TERUSAN PANAMA DAN KEMBALINYA NAFSU IMPERIALISME AMERIKA


Oleh: Abu Ghazi
Pengamat Politik dan Perubahan

Langkah Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump untuk kembali mengerahkan pasukan militer ke wilayah sekitar Terusan Panama menunjukkan satu hal yang jelas: imperialisme belum mati, ia hanya berganti baju.

Setelah seperempat abad Panama menikmati kedaulatan atas jalur strategis tersebut, kini Washington kembali menunjukkan wajah aslinya. Dengan dalih latihan militer dan pendidikan, AS mendapatkan kembali akses militer ke zona penting itu, meski tak secara eksplisit membangun pangkalan tetap. Ini jelas merupakan strategi "soft recolonization", kolonialisme gaya baru, yang memanfaatkan celah diplomatik dan tekanan politik untuk mengambil kembali pengaruh atas wilayah yang dulu sempat mereka kuasai.

Retorika Trump soal "kita ditipu" dan seruan agar Terusan Panama "dikembalikan sepenuhnya" kepada AS, sejatinya adalah ungkapan frustrasi dari negara adidaya yang merasa hegemoninya diambang keruntuhan. Apalagi, fakta bahwa jalur ini menangani 40% lalu lintas kontainer AS dan 5% perdagangan global menjadikan Panama bukan hanya simbol, tapi juga urat nadi ekonomi global yang sangat vital bagi Amerika.

Dalam konteks ini, kekhawatiran Trump terhadap pengaruh Cina bukan tanpa alasan. Investasi besar Cina melalui inisiatif Belt and Road (BRI) telah membuat Panama semakin dekat dengan Beijing. Sekitar 20% kapal kargo Cina melintasi kanal ini, menempatkan Cina di posisi kedua setelah AS dalam hal penggunaan jalur tersebut. Ditambah dengan dukungan Panama terhadap kebijakan Cina, termasuk dalam isu Taiwan, tentu membuat Washington merasa semakin terpinggirkan di halaman belakangnya sendiri.

Namun, yang patut dicermati bukan hanya ketegangan geopolitik antara dua raksasa dunia itu. Yang lebih penting adalah bagaimana nasib kedaulatan negara-negara kecil seperti Panama di tengah tarik-menarik kekuatan global ini. Dalam situasi ini, pemerintah Panama terlihat gamang. Di satu sisi, mereka mengklaim bahwa setiap jengkal Terusan Panama tetap milik mereka. Tapi di sisi lain, mereka membuka pintu bagi pasukan AS untuk kembali bercokol di wilayah yang pernah mereka rebut dengan darah dan air mata.


Persaingan AS dan China Mengorbankan Kedaulatan Negara Kecil

Sejarah panjang perjuangan rakyat Panama mulai dari demonstrasi, tumpahnya darah mahasiswa, hingga keberhasilan mengibarkan bendera mereka di zona kanal tidak boleh dilupakan. Mereka pernah menolak dengan keras status "negara boneka" di bawah bayang-bayang AS. Namun hari ini, dengan alasan "kerja sama militer", mereka tampak membiarkan sejarah itu dilangkahi begitu saja.

Fenomena ini menggambarkan realitas pahit dari dunia kapitalis global: tidak ada kedaulatan yang benar-benar aman jika negara tersebut berada dalam cengkeraman ekonomi dan politik dari kekuatan besar. Baik AS maupun Cina, keduanya menggunakan alat yang sama investasi, utang, dan kekuatan militer untuk mengendalikan negara-negara yang lebih lemah. Bagi mereka, kanal, pelabuhan, bahkan pemerintahan suatu negara, hanyalah pion dalam percaturan geopolitik demi mempertahankan supremasi global.

Maka tak heran jika pengamat politik seperti Hasbi Aswar menyebut ini sebagai tabiat kolonialisme kapitalis modern. Di mana segala hal dari infrastruktur hingga ideologi dijadikan alat legitimasi dominasi. Tak ada ruang untuk etika atau keadilan. Yang ada hanyalah kepentingan dan kekuatan.

Pertanyaannya kini, akankah rakyat Panama kembali bangkit melawan? Atau mereka akan larut dalam ilusi kemitraan yang sejatinya hanyalah bentuk baru dari penjajahan?

Yang pasti, dunia mesti waspada. Ketika kekuatan global kembali berlomba memperebutkan wilayah strategis, maka yang pertama dikorbankan adalah kedaulatan dan martabat negara-negara kecil. Dan ini bukan hanya soal Panama. Ini bisa terjadi di mana saja. Termasuk dunia Muslim.

