SKANDAL BERAS OPLOSAN DAN JERAT KONGLOMERASI: RAKYAT SELALU JADI KORBAN


Oleh: Abu Ghazi
Pemerhati Kebijakan Publik

Publik kembali digemparkan oleh kabar yang mencederai rasa keadilan: dugaan pengoplosan beras skala besar yang melibatkan berbagai merek terkenal. Dari laporan Bareskrim, setidaknya 212 merek beras premium sedang diselidiki karena diduga mencampurkan beras medium dan menjualnya dengan harga tinggi. Sebanyak 25 perusahaan telah diperiksa, termasuk pemain besar seperti Wilmar, Japfa, FS Tjipinang Jaya, hingga BUMD milik daerah. Fakta ini bukan hanya mencoreng etika bisnis, tetapi sekaligus membuka borok lama tentang lemahnya sistem pengawasan distribusi pangan nasional yang tak kunjung dibenahi secara serius. (Detik, 16-07-2025)

Di sisi lain, nama Wilmar juga muncul dalam daftar hitam “Klasemen Liga Korupsi Indonesia” edisi Juni 2025. Dalam data yang dipublikasikan Kompas, kasus dugaan korupsi perusahaan ini mencapai nilai fantastis: Rp11,8 triliun. Angka yang tak hanya mencengangkan secara nominal, tetapi juga menunjukkan betapa sistem keuangan dan tata kelola negara telah dibajak oleh segelintir elite yang lihai bermain di dua kaki, sebagai pelaku bisnis raksasa sekaligus aktor di balik kebijakan. Bila kasus korupsi sebesar itu terus terjadi sementara pengoplosan bahan pokok berjalan lancar di pasar tanpa deteksi dini dari pemerintah, patut kita pertanyakan: sejauh mana negara ini benar-benar berpihak pada rakyat?


Negara Absen, Hukum Melemah Akibat Kapitalisme

Dalam skema seperti ini, rakyat selalu menjadi pihak yang paling dirugikan. Saat korupsi merajalela di sektor energi, pangan, dan pengadaan, maka biaya hidup naik, subsidi menyusut, dan kualitas layanan publik menurun. Ketika beras yang dikira premium ternyata hasil campuran (oplosan), maka bukan hanya kerugian materi yang diderita masyarakat, tapi juga ancaman pada kesehatan dan kepercayaan konsumen. Ironisnya, pengawasan yang dilakukan oleh instansi terkait seringkali bersifat reaktif, baru bergerak setelah skandal meledak dan tekanan publik membesar. Padahal, pengawasan semestinya preventif, terencana, dan sistematis.

Maraknya kasus ini tak bisa dilepaskan dari budaya impunitas (kebebasan) yang tumbuh subur di tengah sistem kapitalistik yang berorientasi pada keuntungan semata. Korporasi besar memiliki kekuatan untuk melobi, memengaruhi kebijakan, bahkan menghindari sanksi. Ketika perusahaan bisa memanipulasi standar mutu pangan dan tetap melenggang tanpa hukuman berat, itu pertanda hukum tak lagi berpihak pada rakyat, tetapi menjadi alat tawar-menawar elite. Sementara rakyat dipaksa tunduk pada harga mahal dan mutu rendah, para pelaku pelanggaran berjubah korporasi justru mengeruk laba dari kebohongan sistematis itu.


Islam Menjawab dengan Sistem yang Adil dan Amanah

Islam memandang kejujuran dalam perdagangan sebagai fondasi utama keadilan ekonomi. Melalui riwayat Tirmidzi (3/515 no. 1209) Rasulullah ﷺ bersabda bahwa pedagang yang jujur dan amanah kelak akan dikumpulkan bersama para nabi dan syuhada. Dalam Al-Qur’an, Allah mengecam keras para pelaku kecurangan takaran dan timbangan. Bahkan kaum Madyan yang melakukan praktik serupa di masa lalu dibinasakan karena merusak sistem ekonomi dan kepercayaan sosial. Nilai-nilai ini semestinya menjadi dasar dalam membangun sistem distribusi pangan dan pengelolaan kekayaan negara, bukan sekadar menjadi kutipan moral di ruang ceramah.

Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab penuh menjamin keadilan ekonomi, termasuk memastikan distribusi pangan aman dan berkualitas. Pengawasan tidak diserahkan kepada pasar bebas atau segelintir elite birokrasi, tetapi dijalankan dengan mekanisme syar’i, termasuk keterlibatan qadhi hisbah, lembaga pengawas pasar independen yang memiliki wewenang mengoreksi pelanggaran tanpa intervensi politik atau korporasi. Sistem ini menempatkan maslahat umat sebagai tujuan utama, bukan sekadar menjaga pertumbuhan ekonomi di atas kertas sambil membiarkan ketimpangan merajalela.


Saatnya Umat Bangkit Menolak Budaya Tukang Tipu

Sudah saatnya umat ini bangkit dari ketertipuan yang sistemik. Kita tidak bisa terus berharap pada penegakan hukum yang lambat, pengawasan yang setengah hati, dan politisi yang lebih sibuk menjaga citra daripada menjaga integritas. Kaum intelektual muslim, para pendidik, hingga remaja hari ini harus didorong untuk memiliki keberanian moral, tidak hanya melawan korupsi, tetapi juga menggugat sistem yang melahirkannya. Rakyat tidak boleh hanya menjadi konsumen pasif, tetapi harus tumbuh menjadi pelaku perubahan yang sadar, kritis, dan berani menuntut sistem alternatif yang benar-benar menjamin keadilan.

Kasus beras oplosan dan korupsi triliunan rupiah ini adalah peringatan keras. Ia mengingatkan kita bahwa selama sistem yang rusak tetap dipertahankan, maka para penipu akan terus tumbuh subur, dan rakyat akan terus diperas dalam diam. Sudah cukup air mata tumpah karena ketidakadilan. Kini waktunya umat ini menuntut sistem yang berpihak sepenuhnya pada kebenaran dan keberkahan. Islam, dengan syariah yang kaffah dan sistem Khilafah-nya, bukan sekadar wacana ideologis, tetapi solusi nyata untuk mengakhiri permainan jahat para oligarki dan membuka jalan bagi keadilan yang sesungguhnya.

Wallahu a'lam bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar