KETAHANAN PANGAN RETAK? ISLAM PUNYA FONDASI YANG LEBIH KOKOH


Oleh: Amira Reya
Aktivis Remaja Muslimah

Meskipun Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan lebih dari 40 juta pekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, pertumbuhan sektor ini masih rendah dan kontribusinya terhadap perekonomian hanya sekitar 12%. Kondisi ini beriringan dengan tingginya ketergantungan pada impor berbagai komoditas pangan utama seperti beras, gula, dan daging sapi.

Pada 2022, BPS mencatatkan impor beras sebesar 429.207 ton, dan pada 2023, Bulog kembali ditugaskan untuk mengimpor hingga 2 juta ton, dengan 500 ribu ton yang harus segera didatangkan. Pada 2024, total impor beras Indonesia mencapai 4,52 juta ton, meningkat sekitar 47,38%. Angka ini menjadi yang tertinggi dalam tujuh tahun terakhir, dengan data pembanding menunjukkan fluktuasi impor pada tahun-tahun sebelumnya.

Ketergantungan pada impor juga terlihat pada komoditas lain. Pada 2022, Indonesia mengimpor sekitar 6 juta ton gula untuk kebutuhan industri dan konsumsi rumah tangga. Sementara itu, produksi daging sapi dalam negeri masih belum mampu memenuhi kebutuhan nasional. Dalam tiga tahun terakhir, defisit pasokan daging sapi berkisar antara 250.000 hingga hampir 300.000 ton, sehingga impor kembali menjadi langkah tahunan untuk menutup kekurangan (CNBC Indonesia, 16/05/2023).

Situasi serupa terjadi pada komoditas garam. Sebagai negara maritim dengan wilayah laut yang luas, Indonesia tetap bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan garam nasional. BPS mencatatkan bahwa total impor garam pada 2023 mencapai 2,8 juta ton dengan nilai Rp 1,35 triliun (CIF), meningkat baik secara volume maupun nilai dibandingkan tahun sebelumnya.

Sebagian besar garam impor tersebut berasal dari Australia dengan volume mencapai 2,15 juta ton atau hampir 77% dari total impor. Selain Australia, India menyuplai 641 ribu ton, diikuti negara lain seperti Selandia Baru, China, Denmark, Jerman, dan Thailand yang turut menambah pasokan dalam jumlah lebih kecil namun tetap signifikan (CNBC Indonesia, 16/09/2024).

Kondisi impor juga terlihat pada daging jenis lembu. Sepanjang Januari–September 2024, BPS mencatat bahwa Indonesia mengimpor 99,12 ribu ton daging sapi dan kerbau. Nilai impor tersebut mencapai US$375,68 juta atau sekitar Rp5,87 triliun, berdasarkan kurs Rp15.635 per dolar AS pada penutupan perdagangan 25 Oktober 2024 (CNBC Indonesia, 28/10/2024).

Selain itu, Indonesia juga masih mengimpor sayuran dalam jumlah besar. Pada 2024, impor sayuran mencapai 935,8 ribu ton, turun 6,5% dari tahun 2023 yang mencapai 1 juta ton. Meskipun turun, trennya tetap menunjukkan bahwa Indonesia secara konsisten mengimpor ratusan ribu ton sayur setiap tahun, bahkan menembus 1 juta ton pada 2022 dan 2023 (Goodstats, 23/09/2025).

Rangkaian data impor tersebut menggambarkan bahwa ketersediaan pangan nasional masih sangat bergantung pada sumber luar negeri. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara hingga perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau, sehingga masyarakat dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Dengan tingginya impor pada berbagai komoditas strategis, tantangan dalam mewujudkan ketahanan pangan sebagaimana definisi undang-undang tersebut menjadi semakin nyata (Kemenkeu).

Upaya penguatan ketahanan pangan di Indonesia juga banyak didukung oleh kolaborasi lintas sektor. Melalui forum seperti WINCO, perguruan tinggi, peneliti, pelaku industri, komunitas, dan pemerintah daerah terlibat aktif dalam menghadirkan riset, inovasi, dan solusi untuk memperkuat ketersediaan pangan. Kolaborasi ini menjadi bukti bahwa pemenuhan kebutuhan pangan nasional telah melibatkan berbagai pemangku kepentingan di luar pemerintah pusat (Cilacapkab, 19/11/2025).

