
Oleh: Diaz
Lulusan Akademi Penulis Ideologis (API)
Presiden Amerika Serikat (AS) saat ini, Donald Trump, menyampaikan apresiasi dan pujian terhadap Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dalam sebuah pernyataan publik baru-baru ini. “Kami telah membuat kesepakatan dengan Indonesia. Saya berbicara dengan presidennya yang luar biasa, sangat populer, kuat, cerdas,” ungkap Trump.
Trump menyampaikan pujian itu setelah tercapai kesepakatan dagang yang memungkinkan AS mengekspor barang ke Indonesia tanpa dikenakan tarif. “Kami tak akan membayar tarif apapun, mereka memberi kami akses yang sebelumnya tidak pernah kami miliki. Itu mungkin bagian terpenting dari kesepakatan ini,” tambahnya. Kesepakatan ini mungkin terlihat sederhana di permukaan, tapi kenyataannya jauh lebih rumit daripada yang dibayangkan.
Di satu sisi, tarif ekspor Indonesia ke AS menurun dari 32% menjadi 19%, memberikan peluang baru untuk bersaing di pasar AS, yang tentu saja menyenangkan bagi sebagian pihak. Namun, sebagai imbal balik, Indonesia harus membuka keran impor dengan biaya 0% pada barang-barang strategis dari Amerika: energi senilai USD 15 miliar, produk pertanian USD 4,5 miliar, dan 50 pesawat Boeing. (CNN Indonesia, 17-07-2025)
Pusaran Ekonomi Global yang Sebabkan Ketergantungan Baru
Di balik angka-angka yang tampak menguntungkan, kesepakatan ini menjerumuskan pada ketergantungan ekonomi yang lebih dalam terhadap negara-negara besar. Sementara ekspor Indonesia bisa lebih kompetitif, lonjakan impor ini menambah ketergantungan terhadap produk-produk asing. Bahkan produk-produk strategis yang sebelumnya bisa dikembangkan secara lokal (seperti energi dan pertanian) sekarang terancam digantikan oleh impor massal.
Dari perspektif kapitalisme global, kesepakatan ini jelas menunjukkan bagaimana negara-negara besar seperti AS menguasai pasar negara berkembang melalui mekanisme perdagangan dan hutang luar negeri, bukan melalui kekuatan militer. Negara-negara seperti Indonesia, meskipun tampak memperoleh keuntungan dalam jangka pendek, justru semakin terjebak dalam ketergantungan yang memiskinkan industri dalam negeri dan merusak kedaulatan ekonomi.
Ekonomi Islam Wujudkan Kemandirian Sejati
Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme global, Islam menawarkan solusi yang jauh lebih adil dan berdaulat, dengan prinsip yang melindungi kepentingan negara dan rakyatnya. Dalam sistem Islam, perdagangan bukan sekadar alat untuk mengejar keuntungan, tetapi sarana untuk memastikan keadilan, kemaslahatan umat, dan kedaulatan ekonomi negara. Allah ﷻ berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (QS. An-Nisa: 29)
Islam menekankan pentingnya keadilan dalam perdagangan, melarang praktik perdagangan yang timpang dan memastikan kekayaan alam seperti energi dan bahan tambang dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk kepentingan asing. Bahkan, dalam hadits Rasulullah ﷺ menyampaikan:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Hadis tersebut menyebutkan bahwa manusia, baik Muslim maupun non-Muslim, memiliki hak bersama atas tiga hal: air, padang rumput, dan api, yang berarti ketiganya tidak boleh dimiliki secara pribadi. Imam as-Sarakhsyi dalam kitab al-Mabsûth menjelaskan bahwa perserikatan ini mencakup air yang mengalir di lembah maupun sungai besar seperti Jihun, Sihun, Eufrat, Tigris, dan Nil. Air tersebut dapat dimanfaatkan oleh siapa pun sebagaimana orang memanfaatkan cahaya matahari dan udara, tanpa membedakan antara Muslim dan non-Muslim.
Menghadapi Neoimperialisme dengan Ekonomi Islam
Ketika kita berbicara tentang pengelolaan sumber daya alam seperti energi dan pertanian, Islam mengajarkan bahwa negara harus mengelola kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk keuntungan segelintir pihak asing. Dengan kata lain, Indonesia harus berfokus pada hilirisasi industri, mengubah bahan mentah menjadi produk bernilai tambah yang dapat menguntungkan bangsa, bukan hanya menjadi negara pemasok bahan mentah untuk negara maju. Dalam Islam negara akan memastikan bahwa komoditas vital tidak jatuh ke tangan asing, yang hanya akan memperburuk ketergantungan ekonomi.
