
Oleh: Irohima
Penulis Lepas
Tragis, kasus Irene Sokoy yang ditolak beberapa rumah sakit seolah menampar wajah kemanusiaan, mengoyak nurani, dan menjelaskan dengan vulgar bahwa kesehatan hanya dapat dinikmati oleh kaum yang tak pernah merasakan kemiskinan. Sesulit dan semahal itukah kesehatan di negeri yang katanya kaya dan paling menjunjung tinggi kemanusiaan?
Irene Sokoy, seorang ibu hamil, warga Kampung Hobong, Sentani, Jayapura, Papua, akhirnya menghembuskan napas terakhir bersama janin berusia 6 bulan yang dikandungnya akibat terlambat mendapatkan penanganan medis. Irene dan bayinya dinyatakan meninggal dalam perjalanan bolak-balik menuju RSUD Dok II Jayapura setelah ditolak beberapa rumah sakit.
Kepala Kampung Hobong, Abraham Kabey, mengatakan bahwa penolakan terhadap Irene oleh beberapa rumah sakit sangat mengecewakan pihak keluarga. Meski kematian Irene memicu reaksi keras dari Gubernur Papua, Mathius Derek Fakhiri, yang mengultimatum semua fasilitas kesehatan di Papua, nasi telah menjadi bubur. Sosok Irene dan bayinya telah terkubur, seiring dengan kepercayaan publik yang kian kabur (Detik, 23/11/2025).
Kasus Irene di Papua bukanlah kasus penolakan pasien pertama yang berakibat fatal. Sebelumnya, kasus penolakan pasien sering terjadi. Bukan hanya karena masalah dokumen atau administrasi, tetapi juga biaya yang diwajibkan dibayar di muka oleh rumah sakit yang menjadi hambatan. Padahal, hal ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga melanggar prinsip kemanusiaan. Keselamatan dan nyawa pasien harusnya menjadi prioritas utama, terlepas dari ketiadaan biaya atau birokrasi dengan segala macam rupa.
Penolakan rumah sakit terhadap pasien, terutama pasien dengan kondisi miskin, menjadi bukti bobroknya sistem pelayanan kesehatan di negeri ini. Dari tahun ke tahun, kualitas layanan publik, terutama sektor kesehatan, selalu mengalami penurunan. Masyarakat kerap kecewa terhadap berbagai kebijakan yang diterapkan. Saking kecewanya, beredar ungkapan sarkastik yang terlihat lucu tapi menyakitkan, yaitu: "Orang miskin dilarang sakit."
Ungkapan ini menggambarkan betapa perlakuan yang diterima setiap warga berbeda-beda, tergantung pada banyaknya cuan dan kuasa. Tingginya biaya serta sulitnya akses bagi rakyat miskin untuk mendapatkan layanan kesehatan yang layak pada akhirnya akan membawa dampak yang sangat signifikan, seperti: penundaan pengobatan, masyarakat kurang mendapat edukasi terkait kesehatan, menurunnya kualitas hidup, dan meningkatnya angka kesakitan serta kematian.
Sejatinya, layanan kesehatan yang tidak layak merupakan salah satu akibat diterapkannya sistem sekuler kapitalisme. Dalam sistem yang berlandaskan manfaat ini, keseluruhan aspek kehidupan dikapitalisasi, termasuk aspek kesehatan, sebuah hal yang lumrah, karena sistem ini akan selalu berorientasi pada keuntungan. Tak ada yang gratis, sistem sekuler kapitalis menjadikan motif pelayanan kesehatan sebagai motif bisnis materialistik.
Rakyat hanya dijadikan alat penghasil pundi-pundi keuntungan, sementara negara, sebagai pihak yang memiliki kekuasaan, justru melepaskan tanggung jawab dan perannya sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Negara dalam sistem ini cenderung melahirkan kebijakan yang memihak kepentingan para kapitalis, bukan kepentingan rakyat sendiri. Hanya kaum berduit yang bisa bebas melenggang menapaki segala akses layanan publik, sementara rakyat miskin kerap terbentur dengan biaya dan terhenti oleh stigma "biaya di muka".
Inilah busuk dan bobroknya sistem sekuler kapitalis, di mana tak semua orang mendapatkan layanan kesehatan secara adil dan merata. Maka dari itu, kita harus bersegera mengganti sistem buruk ini dengan sistem Islam Kaffah, sebagai satu-satunya solusi yang terpercaya.
Dalam Islam, kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh negara. Semua rakyat, baik Muslim maupun kafir, kaya ataupun miskin, berhak atas layanan kesehatan yang terbaik dan berkualitas. Pemimpin dalam Islam wajib menjadi pengurus seluruh urusan rakyat. Negara juga wajib menjamin setiap individu rakyat menerima layanan kesehatan.
Salah satu kewajiban yang dibebankan kepada negara adalah menyediakan pelayanan kesehatan secara gratis. Negara akan memastikan kesehatan rakyat dengan memenuhi segala hal yang terkait dengan kesehatan, seperti tenaga medis yang jumlahnya mencukupi serta berkualitas, fasilitas kesehatan yang layak, alat kesehatan terbaik, dan stok obat yang banyak untuk semua jenis penyakit.
Selain itu, negara juga akan melakukan langkah preventif agar rakyat terhindar dari sakit dengan edukasi melalui sistem pendidikan dan informasi, vaksinasi, penerapan gaya hidup dan pola makan sehat, penyediaan makanan dan minuman bergizi, penyediaan air bersih untuk konsumsi, sanitasi, dan lain sebagainya.
Lembaga pendidikan kesehatan, laboratorium, lembaga riset, dan industri farmasi yang memproduksi obat-obatan di dalam negeri akan dibangun untuk mendukung terwujudnya rakyat yang sehat sekaligus menghilangkan ketergantungan akan obat dan tenaga medis impor.
Keseluruhan layanan ini akan diberikan negara secara percuma karena negara memiliki kemampuan finansial untuk mencukupi kebutuhan rakyat akan kesehatan. Kemampuan finansial negara berasal dari besarnya pendapatan negara yang diperoleh dari berbagai sumber, seperti pengolahan tambang, pengolahan kekayaan laut dan hutan, dan lain sebagainya.
Hanya dengan Islam, kasus yang menimpa Irene Sokoy atau rakyat lain tak akan terjadi. Hanya dengan Islam pula tidak akan ada kematian yang diakibatkan oleh lambatnya penanganan atau penolakan demi penolakan karena masalah uang, juga tak perlu berurusan dengan birokrasi panjang saat mengakses layanan kesehatan.
Wallahualam bishawab.

0 Komentar