KESEPAKATAN DAGANG INDONESIA-AS: ANCAMAN TERSEMBUNYI DI BALIK TARIF RENDAH


Oleh: Diaz
Lulusan Akademi Penulis Ideologis (API)

Dalam waktu dekat, Indonesia dan Amerika Serikat akan mulai menerapkan skema tarif baru dalam perdagangan bilateral. Presiden AS, Donald Trump, mengumumkan bahwa produk-produk Indonesia yang masuk ke pasar AS kini akan dikenakan tarif sebesar 19%, penurunan signifikan dari tarif sebelumnya yang mencapai 32%. Sebagai imbal balik, Indonesia memberikan akses bebas tarif untuk berbagai produk Amerika, termasuk energi, produk pertanian, dan pesawat Boeing.

Pada pandangan pertama, kesepakatan ini dapat terlihat sebagai kemenangan diplomasi ekonomi bagi Indonesia. Dengan tarif ekspor yang lebih rendah, Indonesia memperoleh peluang yang lebih besar untuk bersaing di pasar AS, terlebih dengan tarif yang lebih menguntungkan dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya seperti Vietnam (20%) dan Thailand (36%). Namun, di balik penurunan tarif tersebut, terdapat persoalan yang jauh lebih rumit yang berpotensi mengancam stabilitas ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.


Ketergantungan Baru Bernama Impor

Meski Indonesia mendapatkan keuntungan dalam hal ekspor dengan tarif yang lebih rendah, kesepakatan ini juga membuka pintu bagi impor produk-produk strategis dari Amerika yang dapat mengancam keseimbangan ekonomi domestik. Energi senilai USD 15 miliar dan produk pertanian senilai USD 4,5 miliar diperkirakan akan masuk ke pasar Indonesia dalam waktu dekat. Ironisnya, ini justru menciptakan ketergantungan yang lebih besar terhadap komoditas asing yang sebelumnya bisa dikembangkan secara lokal.

Ketergantungan ini tidak hanya mempengaruhi neraca perdagangan, yang berisiko semakin defisit, tetapi juga mencerminkan tantangan serius dalam menjaga kedaulatan ekonomi bangsa. Industri dalam negeri yang masih bergantung pada bahan baku dan teknologi asing akan semakin kesulitan bersaing di pasar global. Jika lonjakan impor ini tidak dikelola dengan bijak, maka bisa jadi inisiatif pengembangan industri nasional akan terhenti, yang pada gilirannya menghambat cita-cita kemandirian ekonomi Indonesia.

Lebih lanjut, fokus perhatian juga harus diberikan kepada komoditas-komoditas strategis seperti tembaga dan nikel. Produk-produk ini bukan hanya sekadar komoditas ekspor, tetapi juga merupakan bahan baku vital untuk pembangunan industri teknologi tinggi. Jika Indonesia hanya menjadi pengekspor bahan mentah tanpa ada upaya untuk mengolahnya menjadi produk bernilai tambah, maka Indonesia hanya akan menjadi negara pemasok bahan mentah bagi negara maju, tanpa memperoleh keuntungan yang signifikan dari sisi nilai tambah.


Islam adalah Jalan Menuju Kemandirian Sejati

Dalam menghadapi tantangan besar ini, Islam memberikan pedoman yang jelas dalam aspek ekonomi, termasuk dalam hal perdagangan internasional. Untuk menghadapi dominasi ekonomi global yang semakin menguat, negeri ini membutuhkan sistem yang lebih komprehensif dan terstruktur, bukan hanya solusi jangka pendek yang tidak mengatasi masalah secara mendasar. Berikut, adalah tiga prinsip utama dalam ekonomi Islam yang dapat diterapkan untuk mencapai kemandirian ekonomi yang sejati:
  • Menjaga Kemandirian Ekonomi: Islam mengajarkan pentingnya kemandirian melalui kerja keras dan pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal.
Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ مِنْكُمْ طَعَامًا أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ عَمَلِ يَدَيْهِ
 “Tidaklah seseorang di antara kamu mengkonsumsi makanan yang lebih dicintai Allah daripada yang diperoleh dari hasil usaha tangannya sendiri.” (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, IV: 131, No. 17.220).