Di sisi lain, jika Indonesia terus bergantung pada sistem kapitalisme global, maka negara ini akan terus menjadi pasar bagi produk-produk asing. Lihat saja bagaimana AS menguasai pasar energi dunia, sementara Indonesia yang kaya sumber daya energi justru mengimpor energi maupun barang dalam jumlah besar. Kapitalisme telah sukses mengutamakan kepentingan negara kuat, dan negara berkembang seperti Indonesia hanya akan menjadi konsumen, bukan produsen.
HTI Menyerukan Solusi Islam untuk Ekonomi Berdaulat
Lalin AS, Lain juga HTI. Sejak dahulu, di tengah arus dominasi kapitalisme global, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengambil posisi berbeda dengan konsisten mengedukasi umat tentang sistem ekonomi Islam yang menjunjung keadilan dan kedaulatan sejati. HTI hadir sebagai penyeimbang narasi, menawarkan alternatif ideologis yang bertolak belakang dengan arah kebijakan ekonomi kapitalistik yang diusung AS.
HTI dengan jelas menentang kebijakan liberalisasi yang mendukung kepentingan asing, seperti UU Migas dan UU Penanaman Modal yang seringkali merugikan Indonesia. HTI terus menyerukan penerapan sistem Islam di bawah naungan Khilafah, yang telah terbukti sejak 13 abad lamanya mewujudkan pengelolaan sumber daya alam dan kemandirian ekonomi negara untuk kesejahteraan rakyat, bukan justru asing.
Namun begitu, HTI sering kali dihadapkan pada intimidasi rezim karena dianggap sebagai ancaman terhadap sistem kapitalisme yang sedang berkembang. Sebagai bentuk respons pemerintah terhadap HTI yang sering membongkar niat jahat penguasa dan menyadarkan masyarakat dari dampak buruk kebijakan penguasa zalim, pada puncaknya, rezim Joko Widodo mencabut badan hukum HTI pada Rabu, 19 Juli 2017. Tindakan ini bukan sekadar pencabutan badan hukum perkumpulan (BHP) HTI, tetapi bukti bagaimana sistem demokrasi sekuler tunduk pada tekanan kapitalisme lokal maupun global.
Islam Menjamin Keadilan dan Kedaulatan Ekonomi
Berbeda dengan demokrasi sekuler yang cenderung menguntungkan pihak yang lebih kuat, HTI selalu mengingatkan umat Islam, bahwa Islam menjamin keadilan dalam transaksi ekonomi. Negara dalam sistem Khilafah tidak akan membiarkan campur tangan asing dalam urusan dalam negerinya, dan akan menjalankan perdagangan internasional berdasarkan prinsip keadilan serta berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam perdagangan internasional, Indonesia bisa menjaga martabat dan kedaulatan ekonomi, tanpa harus terjerat dalam jebakan neoliberalisme dan neoimperialisme yang hanya menguntungkan negara kuat. Allah ﷻ berfirman:
وَلَنْ يَّجْعَلَ اللّٰهُ لِلْكٰفِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا
“Dan Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 141)
Jalan Menuju Kedaulatan Ekonomi adalah dengan Khilafah Islamiyah
Tarif ekspor Indonesia ke AS yang menurun mungkin tampak menguntungkan dalam jangka pendek, namun kenyataannya, perjanjian ini hanya menambah ketergantungan Indonesia terhadap negara-negara kuat seperti AS. Mirisnya, sikap pemerintah justru sangat baik dalam memperlakukan penjajah AS, berbeda halnya dengan HTI yang selama ini mengingatkan penguasa, justru difitnah dan di cabut BHPnya.
Padahal jika Indonesia ingin keluar dari jebakan ekonomi global, maka kita perlu mengingat kembali saran HTI terkait solusi yang ditawarkan oleh Islam melalui sistem Khilafah Islamiyah sebagai satu-satunya jalan yang dapat memastikan kedaulatan ekonomi sejati.
Dengan sistem Khilafah, Indonesia tidak hanya berdagang dengan martabat, tetapi juga akan memiliki independensi ekonomi yang memastikan kesejahteraan rakyat tanpa tergantung pada negara-negara asing. Saatnya umat Islam kembali kepada sistem hidup yang sesuai dengan ajaran Islam, bukan justru mengandalkan sistem buatan manusia, dimana selalu menguntungkan pihak tertentu dan merugikan umat.
Wallahu a'lam bishawab.
0 Komentar