HAJI: PUNCAK IBADAH, MOMENTUM PERSATUAN, DAN SERUAN MEMBELA PALESTINA


Oleh: Arslan
Penulis Lepas

Setiap tahun, jutaan Muslim dari berbagai belahan dunia memenuhi panggilan suci ke Tanah Haram. Mereka datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, rukun Islam kelima yang diwajibkan bagi setiap Muslim yang mampu, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan haji ke Baitullah, yaitu bagi orang yang mampu melakukan perjalanan ke sana.” (QS. Ali Imran [3]: 97)

Haji bukan hanya ritual spiritual, tetapi juga perjalanan pengorbanan, kepatuhan, dan penyerahan diri kepada Allah ﷻ. Rasulullah ﷺ bersabda:

الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
Haji yang mabrur tidak ada balasan baginya selain surga.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Namun, haji bukan sekadar persoalan individu. Ia memiliki dimensi sosial dan global yang sangat kuat.


Haji sebagai Simbol Persatuan Umat Islam

Salah satu pesan besar dari ibadah haji adalah persatuan umat Islam. Dalam ibadah ini, semua Muslim tanpa memandang suku, ras, bahasa, atau kebangsaan mengenakan pakaian ihram yang sama, melaksanakan ibadah yang sama, dan berdoa kepada Tuhan yang sama.

Haji seolah menghapus segala perbedaan buatan manusia, dan menghadirkan kesadaran bahwa umat Islam adalah satu tubuh. Inilah simbol persaudaraan global Islam yang seharusnya tidak berhenti di Arafah, Mina, atau Masjidil Haram.

Sayangnya, begitu para jamaah kembali ke negara masing-masing, semangat persatuan itu perlahan memudar. Mereka kembali menjadi bagian dari umat yang terpecah oleh batas-batas negara, ideologi nasionalisme, dan kepentingan geopolitik masing-masing.


Umat Terpecah dan Tak Berdaya

Di tengah keindahan ibadah haji yang menyatukan, umat Islam justru sedang menghadapi tantangan berat. Dunia Islam tercerai-berai, tidak memiliki kekuatan politik global, dan lemah menghadapi penjajahan serta penindasan yang terus berlangsung.

Salah satu contoh nyata adalah tragedi kemanusiaan di Palestina, yang sudah berlangsung lebih dari tujuh dekade. Entitas Zionis terus membunuh, menggusur, dan menindas rakyat Palestina, sementara sebagian besar dunia Islam diam, termasuk penguasa negeri-negeri Arab.

Padahal, Rasulullah ﷺ bersabda:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
Perumpamaan kaum Mukmin dalam kasih sayang, cinta, dan empati di antara mereka seperti satu tubuh. Jika satu bagian tubuh sakit, seluruh tubuh turut merasakan demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Muslim)

Persatuan umat Islam seharusnya melahirkan solidaritas dan aksi nyata terhadap penderitaan saudara seiman di Palestina.


Simbol Keagamaan tanpa Komitmen Politik

Sebagai penyelenggara haji dan penjaga dua kota suci, Pemerintah Arab Saudi semestinya menjadi pelopor dalam membela umat Islam, terutama di Palestina. Namun kenyataannya justru sebaliknya. Saudi semakin mempererat hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Amerika Serikat—pendukung utama Israel.

Bahkan, di tengah genosida yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina, Saudi tetap menyambut hangat Presiden AS dan menyepakati berbagai kerja sama besar, termasuk:
  • Pembelian senjata senilai $142 miliar,
  • Investasi $600 miliar di berbagai sektor, termasuk pertahanan dan teknologi.

Semua itu dilakukan tanpa sedikit pun upaya untuk menggalang kekuatan membela Palestina. Uang ratusan miliar dolar itu tidak mengalir ke Gaza, tidak digunakan untuk membebaskan Masjid Al-Aqsa, dan tidak dipakai untuk membela umat Islam yang tertindas.


