
Oleh: Nurjanah Fatahillah
Penulis Lepas
Kasus bullying kembali viral di media sosial. Kali ini terjadi di Depok pada Sabtu, 5 Juli 2025. Dalam video yang beredar, tampak aksi perundungan dilakukan sambil live streaming, hingga akhirnya berujung pada visum repertum akibat penganiayaan. (Liputan 6, 09-07-2025)
Yang menyedihkan, menurut keterangan Polres Metro Depok, aksi tersebut dipicu oleh rasa cemburu karena korban sempat jalan bersama pacar terduga pelaku. Alhasil, terduga pelaku menampar korban, memaksanya sujud untuk meminta maaf, bahkan menginjak lehernya. Lebih miris lagi, semua itu disiarkan langsung oleh salah satu teman mereka tanpa empati sedikit pun.
Belum reda keterkejutan kita terhadap kasus tersebut, publik kembali digegerkan oleh perundungan yang menimpa seorang anak kelas dua SD di Riau. Korban meninggal dunia pada 26 Mei 2025 akibat luka di usus yang pecah karena dipukuli dan ditendang oleh empat teman sekolahnya pada 14 Mei.
Karena para pelaku masih di bawah umur (di bawah 12 tahun), polisi mengembalikan mereka kepada orang tua masing-masing sesuai dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. (Tempo, 08-06-2025)
Kedua kasus di atas hanyalah sebagian kecil dari ribuan kasus bullying yang terjadi di sekitar kita. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, sepanjang 2025 saja terdapat 2.621 laporan bullying, dan 620 kasus terjadi dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) hingga 30 Maret 2025. (IDNtimes, 22-04-2025)
JPPI (Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia) juga mencatat lonjakan kekerasan di lingkungan pendidikan. Dari 91 kasus pada 2020 meningkat menjadi 573 kasus pada 2024. Angka ini diperkirakan jauh dari realitas karena masih banyak korban yang enggan melapor akibat takut dan malu.
Masalah Serius yang Mengintai Masa Depan Generasi
Data tersebut menunjukkan bahwa bullying masih menjadi persoalan serius, terutama di lingkungan pendidikan. Baik dalam bentuk fisik maupun kekerasan digital seperti komentar negatif, hinaan, bahkan doksing (penyebaran informasi pribadi). Yang lebih mencemaskan, pelakunya bukan hanya remaja, tetapi anak-anak SD pun sudah menjadi pelaku kekerasan.
Tanpa penanganan yang tepat, perundungan akan terus mengancam masa depan generasi. Pelakunya bukan kriminal dewasa, tapi anak-anak yang seharusnya menjadi aset bangsa. Mereka justru menjadi agen kerusakan, bukan agen perubahan.
Pemerintah sebenarnya telah menerbitkan sejumlah regulasi seperti UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak dan Permendikbud No. 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Berbagai program juga telah digulirkan seperti Sekolah Ramah Anak, Kota Layak Anak, Pendidikan Karakter, Revolusi Mental, dan Kurikulum Merdeka. Namun sayangnya, semua itu seolah tak punya daya magis untuk mengentaskan perundungan.
Salah Diagnosa, Salah Solusi
Apa sebenarnya yang salah? Program Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) telah diwajibkan, namun kasus perundungan tak juga surut. Ini menunjukkan bahwa permasalahan utamanya ada pada sistemnya, kesalahan diagnosis yang menganggap sistem sekuler-kapitalistik sebagai solusi terbaik, padahal justru ia biang kerok kerusakan generasi.
Sistem ini menjauhkan manusia dari aturan Penciptanya. Kurikulum hanya menyentuh aspek kognitif dan ritual, tak menyentuh akidah secara utuh. Agama dibatasi sebatas dua jam pelajaran per minggu dan sebatas ibadah personal. Guru tidak didorong menjadi pendidik akhlak. Akibatnya, generasi muda merasa bebas berbuat apa pun. Akhirat tak lagi menjadi orientasi hidup.
Ditambah lagi, sanksi hukum yang membingungkan. Tak hanya tidak menimbulkan efek jera, tapi juga kehilangan nilai edukatif. Hukuman guru terhadap siswa misalnya, bisa berbalik menjadi tuduhan pelanggaran UU Perlindungan Anak. Namun di saat yang sama, pelaku perundungan dibiarkan tanpa hukuman tegas karena dianggap masih anak-anak, padahal mereka telah melakukan kejahatan, bahkan menyebabkan kematian.
Solusi Islam, Membentuk Generasi Bertakwa Sejak Dini
Islam sebagai sistem hidup yang paripurna memiliki solusi yang sistematis dan aplikatif. Islam menjadikan balig sebagai standar tanggung jawab hukum, bukan sekadar umur. Islam juga menekankan pendidikan yang menyeluruh sejak dini, dari rumah, sekolah, masyarakat, hingga negara.
Islam memulai pendidikan dari akidah. Ketaatan kepada Allah menjadi dasar dalam setiap tindakan. Individu akan merasa terus diawasi Allah 24 jam. Segala perintah dan larangan dipahami sebagai petunjuk hidup, bukan sekadar hafalan kosong. Inilah pondasi lahirnya generasi cerdas, tangguh, dan bertakwa.
Rasulullah ﷺ bersabda:
لاَ تَحَاسَدُوْا ، وَلاَ تَنَاجَشُوْا ، وَلاَ تَبَاغَضُوْا ، وَلاَ تَدَابَرُوْا ، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ ، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا ، اَلْـمُسْلِمُ أَخُوْ الْـمُسْلِمِ ، لاَ يَظْلِمُهُ ، وَلاَ يَخْذُلُهُ ، وَلاَ يَحْقِرُهُ ، اَلتَّقْوَى هٰهُنَا ، وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْـمُسْلِمَ ، كُلُّ الْـمُسْلِمِ عَلَى الْـمُسْلِمِ حَرَامٌ ، دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Kalian jangan saling mendengki, jangan saling najasy, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi! Janganlah sebagian kalian membeli barang yang sedang ditawar orang lain, dan hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allâh yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka ia tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, dan menghinakannya. Takwa itu disini (beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali). Cukuplah keburukan bagi seseorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim. Setiap orang Muslim, haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya atas muslim lainnya.” (HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa ajaran Islam bukan sekadar untuk dihafal, tetapi harus diyakini dan diamalkan dengan landasan iman yang benar.
Negara Berperan Mewujudkan Lingkungan Bebas Bully
Negara dalam Islam tidak bersifat netral. Ia menjalankan peran aktif dan sistemik untuk mewujudkan lingkungan yang sehat. Negara wajib mengatur pendidikan berbasis akidah Islam, mengawasi media dari konten merusak, dan memberikan sanksi tegas sesuai syariat bagi pelanggar.
Sistem sekuler-kapitalistik yang mendominasi hari ini adalah penyebab utama merebaknya perundungan dan berbagai kerusakan sosial lainnya. Tanpa perubahan sistem menuju penerapan Islam secara kaffah, semua solusi yang ada hanya akan menjadi “terlalu indah untuk jadi kenyataan.”
Apalagi jika sanksi tak menimbulkan efek jera dan pendidikan tak menyentuh ranah keimanan serta akhirat. Ini akan memperparah krisis mental generasi. Sebab, manusia bertindak sesuai dengan apa yang dipahaminya, sementara pemahaman keimanan tidak pernah benar-benar menyentuh relung hati mereka.
Wallāhu a‘lam bish-shawāb.
0 Komentar