Masalah ini tidak semata-mata terletak pada produktivitas petani, tetapi lebih pada lemahnya tata kelola pangan nasional. Pemerintah sering mengambil langkah impor sebagai solusi instan ketika terjadi defisit, alih-alih membangun ekosistem pertanian yang kuat dari hulu ke hilir. Di saat yang sama, banyak komoditas strategis justru dikuasai oleh pelaku usaha besar yang memiliki akses modal, teknologi, dan jaringan perdagangan lebih luas. Ketergantungan pada pihak swasta membuat negara kehilangan kendali atas harga dan distribusi.

Ketika impor menjadi rutinitas tahunan, petani lokal semakin tidak memiliki ruang untuk berkembang. Harga panen sering jatuh, biaya produksi tinggi, sementara perlindungan terhadap petani masih minim. Kondisi ini menciptakan lingkaran lemah yang berulang: produksi lokal tidak naik karena tidak diberdayakan, lalu impor kembali dijadikan solusi. Padahal, negara agraris seharusnya bertumpu pada petani, bukan pasar luar negeri.

Di tengah ketidakmampuan negara menguatkan fondasi pangan secara mandiri, banyak peran strategis justru bergeser ke sektor swasta dan institusi non-pemerintah. Forum kolaborasi seperti WINCO memperlihatkan bahwa penelitian, inovasi, hingga pengembangan solusi pangan banyak digerakkan oleh perguruan tinggi, industri, komunitas, dan media. Peran mereka memang penting, namun dominasi inisiatif dari luar pemerintah menunjukkan adanya kekosongan peran negara dalam mengarahkan sistem pangan secara utuh. Situasi ini memperdalam ketergantungan dan membuat kontrol atas ketahanan pangan semakin berada di tangan pihak-pihak non-negara.

Di tengah lemahnya kemandirian pangan dan energi hari ini, Islam sebenarnya memiliki konsep yang sangat lengkap. Dalam pandangan Islam, urusan pangan dan energi bukan sekadar soal ekonomi, tapi bagian dari kewajiban negara untuk menjaga ketahanan rakyatnya. Negara tidak boleh hanya menjadi pembeli di pasar global, tapi harus berdiri sebagai pengelola utama sumber daya yang Allah titipkan. Karena itu, impor dalam Islam bukan pilihan pertama, melainkan opsi terakhir saat terjadi kondisi darurat.

Yang menarik, negara Muslim sebenarnya memiliki modal luar biasa. Cadangan minyak, gas, bahan pangan, dan lahan subur tersebar di berbagai wilayah dunia Islam. Jumlahnya bahkan cukup untuk memenuhi kebutuhan internal tanpa harus terus bergantung pada negara lain.

Islam menata ulang itu semua dengan aturan kepemilikan yang sangat jelas. Energi ditempatkan sebagai milik umum, sehingga negara wajib mengelolanya untuk kebutuhan rakyat, bukan menyerahkannya kepada korporasi. Sementara sektor pangan menjadi wilayah usaha individu dan komunitas, dengan negara berperan sebagai penjaga keadilan pasar: mencegah penimbunan, menjaga harga tetap wajar, memastikan distribusi lancar, dan memberi dukungan teknologi serta modal kepada petani tanpa riba. Polanya sederhana tapi kuat: negara hadir penuh, rakyat diberdayakan, dan pasar dijaga agar tidak dikuasai segelintir pihak.

Pada akhirnya, konsep ekonomi Islam itu sangat realistis: fokus pada sektor riil, memperkuat produksi lokal, mengamankan kepemilikan umum, dan memastikan negara benar-benar menjadi pelindung kebutuhan dasar rakyat. Jika prinsip-prinsip ini diterapkan, dunia Islam tidak hanya mampu mandiri, tetapi juga bisa berdiri sebagai blok ekonomi yang kuat, stabil, dan tidak mudah terpengaruh krisis global. Dan yang paling penting, rakyat, termasuk petani, nelayan, pekerja, dan keluarga kecil, merasakan langsung manfaatnya.

Posting Komentar

0 Komentar