Pemerintah Indonesia seharusnya lebih fokus pada pengembangan sektor manufaktur dan hilirisasi, sehingga ekspor Indonesia tidak hanya terbatas pada bahan mentah, tetapi juga produk-produk bernilai tambah yang lebih tinggi. Inilah bentuk nyata dari kemandirian ekonomi, mengubah posisi Indonesia dari sekadar ‘pasar’ menjadi ‘produsen’ yang memiliki daya saing global.
  • Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan: Al-Qur’an menegaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 60 bahwa makan dan minumlah dari nikmat Allah dan jangan membuat kerusakan. Islam mengenalkan konsep istithmar (investasi produktif) yang tidak hanya mengejar keuntungan jangka pendek, tetapi juga menjaga kelestarian alam demi kemaslahatan bersama.
كُلُوْا وَاشْرَبُوْا مِنْ رِّزْقِ اللّٰهِ وَلَا تَعْثَوْا فِى الْاَرْضِ مُفْسِدِيْنَ
Makan dan minumlah dari rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu melakukan kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan.” (QS. Al-Baqarah: 60)

Rasulullah ﷺ juga berpesan:

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Dalam konteks ini, negara wajib mengelola ekspor komoditas strategis dengan hati-hati dan bijaksana. Kebijakan seperti sistem kuota, kewajiban pasokan domestik, atau larangan ekspor bahan mentah dapat diterapkan untuk memastikan bahwa pengelolaan kekayaan alam Indonesia dapat mendukung pengembangan industri dalam negeri dan kesejahteraan masyarakatnya. Langkah ini akan melindungi masa depan ekonomi nasional dan menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak.
  • Keadilan dalam Perdagangan: Islam mengajarkan prinsip adl (keadilan) dalam seluruh transaksi ekonomi, termasuk dalam perdagangan internasional. Kesepakatan dagang seharusnya tidak hanya menguntungkan salah satu pihak, melainkan harus memperhatikan keseimbangan kepentingan antara kedua negara yang terlibat.
Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ﷻ:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (QS. An-Nisa: 29)

Pemerintah harus memastikan bahwa setiap perjanjian perdagangan yang dilakukan memberikan manfaat yang adil dan merata, tanpa ada pengorbanan terhadap kepentingan jangka panjang demi keuntungan sesaat yang tampak menggiurkan.


Khilafah, Sistem yang Menjamin Kedaulatan Ekonomi

Islam bukan hanya sebuah agama yang mengatur soal ibadah, tetapi juga sebuah sistem hidup yang menyeluruh (kaffah), termasuk dalam bidang ekonomi dan perdagangan internasional. Kemandirian ekonomi sejati hanya bisa dicapai ketika bangsa ini menerapkan sistem Islam secara utuh dalam bingkai Sistem Pemerintahan Islam (Khilafah). Khilafah akan menjaga kekayaan alam, melindungi industri strategis, serta memastikan bahwa perdagangan luar negeri dilakukan dengan adil tanpa tunduk pada kekuatan ekonomi asing yang mendominasi.

Allah ﷻ telah memperingatkan:

وَلَنْ يَّجْعَلَ اللّٰهُ لِلْكٰفِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا
Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang Mukmin.” (QS. An-Nisa: 141)

Selama umat Islam hidup dalam sistem kapitalisme global dan tunduk pada perjanjian dagang yang tidak menguntungkan, kemandirian ekonomi hanya akan tetap menjadi impian. Oleh karena itu, saatnya untuk kembali kepada sistem Islam yang terbukti mampu menjaga kedaulatan ekonomi, menyejahterakan rakyat, dan menjadikan umat Islam sebagai pemimpin dunia.


Khatimah

Meskipun tarif ekspor yang rendah terdengar menggembirakan, ketergantungan impor yang meningkat justru menjadi ancaman tersembunyi bagi masa depan ekonomi Indonesia. Dengan mengembalikan pengelolaan ekonomi kepada prinsip-prinsip Islam, Indonesia tidak hanya dapat berdagang dengan martabat, tetapi juga menegakkan kedaulatan ekonomi sejati. Semua ini hanya bisa terwujud jika Islam diterapkan secara kaffah dalam naungan sistem Khilafah, yang menjamin keadilan dan kemaslahatan bagi seluruh umat.

Wallahu a'lam bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar