
Oleh: Abu Ghazi
Pemerhati Sosial
Baru-baru ini, PT Kereta Api Indonesia (Persero) (KAI) mengumumkan langkah optimalisasi aset negara dengan menyewakan lebih dari 448 hektare lahan untuk keperluan pertanian dan perkebunan. Kebijakan ini diklaim sebagai bentuk dukungan terhadap program ketahanan pangan nasional, mengatasnamakan program "Asta Cita" pemerintah. Tanah-tanah tersebut akan diubah menjadi lahan produktif melalui keterlibatan pihak ketiga, baik individu maupun korporasi.
Sekilas, inisiatif ini tampak positif. Namun bila dicermati lebih dalam, kebijakan ini sejatinya bukanlah solusi hakiki atas permasalahan ketahanan pangan nasional. Bahkan, ia hanya akan memperpanjang problematika struktural dalam pengelolaan tanah, yang berakar pada paradigma kapitalisme sekuler yang batil.
Dalam sistem kapitalisme, tanah tidak dipandang sebagai amanah untuk kesejahteraan umat, melainkan semata-mata sebagai komoditas ekonomi yang menggiurkan. Tanah bisa disewakan, diperjualbelikan, atau dikuasai seluas-luasnya oleh segelintir pemilik modal. Akibatnya, akses terhadap tanah menjadi sempit dan eksklusif, terutama bagi masyarakat kecil. Ketimpangan kepemilikan tanah melebar, eksploitasi terhadap petani kecil kian marak, dan kedaulatan pangan rakyat terus melemah. Alhasil, program ketahanan pangan pun hanya menguntungkan korporasi besar, bukan memenuhi kebutuhan rakyat secara adil dan berkelanjutan.
Islam Memiliki Solusi Berbeda
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang tanah sebagai bagian dari amanah Allah ﷻ untuk kesejahteraan umat manusia. Syariat Islam telah menetapkan ketentuan khusus tentang bagaimana tanah harus dikelola. Salah satu ketentuannya adalah haramnya penyewaan tanah untuk keperluan pertanian.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, seorang ulama dan mujtahid kontemporer, dalam kitab Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam menegaskan bahwa akad ijarah (sewa-menyewa) atas tanah pertanian hukumnya haram, berdasarkan larangan langsung dari Rasulullah ﷺ:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَهَى عَنِ الْمُخَابَرَةِ
Sesungguhnya Rasulullah ﷺ telah melarang al-mukhâbarah (perjanjian bagi hasil/sewa dalam penggarapan tanah)… (HR al-Bukhari no. 2381, Muslim no. 1536, Ahmad no. 14876, an-Nasai no. 4592, al-Baihaqi di dalam Sunan ash-Sughrâ no. 2165 dan di dalam Sunan al-Kubrâ no. 11696, ath-Thabarani di dalam Mu’jam al-Awsâth no. 9022 dan 9056).
An-Nabhani menjelaskan, larangan ini bersifat umum dan mutlak. Tanah pertanian harus dikelola sendiri oleh pemiliknya atau diberikan kepada orang lain untuk digarap tanpa adanya kompensasi berupa uang ataupun bagian hasil.
Dalam Islam, ada tiga mekanisme sah untuk mengelola tanah:
- Ihya' al-Mawat (menghidupkan tanah mati). Siapa saja yang menghidupkan tanah mati (tak bertuan) menjadi pemilik sahnya, tanpa membayar kompensasi apa pun.
- Distribusi Tanah oleh Negara. Negara wajib mendistribusikan tanah kepada rakyat yang mampu mengelolanya, tanpa akad sewa. Ini bertujuan memastikan seluruh rakyat mendapat akses terhadap sumber kehidupan.
- Penarikan Tanah yang Ditinggalkan. Tanah yang dibiarkan tidak digarap selama tiga tahun berturut-turut akan ditarik oleh negara dan diberikan kepada pihak lain yang mampu mengelolanya, sebagaimana kebijakan ini pernah diterapkan khalifah Umar bin al-Khaththab dahulu:
قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: مَنْ أَحْيَا أَرْض اً مَيْتَة فَهِيَ لَهُ، وَلَيْسَ لِمُحْتَجِرٍ حَقٌّ بَعْدَ ثَلاَثَ سِنِيْنَUmar bin al-Khaththab ra. berkata, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu miliknya dan orang yang memagari tidak memiliki hak setelah tiga tahun.”(HR Abu Yusuf)
Dengan mekanisme ini, Islam mencegah terjadinya penelantaran tanah, monopoli lahan, dan ketimpangan kepemilikan sumber daya.
Bahaya Kapitalisme dalam Pengelolaan Tanah
Penyewaan tanah seperti yang dilakukan oleh KAI sebenarnya memperkuat dominasi paradigma kapitalisme dalam pengelolaan sumber daya. Tanah diperlakukan sebagai bisnis semata: disewakan kepada pihak yang mampu membayar, tanpa mempertimbangkan maslahat umum. Praktik ini membuka peluang ketidakadilan, di mana pemilik tanah menikmati keuntungan tanpa risiko, sementara petani kecil menanggung seluruh beban produksi dan potensi kerugian.
Alih-alih memperkuat ketahanan pangan rakyat, kebijakan ini justru memperkaya segelintir pihak dan memperdalam ketergantungan rakyat terhadap korporasi besar. Rakyat tetap sulit mendapatkan lahan produktif, dan ketahanan pangan menjadi ilusi semata.
Lebih jauh lagi, dalam kapitalisme, tanah sebagai sumber daya vital umat manusia direduksi menjadi objek bisnis yang diperjualbelikan demi profit, bukan dikelola untuk kesejahteraan semua.
Menuju Solusi Hakiki: Tegaknya Syariat Islam
Solusi sejati terhadap krisis pangan dan ketimpangan pengelolaan tanah tidak akan pernah terwujud di bawah kapitalisme. Solusi hanya akan lahir dengan penerapan syariat Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam sistem ekonomi dan agraria.
Dalam sistem Islam, negara (Khilafah) akan mengelola tanah sesuai hukum Allah ﷻ: memberikannya kepada yang mampu mengelola, mencegah penelantaran, serta memastikan distribusi tanah berjalan adil dan produktif. Dengan prinsip ini, ketahanan pangan akan dibangun di atas fondasi keadilan, kemandirian, dan kesejahteraan nyata bagi seluruh rakyat.
Karena itu, kebijakan seperti penyewaan lahan oleh KAI harus dipandang kritis. Bukan solusi, melainkan bagian dari problem itu sendiri. Hanya dengan meninggalkan kapitalisme dan kembali kepada Islam secara kaffah, umat ini akan meraih ketahanan pangan yang sejati dan berkah dari Allah ﷻ.
Wallahu A'lam Bishawab.

0 Komentar