KAUM SULTAN YANG NYAMAN DALAM SISTEM RUSAK, TAK PAHAM DERITA RAKYAT


Oleh: Muhar
Pengamat Sosial

Dalam sistem kapitalisme hari ini, sangat wajar jika para kapitalis pemilik modal kelas “sultan” tampak tenang, rileks, bahkan menikmati hampir semua kebijakan negara.

Mereka tidak terbebani oleh mahalnya harga listrik; ketika alarm token berbunyi, tinggal isi tanpa berpikir dua kali. Mereka juga tidak pusing saat harga beras naik, karena biaya belanja bulanan hanyalah angka kecil dari total aset mereka yang seakan tidak ada habisnya.

Sementara itu, rakyat kebanyakan hidup dalam lingkaran tekanan yang seolah tidak pernah usai. Mereka dihadapkan pada kesulitan harian: token listrik habis tepat ketika uang tidak ada; beras dan gas untuk memasak habis saat dompet menipis; bensin kendaraan habis untuk kebutuhan bekerja dan antar-jemput keluarga, sementara uang sudah tidak ada. Ditambah lagi, kredit atau sewa hunian yang mungkin menunggak, serta biaya pendidikan yang harus segera dibayar.

Beginilah keseharian jutaan keluarga dalam sistem kapitalisme, ketika kebutuhan serba berbiaya tinggi (mahal) sebagai dampak kapitalisasi dan komersialisasi.

Kondisi ini sangat nyata. BPS mencatat bahwa pada Maret 2025, ada 23,85 juta penduduk miskin di Indonesia, termasuk 2,38 juta orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem. Mereka tidak hanya kesulitan dari bulan ke bulan atau minggu ke minggu, tetapi setiap hari. Banyak dari mereka yang setiap pagi bertanya, "Hari ini bisa sarapan dan makan atau tidak?" hingga akhirnya terpaksa berutang untuk bertahan hidup.

Lalu, mengapa kaum kapitalis kelas sultan tampak santai-santai saja? Karena memang sistem kapitalisme membangun dunia di mana kenyamanan mereka dipagari oleh penderitaan orang lain.

Hal itu karena mereka tidak terhubung dengan realitas hidup rakyat. Tidak pernah merasakan listrik tiba-tiba padam karena token habis. Tidak merasakan api kompor berhenti karena gas melon habis. Tidak pernah mendengar anak merengek meminta uang jajan atau kebutuhan sekolah. Tidak dihantui kekhawatiran tentang cicilan atau sewa rumah yang menunggak.

Mereka hidup di dunia yang steril, jauh dari bau keringat rakyat. Maka wajar bila mereka tidak memiliki kepekaan atau sense of crisis, sehingga tidak mau memahami betapa rusaknya sistem hari ini.

Maka tidak heran mereka membela habis-habisan pasar bebas, “efisiensi”, dan privatisasi, karena bagi mereka, semua itu adalah garansi kenyamanan.

Padahal dalam Islam, terlebih jika seseorang adalah pemimpin atau bagian dari kelas berkuasa, ada tuntutan baginya untuk mampu merasakan apa yang dirasakan rakyat.

Rasulullah ﷺ dan para khalifah tidak hidup terpisah dari umat. Umar bin Khaththab bahkan gemetar ketika melihat rakyat kelaparan; beliau menangis di malam hari dan menggendong gandum di punggungnya.


Mengapa?

Karena kemampuan merasakan adalah syarat dasar untuk melahirkan empati, tanggung jawab, dan keberanian menegakkan keadilan.

Dalam kapitalisme, kemampuan merasakan bukan sesuatu yang diperlukan. Yang penting modal bertambah. Maka lahirlah elit kelas sultan yang merasa negara baik-baik saja, padahal rakyat berteriak dalam diam di balik tembok rumah kreditan, kontrakan, atau rumah yang dibangun dari uang pinjaman offline dan pinjaman online (pinjol) yang menjerat.

Islam tidak membiarkan jurang kaya-miskin melebar tanpa batas. Islam tidak membiarkan kekayaan menumpuk hanya pada segelintir orang. Islam tidak mengizinkan kebutuhan dasar seperti listrik, air, pendidikan, kesehatan, dan energi menjadi komoditas yang hanya bisa diakses oleh orang kaya.

Sistem ekonomi Islam memaksa para pemimpin untuk turun dan berempati; memaksa negara untuk menjamin kebutuhan dasar rakyat; dan memaksa kaum kaya untuk tidak hidup di atas penderitaan orang lain.

Maka, kaum sultan memang harus dipahamkan. Sebab tanpa dipahamkan, mereka akan terus menganggap kapitalisme baik-baik saja. Tanpa membuka mata mereka terhadap derita rakyat, mereka akan terus menganggap negara ini stabil selama rekening pribadi mereka stabil.


Bukan Soal Iri dan Dengki

Ini bukan soal iri atau dengki. Masalah utamanya adalah kemampuan merasakan, karena itu sangat dibutuhkan untuk perubahan umat. Hanya dengan bisa merasakan, manusia akan memahami. Dan hanya ketika memahami, mereka bisa berpihak pada kebenaran.

Sekali lagi, ini bukan soal iri terhadap harta. Kritik ini murni didorong oleh kebutuhan akan perubahan struktural yang mendasar. Perubahan sejati tidak lahir dari belas kasihan sesaat, tetapi membutuhkan kesadaran kolektif bahwa kenyamanan satu kelompok tidak boleh dibangun di atas penderitaan kelompok lain. Hanya dengan pemahaman seperti ini, keadilan dapat ditegakkan melalui sistem yang lebih baik.


Khilafah Solusi Struktural

Islam melalui institusi Khilafah tidak hanya mengajak kaum kaya untuk berempati, tetapi membangun sistem yang menutup peluang lahirnya jurang ekonomi.

Khilafah memastikan bahwa:
  • Kebutuhan dasar rakyat wajib dipenuhi negara, bukan pasar.
  • Energi, listrik, air, dan sumber daya alam haram diprivatisasi demi keadilan distribusi.
  • Pajak tidak dipungut dari rakyat miskin.
  • Kekayaan tidak boleh berputar hanya pada satu kelas sosial.
  • Negara bertanggung jawab langsung atas pendidikan dan kesehatan seluruh rakyat.

Dengan sistem inilah kesenjangan tidak hanya dikasihani sesaat, tetapi dihapuskan secara struktural. Dengan sistem inilah para pemilik harta tidak bisa lagi hidup terlalu jauh dari realitas rakyat.


Penutup

Kaum sultan kapitalis bisa merasa sistem ini baik-baik saja karena mereka tidak merasakan tekanan hidup rakyat. Maka mereka perlu dipahamkan. Karena merasakan adalah pintu menuju keadilan.

Dan Islam telah menyediakan sistem yang mengembalikan manusia pada perannya: saling menolong, bukan saling mencela, apalagi menindas.

Posting Komentar

0 Komentar