institusi yang adil dan amanah, yaitu negara yang bertindak sebagai raa’in atau pemimpin yang bertanggung jawab atas kesejahteraan umat. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Seorang Imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat. Ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam kisah lainnya bahkan menunjukkan bagaimana Rasulullah ﷺ tidak hanya memberikan bantuan finansial, tetapi juga memberikan nasihat dan motivasi agar umat bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Inilah gambaran kesejahteraan dalam sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh negara yang memposisikan diri sebagai raa’in. Negara akan selalu berdiri di samping umat sebagai pengurus dan pelindung, menciptakan lapangan pekerjaan yang terbuka luas di berbagai sektor yang mampu menyerap tenaga kerja. Dan semua itu mustahil akan terwujud tanpa diterapkannya Islam secara kaffah pada level negara.

Wallahu a'lam bi as-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar