
Oleh: Muzaidah
Aktivis Dakwah Muslimah
Kota Medan baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-435. Upacara megah digelar di Lapangan Merdeka, lengkap dengan pidato, seragam resmi, dan tepuk tangan para pejabat. Namun, di balik kemeriahan itu, ada satu pertanyaan besar: apakah rakyat ikut merasakan kebahagiaan? Apakah hidup mereka juga membaik, seperti klaim para penguasa?
Masyarakat Medan hari ini masih bergulat dengan berbagai persoalan: harga sembako yang mahal, pengangguran tinggi, kemacetan di mana-mana, dan panas kota yang semakin menyengat. Ironis sekali, ketika pemerintah merayakan hari jadi kota, rakyat justru berharap bantuan dan solusi konkret.
Upacara HUT Kota Medan ke-435 digelar pada Selasa, 1 Juli 2025, dipimpin langsung oleh Wali Kota Medan, Rico Tri Putra Bayu Waas. Dalam pidatonya, ia menyampaikan bahwa peringatan ini menjadi momen refleksi dan bangkit untuk membangun Kota Medan lebih hebat dan inklusif (Oke Medan, 01-07-2025).
Berdasarkan rilis BPS Kota Medan per 2 Juni 2025, inflasi year-on-year (yoy) pada Mei 2025 tercatat sebesar 0,64%, dengan IHK mencapai 107,52, didorong oleh kenaikan harga pada kelompok makanan dan minuman/restoran serta pakaian dan alas kaki. Sementara itu, tingkat pengangguran terbuka (TPT) tahun 2024 masih tinggi, yakni 8,13%, mencerminkan belum pulihnya pasar tenaga kerja pasca-pandemi.
Di sisi lain, jumlah penduduk miskin pada 2024 mencapai 7,94% atau sekitar 187,04 ribu jiwa, dengan garis kemiskinan yang meningkat menjadi Rp695.295 per kapita per bulan. Data tersebut menunjukkan, tekanan ekonomi sangat dirasakan masyarakat akibat kombinasi inflasi kebutuhan pokok, tingginya pengangguran, dan naiknya biaya hidup. (Data BPS [1] [2] [3], diakses pada 14-07-2025)
Di balik seremoni perayaan dan tema manis “Medan untuk Semua”, kenyataan berbicara sebaliknya. Jalan-jalan kota penuh lubang, warga miskin makin terpinggirkan, dan anak muda kehilangan harapan pekerjaan. Pemerintah sibuk mempercantik wajah kota demi investor, bukan demi kenyamanan rakyat.
Pembangunan yang dilakukan saat ini lebih memanjakan pasar dan pengusaha. Mall dan hotel terus bertambah, tetapi pasar rakyat dibiarkan kumuh. Pengelolaan anggaran lebih mengutamakan proyek pencitraan, bukan kesejahteraan. Inilah wajah kapitalisme yang sesungguhnya: rakyat hanya jadi objek, bukan subjek pembangunan.
Rakyat dibiarkan sibuk mencari nafkah sendiri, tanpa perlindungan ekonomi yang memadai dari negara. Pendidikan mahal, kesehatan dibisniskan, dan subsidi makin dikurangi. Bahkan dalam momentum ulang tahun kota pun, rakyat tidak mendapat manfaat langsung, kecuali polusi suara dan kemacetan.
Di sinilah terlihat jelas bahwa peran pemerintah dalam sistem kapitalis hanya sebagai pelayan kepentingan elite. Mereka mengucapkan kata “rakyat” di pidato, tapi melupakan kebutuhan dasar rakyat dalam kebijakan. Semuanya demi pertumbuhan ekonomi versi kapitalisme, bukan demi kemakmuran sejati rakyat.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa selama sistem kapitalis tetap dipertahankan, siapa pun pemimpinnya hanya akan terjebak dalam siklus kepentingan elite dan kekuasaan semu. Perayaan ulang tahun hanya menjadi simbol keberhasilan semu yang menutupi krisis riil di tengah masyarakat. Tanpa perubahan sistemik, upacara-upacara seperti ini hanya akan menjadi rutinitas tahunan yang semakin menjauhkan rakyat dari kesejahteraan hakiki.
Ini bukan hanya masalah Wali Kota Medan. Ini adalah masalah sistemik. Sistem kapitalis yang digunakan membuat semua kepala daerah bekerja dalam logika untung-rugi, bukan halal-haram. Kepemimpinan dijalankan atas dasar kepentingan politik dan bisnis, bukan amanah dari Allah ï·».
Maka, jangan heran jika rakyat tetap mengeluh dan hidup susah meski kotanya dihias. Semua ini akibat dari kapitalisme, sistem rusak yang lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi daripada pertumbuhan kualitas hidup manusia. Islam memandang pemimpin sebagai pelayan umat, bukan penguasa yang berjarak. Rasulullah ï·º bersabda:
الإِÙ…َامُ رَاعٍ Ùˆَ Ù…َسْؤُÙˆْÙ„ٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ
“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya” (HR. Bukhari).
Maka, dalam Islam, setiap kebijakan pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan, bukan pencitraan. Pada masa Kepemimpinan Islam Utsmaniyah (Turki), para khalifah memprioritaskan kesejahteraan rakyat sebelum pembangunan fisik. Sebagaimana yang pernah dilakukan Sultan Abdul Hamid II, menunda proyek besar pembangunan rel kereta jika daerah sekitarnya belum cukup terpenuhi kebutuhan pangan dan keamanannya. Ini menunjukkan prioritas Islam dalam pemenuhan kebutuhan dasar rakyat.
Islam juga menolak perayaan-perayaan mubazir seperti ulang tahun kota yang tidak memberikan manfaat langsung. Dalam syariat, pengelolaan dana publik harus fokus pada kebutuhan mendesak seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar, dan jaminan sosial, bukan untuk upacara seremonial semata. Islam hadir dengan sistem pemerintahan yang jelas dan bertanggung jawab: Sistem Islam. Dalam sistem ini, pemimpin (Khalifah) tidak hanya membuat kebijakan yang populer, tetapi juga bertanggung jawab di dunia dan akhirat atas kesejahteraan rakyat.
Sistem ekonomi Islam menempatkan kesejahteraan sebagai prioritas utama. Negara bertanggung jawab menjamin kebutuhan pokok rakyat: pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, tanpa menjadikannya komoditas bisnis. Negara Islam juga memiliki mekanisme pengawasan distribusi kekayaan agar tidak hanya berputar di kalangan elite. Sumber daya alam dikelola oleh negara untuk kepentingan umum, bukan diprivatisasi.
Anggaran negara pun tidak dihamburkan untuk seremoni. Rasulullah ï·º, dan para sahabat tidak pernah merayakan hari jadi kota atau negara dengan biaya besar. Fokus mereka adalah kerja nyata, keadilan sosial, dan pelayanan umat. Itulah kepemimpinan yang patut diteladani.
Perayaan ulang tahun Kota Medan seharusnya menjadi cermin untuk mengevaluasi apakah rakyatnya sudah bahagia dan sejahtera, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Rakyat masih ampun-ampunan dengan berbagai beban hidup, sementara para penguasa bersenang-senang di atas panggung perayaan.
Sudah waktunya kita tidak hanya menyoroti pemimpinnya, tetapi juga sistem yang melahirkan mereka. Kapitalisme terbukti gagal menyejahterakan rakyat. Islam datang bukan sekadar solusi spiritual, tetapi juga sistem yang mampu mewujudkan keadilan dan kemakmuran sejati.
Wallahualam bissawab.
0 Komentar