
Oleh: Darul Al Fatih
Pengamat Kebijakan Publik
Tahun 2025 perlahan berakhir. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kita menyambut pergantian waktu dengan ritual yang hampir selalu sama: hitungan mundur, pesta, dan harapan-harapan baru yang menyertai perubahan angka di kalender. Namun, di balik segala keramaian itu, muncul pertanyaan yang harus kita renungkan: Apakah kita benar-benar belajar dari segala yang telah kita alami sepanjang tahun ini? Atau, kita sekadar beralih dari satu angka ke angka berikutnya tanpa menyentuh inti persoalan yang sesungguhnya?
Tahun 2025 bukan hanya soal perubahan waktu, tetapi juga tentang peringatan yang harus kita cermati. Setiap peristiwa, baik itu bencana alam yang melanda, korupsi yang menggerogoti, atau kerusakan moral yang kian merajalela, seharusnya menjadi panggilan untuk kita melakukan refleksi mendalam.
2025: Tahun Teguran dari Alam
Sepanjang tahun ini, kita kembali dikejutkan dengan bencana alam yang datang silih berganti, bencana banjir, longsor, kebakaran hutan, dan fenomena alam lainnya. Banyak yang menyebutnya sebagai musibah alam yang tak terhindarkan. Namun, apakah kita sudah cukup jujur untuk mengakui bahwa sebagian besar dari bencana ini adalah akibat ulah kita sendiri? Penggundulan hutan, alih fungsi lahan, dan eksploitasi sumber daya alam yang tak terkendali telah merusak keseimbangan alam.
Selama dekade terakhir, puluhan juta hektar hutan telah hilang demi kepentingan bisnis besar, tambang, perkebunan sawit, dan lain-lain. Dampaknya bukan hanya terasa oleh mereka yang terlibat langsung dalam eksploitasi, tetapi juga oleh rakyat kecil yang sering menjadi korban pertama saat bencana datang. Alam yang mereka hancurkan kini memaksa kita untuk menanggung akibatnya, sementara masyarakat tak berdaya dalam menghadapi dampak yang ditimbulkan.
Allah ﷻ mengingatkan kita melalui firman-Nya:
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ
"Telah nyata kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan manusia. (Dengan itu) Allah berkehendak agar manusia merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, supaya mereka kembali (ke jalan-Nya)." (QS. ar-Rum [30]: 41)
Bencana-bencana yang terjadi adalah sebuah teguran untuk kita semua, bukan sekadar ujian, melainkan peringatan agar kita kembali kepada hukum dan aturan-Nya.
Di Balik Bencana, Ada Ketidakadilan
Namun, bencana alam bukanlah satu-satunya bentuk penderitaan yang kita hadapi di 2025. Ketidakadilan struktural semakin terbuka dengan jelas. Ketika rakyat kehilangan rumah dan mata pencaharian, pengambil kebijakan (mereka yang seharusnya memikul amanah) sering kali tidak merasakan dampak yang sama. Kekuasaan yang seharusnya dijalankan untuk kemaslahatan rakyat, justru sering kali dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir orang. Mereka yang memiliki kuasa mengeksploitasi alam demi keuntungan pribadi, sementara rakyat kecil sering terpinggirkan dan dikorbankan.
Bencana yang terjadi, seperti ribuan korban yang jatuh di Sumatra, adalah salah satu contoh nyata betapa kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat dapat memperburuk kondisi. Dalam situasi ini, siapa yang sebenarnya diuntungkan? Sudah saatnya kita melihat kenyataan ini dengan mata yang jernih.
Kapitalisme-Sekuler: Akar Krisis yang Tak Kunjung Selesai
Kerusakan yang terus terjadi tidak hanya disebabkan oleh kelalaian dalam mengelola alam, tetapi juga oleh ideologi yang mendasari sistem yang ada, yaitu kapitalisme-sekuler. Sistem ini memisahkan agama dari kehidupan publik, menjadikan hukum-hukum Allah sebagai sesuatu yang terpinggirkan dalam setiap pengambilan kebijakan.
