
Oleh: Muhar
Jurnalis
Pernyataan mengejutkan datang dari Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Dalam siaran resmi melalui kanal YouTube Gedung Putih (White House), Rabu (16/7/2025), Trump menyatakan dengan riang, “Indonesia akan membayar tarif 19 persen, dan kami tidak akan membayar apa-apa. Saya pikir itu kesepakatan bagus untuk kedua belah pihak.”
Trump juga menggunakan trik memuji Presiden RI Prabowo Subianto sebagai pemimpin yang “hebat, kuat, populer, dan cerdas”.
“Kami telah membuat kesepakatan dengan Indonesia. Saya berbicara dengan presidennya yang luar biasa, sangat populer, kuat, cerdas. Dan kami menyepakati perjanjian, kami mendapatkan akses penuh ke Indonesia, segalanya. Seperti yang Anda tahu, Indonesia sangat kuat dalam hal tembaga, dan sekarang kami punya akses penuh ke semua itu,” kata Trump sumringah.
Namun di balik pujian tersebut, terlihat jelas kenyataan pahit yang tak bisa ditutup-tutupi, yakni kesepakatan dagang yang menunjukkan ketimpangan mencolok. Produk Indonesia dikenai tarif impor tinggi (sebesar 19 persen) saat masuk ke pasar AS, sementara produk-produk AS bebas bea (0 persen) saat masuk ke pasar Indonesia. Ditambah kesepakatan akses penuh untuk bisa mendapatkan sumber daya alam (SDA) tembaga yang sebenarnya adalah milik umat, bukan milik Presiden Peabowo maupun milik negara.
Jelas, ini bukan sekadar transaksi yang tidak adil. Ini adalah cermin dari neo-imperialisme atau penjajahan gaya baru yang membelit negara berkembang melalui jerat ekonomi dan diplomasi timpang.
HTI dan Neo-Imperialisme
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), jauh sebelum status Badan Hukum Perkumpulan (BHP)-nya dicabut pada 19 Juli 2017 oleh rezim Jokowi, telah sejak lama memperingatkan umat akan bahaya neo-imperialisme ini. HTI konsisten menyuarakan bahwa imperialisme dan kolonialisme modern tidak lagi memakai senjata dan tentara, melainkan memakai kekuatan regulasi, perjanjian internasional, dan dominasi ekonomi.
Kini, peringatan itu terbukti kembali. Kesepakatan tarif impor antara Indonesia dan AS menjadi bukti nyata bahwa kedaulatan ekonomi negeri ini telah digadaikan. Pasar domestik dibuka lebar untuk produk asing, sementara produk lokal dipersulit masuk ke pasar luar.
HTI juga telah lama menegaskan bahwa sistem kapitalisme global adalah akar dari ketimpangan dan ketundukan ini. HTI kerapkali menyuarakan, selama sistem ini tetap menjadi pijakan negeri-negeri Muslim, selama itulah penjajahan dalam rupa baru akan terus terjadi.
0 Komentar