Prioritas yang Ditinggalkan

Dalam Al-Qur’an, Allah ﷻ secara tegas menyatakan bahwa jihad di jalan Allah jauh lebih utama daripada sekadar mengurus ibadah fisik atau infrastruktur keagamaan:

أَجَعَلۡتُمۡ سِقَایَةَ ٱلۡحَاۤجِّ وَعِمَارَةَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ كَمَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡیَوۡمِ ٱلۡـَٔاخِرِ وَجَـٰهَدَ فِی سَبِیلِ ٱللَّهِۚ لَا یَسۡتَوُۥنَ عِندَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ لَا یَهۡدِی ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّـٰلِمِینَ
Apakah kalian menganggap memberi minum orang yang berhaji dan memakmurkan Masjid al-Haram sama seperti orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah.” (QS. at-Taubah [9]: 19)

Ibn ‘Asyur menjelaskan, ayat ini adalah teguran bagi orang-orang yang merasa cukup dengan pelayanan keagamaan, sementara meninggalkan kewajiban jihad untuk membela umat.

Lebih dari itu, Allah ﷻ memperingatkan dengan keras:

إِلَّا تَنفِرُوا۟ یُعَذِّبۡكُمۡ عَذَابًا أَلِیمࣰا
Jika kalian tidak berangkat untuk berjihad, niscaya Allah akan mengazab kalian dengan azab yang pedih.” (QS. at-Taubah [9]: 39)

Peringatan ini bukan hanya untuk individu, tapi juga untuk para penguasa yang abai terhadap penderitaan umat Islam.


Wujud Nyata Persatuan dan Perlindungan Umat

Sejarah mencatat bahwa darah kaum Muslim tidak pernah dibiarkan tertumpah tanpa pembelaan saat umat Islam dipimpin oleh Khilafah. Ketika seorang Muslim dizalimi, negara Islam segera merespons. Ketika Rasulullah ﷺ memimpin, beliau tidak ragu mengusir Bani Qainuqa yang membunuh seorang Pedagang kerena membela Muslimah.

Demikian pula para khalifah setelah beliau. Mereka menjadi pelindung umat, pembela kebenaran, dan pelaksana syariat.

Hari ini, kondisi itu sudah tiada. Tanpa Khilafah, umat Islam kehilangan perisai. Padahal, Rasulullah ﷺ telah menjanjikan kembalinya institusi tersebut:

ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
Kemudian akan kembali berdiri Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR. Ahmad)

Hanya dengan persatuan politik dalam bingkai Khilafah-lah umat Islam bisa kembali bangkit, menyatukan kekuatan, dan membebaskan Palestina serta wilayah lain yang terjajah.


Haji sebagai Titik Awal Kebangkitan Umat

Haji seharusnya tidak berhenti sebagai ibadah fisik dan emosional. Ia mesti menjadi titik awal kesadaran ideologis untuk membangun persatuan global umat Islam. Persatuan bukanlah mimpi jika ada tekad, visi, dan kepemimpinan yang benar.

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, seakan-akan mereka adalah bangunan yang kokoh.” (QS. ash-Shaff [61]: 4)

Kini saatnya menjadikan haji bukan hanya sebagai rukun Islam kelima, tetapi juga sebagai seruan akbar untuk membangkitkan umat, membela yang tertindas, dan menegakkan kembali perisai umat: Khilafah Islamiyah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah.


Penutup

Ibadah haji adalah puncak penghambaan kepada Allah ﷻ dan lambang persatuan umat Islam. Namun semua itu hanya akan menjadi simbol kosong jika tidak dibarengi dengan kesadaran politik dan komitmen membela saudara seiman.

Umat Islam harus bangkit dari kelalaian. Haji bukan sekadar mengenang Ibrahim dan berlari di antara Shafa dan Marwah. Haji adalah momentum membangun kekuatan umat, menggalang solidaritas global, dan memperjuangkan kembalinya institusi Islam yang akan membela mereka semua.

Dari Makkah, semangat jihad dan persatuan harus kembali bergema ke seluruh dunia.

Posting Komentar

0 Komentar