Allah ﷻ telah memperingatkan kita tentang konsekuensi dari sikap ini:
وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِكۡرِي فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحۡشُرُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ أَعۡمَىٰ
"Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), maka sungguh bagi dia kehidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkan dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta." (QS. Thaha [20]: 124)
Kehidupan yang sempit kini semakin nyata, kesenjangan sosial, ketimpangan ekonomi, dan hilangnya kepercayaan publik. Ketidakadilan ini hanya akan terus berlanjut jika kita tidak berani mengubah sistem yang ada.
Korupsi: Luka Terbuka Bangsa di Tahun 2025
Korupsi, sebuah luka terbuka yang tak kunjung sembuh, semakin merajalela di 2025. Ratusan triliun rupiah yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat justru lenyap ke dalam kantong segelintir elit. Sementara itu, rakyat semakin dibebani dengan kesulitan hidup yang kian berat. Data yang diungkap Jernih.co mengatakan kerugian negara akibat korupsi mega menembus Rp 300 triliun. Sebuah jumlah yang tercatat rekor sepanjang masa dan ditemukan di tahun 2025.
Namun, lebih menyedihkan lagi adalah fakta bahwa penegakan hukum seringkali hanya ada di atas kertas. Penegak hukum yang seharusnya menegakkan keadilan, sering kali lebih memilih untuk melindungi para elit berkuasa. Rasulullah ﷺ telah memperingatkan kita tentang hal ini:
الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ: وَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ، وَاثْنَانِ فِي النَّارِ؛ فَأَمَّا الَّذِي فِي الْجَنَّةِ فَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ، وَأَمَّا الَّذِي فِي النَّارِ فَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَجَارَ فِي الْحُكْمِ، وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ
"Para hakim itu ada tiga: satu di surga dan dua di neraka. Hakim yang mengetahui kebenaran, lalu memutuskan hukum dengan kebenaran itu, ia di surga. Hakim yang mengetahui kebenaran, tetapi menyimpang dalam keputusannya, ia di neraka. Hakim yang memutuskan perkara tanpa ilmu, ia pun di neraka." (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Generasi Muda dan Krisis Moral
Refleksi 2025 tidak akan lengkap tanpa melihat kondisi generasi muda kita. Maraknya perjudian online, kekerasan, dan kriminalitas yang meningkat menunjukkan krisis moral yang sedang terjadi. Data PPATK mencatat perputaran dana judi mencapai Rp 155 triliun sepanjang tahun ini, melibatkan remaja dan anak-anak. Ini bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi masalah moral yang harus kita atasi bersama.
Allah ﷻ telah mengingatkan kita:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٌ مِّنۡ عَمَلِ ٱلَّشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan." (QS. al-Maidah [5]: 90)
Menyambut 2026: Saatnya Berubah, Bukan Sekadar Berharap
Menghadapi 2026, kita tidak cukup memulai hanya dengan harapan kosong atau optimisme semata. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk melakukan perubahan mendasar. Kita harus memiliki tekad untuk memperbaiki sistem yang telah terbukti gagal dan membawa kerusakan. Demokrasi-sekuler telah mengarah pada ketidakadilan yang berlarut-larut, dan hanya dengan kembali kepada hukum Allah kita dapat menemukan solusi sejati.
أَفَحُكۡمَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ يَبۡغُونَۚ وَمَنۡ أَحۡسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكۡمًا لِّقَوۡمٍ يُوقِنُونَ
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi kaum yang yakin?" (QS. al-Maidah [5]: 50)
Penutup: Muhasabah Menuju Perubahan Hakiki
Refleksi di akhir 2025 seharusnya membawa kita pada kesadaran bahwa krisis yang kita hadapi bukanlah takdir yang tak bisa diubah, melainkan akibat pilihan sistemik yang salah. Kini saatnya kita meneguhkan tekad kolektif untuk kembali kepada hukum-hukum Allah dalam mengatur kehidupan kita. Hukum Allah bukan hanya sekadar simbol, melainkan sistem yang menjamin keadilan, keberkahan, dan perlindungan bagi seluruh umat. Tanpa perubahan mendasar, penderitaan rakyat akan terus berulang, meski tahun terus berganti.

0 Komentar