
Oleh: Hany Handayani Primantara, S.P
Aktivis Muslimah
Sejak wilayah Sumatera dilanda longsor dan banjir akibat hujan lebat yang mengguyur wilayah tersebut, semua orang fokus menyimak setiap perkembangannya. Tanah merah yang mudah bergeser serta terpaan hujan yang ekstrem menambah rusaknya bangunan rumah, kebun warga, serta fasilitas umum berupa jembatan utama dan jalan. Alhasil, akses menuju lokasi bencana pun mati total, termasuk listrik dan air bersih yang sulit didapat.
Menurut warga korban bencana, bantuan dari pemerintah pusat belum juga kunjung datang. Adapun yang datang, masih belum merata pada korban bencana. Longsor susulan, cuaca yang makin ekstrem, dan medan yang sulit membuat akses bantuan tidak mudah disalurkan. Padahal, sudah banyak korban jiwa akibat banjir dan longsor ini. Berdasarkan data sementara dari Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), total korban meninggal dunia mencapai 867 jiwa, dan 521 jiwa masih dinyatakan hilang (CNN Indonesia, 05/12/2025).
Masih dari sumber yang sama, diinformasikan bahwa akibat bantuan logistik dan makanan yang tidak kunjung datang, puluhan warga korban banjir dan longsor melakukan penjarahan di Gudang Bulog Sarudik, Kota Sibolga, Sumatera Utara. Bantuan sulit masuk karena kondisi wilayah yang terisolasi pasca-bencana banjir dan longsor parah. Dalam video yang beredar di media sosial, warga berebut masuk ke dalam Gudang Bulog Sarudik dan membawa berkarung-karung beras dan minyak goreng.
Pemicu Banjir dan Longsor Dahsyat di Sumatera
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara (Sumut) menyatakan bahwa banjir bandang hingga tanah longsor di sejumlah daerah Sumut terjadi karena kerusakan Ekosistem Harangan Tapanuli atau Batang Toru. Wilayah Batang Toru, yang meliputi Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Kota Sibolga, mengalami kerusakan terparah menurut Direktur Eksekutif Walhi Sumut, Rianda Purba.
Padahal, Ekosistem Harangan Tapanuli atau Batang Toru merupakan salah satu bentang hutan tropis esensial terakhir di Sumatera. Secara administratif, tutupan hutan Harangan Tapanuli terbagi di Tapanuli Utara (66,7%), Tapanuli Selatan (22,6%), dan Tapanuli Tengah (10,7%). Sebagai bagian dari Bukit Barisan, hutan ini menjadi sumber air utama, pencegah erosi, serta pusat Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mengalir hingga ke wilayah hilir (CNN Indonesia, 28/11/2025).
Bukti lain pun menguatkan argumentasi tersebut. Saksi korban banjir melihat saat itu air bah membawa kayu-kayu gelondongan berukuran besar. Citra satelit pun menunjukkan area gundul di sekitar lokasi. Ini adalah bukti bahwa kebijakan yang membuka ruang pembukaan hutan oleh perusahaan telah memperparah kerusakan di Batang Toru. Akibat deforestasi besar-besaran, warga sekitar harus menjadi korban.
Kondisi demikian tidak mungkin terjadi tanpa sepengetahuan penguasa, sebab aktivitas tersebut pasti memerlukan perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat. Kemudahan bagi korporasi dalam mendapatkan perizinan mengelola perkebunan sawit tidak jauh dari sistem yang mengaturnya.
Dalam sistem sekuler kapitalis, semua bisa dilakukan dengan mudah, hanya butuh dana pelicin guna mempermudah pemerintah setempat, maka otomatis izin pun keluar. Maka dari sini, kaum Muslim tidak boleh menutup mata. Jangan lagi mau dibuai oleh janji manis palsu saat pilkada, apatah lagi sekadar tergiur uang yang hanya beberapa rupiah demi menggadaikan idealisme hidup satu nusantara.
Islam Memandang Bencana Banjir Sumatera
Bencana banjir dan longsor di Sumatera sudah selayaknya dijadikan bahan muhasabah bagi setiap Muslim. Sebab, tidak ada satupun peristiwa yang luput dari ketentuan Allah ﷻ. Jika dipandang dari sisi ruhiyah, bencana saat ini merupakan bentuk dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Ini adalah sinyal bagi manusia agar senantiasa mengaitkan segala kejadian dengan apa yang dikehendaki oleh Allah ﷻ.
Allah ﷻ telah memberikan informasi terkait tanda-tanda kekuasaannya melalui Al-Qur'an, bahwa bencana yang terjadi di muka bumi ini tidak luput dari ulah tangan manusia yang melakukan berbagai kerusakan. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. Ar-Rum: 41)
Namun, kita pun tidak boleh hanya memandang satu sisi saja. Ada sisi siyasiyah yang perlu kita perhatikan juga dari kasus bencana ini. Sebab, tidak jarang seorang Muslim yang hanya berfokus pada satu sisi ruhiyah semata, akhirnya berpasrah tanpa ikhtiar dalam rangka belajar dari kesalahan sebelumnya. Sebab, Allah sudah menganugerahkan akal agar bisa digunakan bagi manusia dalam memahami ayat-ayat-Nya.
Maka, keadaan ini bukan sekadar musibah melainkan sebuah peringatan dari yang Maha Kuasa agar manusia tetap teguh terhadap segala ujiannya. Sebagai seorang Muslim, harus bisa memetakan mana yang mesti disikapi dengan ridho, mana yang mesti dicarikan solusi berupa langkah nyata, bukan hanya sekadar doa bersama. Melainkan bentuk nyata dengan kembali pada aturan-Nya. Hingga ridho Allah bisa digenggam bersama, dan kehidupan dengan penuh ketenangan pun bisa dirasakan semuanya.
Wallahu Alam Bishawab.

0 Komentar