Langkah Amerika Serikat yang kembali mengerahkan pasukan ke wilayah Terusan Panama bukan hanya soal geopolitik regional, melainkan refleksi dari sistem dunia yang pincang. Sebuah dunia di mana kekuatan kapitalis seperti AS dan Cina leluasa menjadikan negara-negara kecil sebagai bidak permainan demi kepentingan hegemonik mereka. Di tengah ketidakadilan yang terus berulang ini, muncul pertanyaan yang semakin mendesak: adakah alternatif atas tatanan global yang dikuasai oleh dua kekuatan besar kapitalis ini?

Jawabannya: ada, yaitu sistem Islam dalam naungan Khilafah.


Islam Bukan Penonton, Tapi Solusi Dunia

Dalam sejarah peradaban Islam, kekuasaan bukan digunakan untuk menjajah dan merampas, melainkan untuk melindungi dan membebaskan. Kekuasaan Khilafah digunakan untuk menyebarkan keadilan, menjaga keamanan jalur perdagangan, serta melindungi negara-negara kecil dari ambisi imperialis kekuatan besar. Khilafah bukan negara ekspansionis, melainkan pelindung umat manusia dari kezaliman.

Khilafah tidak akan membiarkan kekuatan asing mempermainkan nasib bangsa seperti yang kini terjadi di Panama. Sebaliknya, sistem ini akan menyatukan negeri-negeri Muslim dan menjadikannya satu entitas politik dan militer yang berdaulat dan kuat, sehingga tidak bisa didikte oleh kapitalis manapun, baik AS maupun Cina.

Ironisnya, negeri-negeri Muslim yang memiliki sumber daya besar, penduduk yang melimpah, dan posisi strategis di dunia, justru masih tercerai-berai dan tunduk pada kepentingan asing. Banyak dari penguasanya hanya menjadi "penjaga pintu" kepentingan kapitalisme global. Sementara umat Islam masih terus dibuai dengan ilusi kemajuan Barat yang sejatinya penuh eksploitasi.

Maka dari itu, umat Islam harus bangkit, menyadari bahwa solusi sejati tidak terletak pada demokrasi ala Barat, tidak pula pada sosialisme ala Timur, melainkan pada Islam yang paripurna. Islam tidak hanya mengatur ibadah, tetapi juga urusan politik, ekonomi, hingga hubungan internasional. Islam memiliki konsep unik yang mampu menyelesaikan akar masalah dunia saat ini, diantaranya:
  • Menolak imperialisme dalam bentuk apapun, termasuk melalui jalur utang, investasi, atau pendirian pangkalan militer.
  • Melarang penyerahan wilayah strategis kepada pihak asing, sebagaimana hukum syariah yang menetapkan bahwa tanah dan aset umat tidak boleh diserahkan kepada penjajah.
  • Mewajibkan pemimpin negara Islam untuk menjaga kehormatan dan kedaulatan umat, termasuk dengan mengerahkan kekuatan militer jika diperlukan demi melindungi kaum tertindas.
  • Mengintegrasikan kekuatan umat Islam di seluruh dunia di bawah satu komando politik (Khalifah), sehingga dunia Islam tidak mudah dipecah dan dijadikan sasaran dominasi global.


Dunia Membutuhkan Khilafah Sebagai Penyeimbang Baru

Terusan Panama hanyalah satu contoh dari sekian banyak lokasi strategis dunia yang menjadi rebutan para penjajah modern. Di Afrika, Asia Tengah, hingga Timur Tengah, cerita serupa terus berulang: dominasi melalui utang, penjajahan melalui kerja sama militer, dan eksploitasi sumber daya atas nama "pembangunan".

Selama dunia dikuasai oleh sistem kapitalisme global, tak akan ada keadilan sejati. Maka dunia butuh penyeimbang baru. Bukan sekadar kekuatan baru, tapi sistem baru yang membawa rahmat bagi seluruh alam, sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur’an:

ÙˆَÙ…َآ اَرْسَÙ„ْÙ†ٰÙƒَ اِÙ„َّا رَØ­ْÙ…َØ©ً Ù„ِّÙ„ْعٰÙ„َÙ…ِÙŠْÙ†َ
"Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam." (QS. Al-Anbiya: 107)

Sistem itu adalah Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah, yang akan memperjuangkan kepentingan umat manusia, bukan segelintir elite kapitalis. Khilafah tidak akan berpihak pada blok AS atau Cina, tapi berdiri sebagai kekuatan independen yang membawa misi penegakan keadilan global.

Wallahu A'lam Bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar