
Oleh: Oktavia
Jurnalis Lepas
Jakarta — Polemik dugaan ijazah palsu Presiden ketujuh Republik Indonesia, Joko Widodo, kembali memanas. Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Roy Suryo, menanggapi santai laporan terhadap dirinya terkait tuduhan penyebaran ujaran kebencian. Ia menyebut pelaporan itu "lucu" karena menggunakan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, dan menantang pembuktian terbuka di persidangan.
Roy justru menilai laporan tersebut sebagai bentuk kepengecutan karena tidak menggunakan delik pencemaran nama baik, yang menurutnya lebih relevan dan memungkinkan pembuktian langsung di antara pihak-pihak terkait. "Kami siap menerima tantangan ini. Kalau memang ingin gentle, tuntutlah dengan pencemaran nama baik, bukan penghasutan," ujar Roy.
Di sisi lain, pengamat politik Rocky Gerung turut mengomentari langkah hukum tersebut. Ia menilai, bila perkara ini berlanjut ke pengadilan, pihak yang menuding harus mampu membuktikan tuduhannya. Rocky juga mengkritik ketertutupan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang tidak membuka akses verifikasi keaslian ijazah Jokowi kepada publik. Ia menekankan bahwa hanya Presiden Jokowi yang bisa membuktikan keabsahan ijazahnya. "Kalau di pengadilan terbukti palsu, reputasi Jokowi akan hancur. Tapi apapun hasilnya, ia tetap tercatat sebagai Presiden ketujuh RI," kata Rocky.
Sementara itu, pakar forensik digital, Rismon Sianipar, dalam sebuah diskusi di kanal Abraham Samad SpeakUp, memaparkan temuannya bahwa lembar pengesahan skripsi Jokowi menggunakan font Times New Roman yang baru tersedia secara umum setelah tahun 1992. Menurut Rismon, fakta ini membuktikan bahwa dokumen tersebut sangat kuat diduga palsu. "Kalau skripsinya palsu, maka otomatis ijazahnya juga bermasalah, karena tidak mungkin seseorang lulus tanpa skripsi," tegasnya.
Rismon juga mengungkapkan kekecewaannya saat bertemu dengan pejabat UGM. Alih-alih menunjukkan bukti akademik yang meyakinkan, pihak UGM justru hanya menampilkan dokumen seadanya dan menghadirkan sejumlah orang yang mengaku teman kuliah Jokowi, namun membawa skripsi bertuliskan "tesis", istilah yang seharusnya tidak berlaku pada program sarjana tahun 1985.
Roy Suryo, Rocky Gerung, dan Rismon Sianipar kompak meminta agar polemik ini diselesaikan melalui adu bukti ilmiah di pengadilan, bukan dengan kriminalisasi terhadap mereka yang mempertanyakan. Mereka juga mengajak pihak Presiden untuk lebih transparan dalam menghadapi tuduhan demi menjaga integritas akademik dan kepercayaan publik.
Polemik ini kembali menegaskan pentingnya keterbukaan pejabat publik dalam membuktikan kredibilitas akademiknya, di tengah tuntutan masyarakat yang semakin kritis di era digital.

0 Komentar